Jurnal Pagi di Sekolahku

Dedi Kusuma Wijaya 8 Januari 2012

Pertama kali saya mengenal kegiatan jurnal pagi adalah ketika melakukan kunjungan sekolah ke SD Batutis, Bekasi. Di sekolah yang siswa/inya kebanyakan punya masalah perilaku karena mereka berasal dari lingkungan yang keras ini (kebanyakan anak dari kuli bangunan), tiap pagi anak-anak berkumpul membentuk lingkaran dan bergantian menceritakan beberapa hal, biasanya adalah kegiatan mereka di hari sebelumnya. Dengan adanya kegiatan ini, kata ibu kepala sekolah Batutis, anak-anak jadi terlatih mengekspresikan pendapatnya, dan juga kadang bisa melepaskan beban yang ia rasakan di rumah. Kegiatan ini menurutku sangat keren, karena anak-anak butuh dilatih berbicara dulu untuk kemudian bisa membuat sesuatu, apakah itu karya tulis atau karya lainnya.

Pertama kali sampai di sekolah, saya langsung berkeinginan untuk menghadirkan kegiatan jurnal pagi ini di sekolahku. Keadaan anak-anak di desaku untuk beberapa hal mirip dengan anak di Batutis. Tiap hari mereka melihat anomali dalam keluarga, mengingat banyaknya kasus perkelahian, mbauk-mabukan, KDRT, perzinahan, dll yang kadang terjadi di desa. Saya merasa bagus juga kalau mereka dilatih mengemukakan pendapat, agar mereka tidak hanya menjadi konsumen pasif dari hal-hal yang terjadi di lingkungan mereka, tapi juga bisa diminta untuk lebih aktif dalam menyikapi hal yang ada. Ditambah dengan kemampuan pemahaman konsep mereka yang masih sangat lemah, mengemukakan pendapat menurutku akan membuat mereka secara kognitif terlatih untuk mengkonstruksikan sesuatu, sesuatu yang semoga bisa berujung ke tingkat abstraksi yang lebih baik. Untuk itulah saya membuat jurnal pagi setiap harinya sebagai suatu rutinitas kelas. Jadi pertama-tama mereka harus berbaris terlebih dahulu, setelah itu masuk kelas dan berdoa dipimpin oleh salah seorang petugas piket. Selesai doa, kelas disiapkan, dan semua berkumpul dalam lingkaran dan biasanya saya akan meminta mereka menyanyikan lagu bersama. Selesai menyanyi ini barulah anak-anak duduk di lantai dan saya mulai melontarkan pertanyaan. Pertanyaannya ringan-ringan saja, berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari, tapi harus disertai alasan. Pada tulisan ini, saya mencoba mengingat beberapa pertanyaan dan jawaban mereka pada jurnal pagi yang pernah saya lakukan.

Di awal-awal, saya memberikan pertanyaan seperti apa hobi mereka, apa yang senang mereka lakukan di hari minggu. Karena selama ini mereka belum terbiasa menjawab jujur, biasanya menjawab jawaban yang diinginkan oleh guru, jawabannya selalu seragam. Masak semua anak hobinya belajar dan masuk sekolah? Padahal di awal-awal saya mengajar anak yang masuk dalam sehari paling hanya enam orang saja dari 17 anak yang ada di kelas. Begitu juga dengan apa yang senang dilakukan di hari minggu, saya mengharapkan jawaban yang ‘asik-asik’, seperti senang mengail, atau melakukan apa gitu yang unik-unik. Nyatanya rata-rata jawabannya adalah: “senang pi gereja la sembayang” (senang pergi gereja lalu sembahyang di dalam gereja). Oh tidak, jawaban yang menurutku sangat penataran P4 sekali, terlalu standar. Akhirnya saya pun meyakinkan mereka bahwa tidak apa-apa untuk menjawab hal yang jujur saja, kalau dengan saya tidak usah takut kalau menjawab yang tidak sesuai aturan yang ideal. Setelah diyakinkan begitu, mulailah muncul variasi hobi, yang lucunya tidak ada satupun yang adalah belajar dan membaca! Ada yang hobi mengail, main tendang bola, joged, dan sejenisnya. Begitu pula dengan pertanyaan ngapain saja di hari minggu. Hanya satu dua yang tetap konsisten dengan jawaban pergi ke gereja, yang lain ada yang suka makan kue di hari minggu, atau tidur-tiduran, atau jawaban ‘kurang rohani’ lainnya,hehe.

Karena dalam jurnal pagi harus ada alasan mengapa mereka memilih jawaban itu, anak-anak sering kesulitan dalam menjelaskan alasannya. Kalau pertanyaannya siapa idolamu, kebanyakan menjawab pemain timnas Indonesia, seperti Gonzalez, Irfan, Bambang. Alasannya apa, semuanya hampir serupa, karena mereka tendang bola. Tidak nyambung sama sekali dengan pertanyaannya! Kadang alasan yang disampaikan pun tak terpikirkan sebelumnya. Pertanyaan binatang apa yang kamu sukai misalnya. Ada yang menjawab burung, karena mereka terbang. Baiklah. Ingin sih saya bilang, kalau itu bapak juga tahu! Tapi ya sudahlah, namanya juga anak-anak. Pertanyaan yang sama, ada yang menjawab babi. Saya mulai membatin, apa yah yang disukai dari babi? Tidak lucu, tidak buas pula. Si Habel, yang menjawab babi, lalu menjawab: “karena di enak”. HehhhH? Tapi betul juga sih, pertanyaan saya kan tidak membatasi bahwa binatang yang disukai ini adalah sewaktu hidup, bukannya setelah dia dipotong. Tidak cukup babi,anak berikutnya menjawab anjing. Kupikir alasannya pasti standar: karena anjing lucu, patuh, atau pintar. Ternyata jawabannya juga sama dengan pertanyaan tadi, karena enak! Ohhhhh...

Saya pernah mencoba memberikan pertanyaan yang levelnya meningkat, dengan harapan agar pertanyaan berikut-berikut bisa lebih expert lagi. Maka saya pun memberikan pertanyaan, apakah penyesalanmu yang terbesar? Baru orang pertama diminta menjawab, sudah muncul jawaban: “bet paling menyesal waktu pi pancing dengan Ito dong, karena bet seng dapat ikan” (paling menyesal waktu pergi mancing dengan Ito dan teman-teman lain, karena saya tidak dapat ikan). Ada pula yang menyesal karena pulang ke rumah roti sudah habis. Ternyata pertanyaan yang agak susah ini gagal, sehingga tampaknya pertanyaan tetap harus sederhana.

Selain yang konyol, ada pula pertanyaan yang jawabannya sebenarnya membuatku terharu. Saat ditanya tentang benda apa yang paling kamu inginkan, saya yang punya kacamata kota berpikir mereka pasti menjawab barang-barang mahal yang tak terjangkau, seperti yang biasanya dipikirkan anak kota kebanyakan. Ternyata jawaban mereka sederhana sekali, ada yang mau pena, buku, ada yang mau sepatu sekolah baru, dan ada pula yang hanya ingin seragam putih yang baru, karena yang lama sudah penuh noda. Benda paling mahal yang mereka impikan ‘hanya’ jam tangan saja, itupun karena mungkin melihat jam tangan yang saya pakai. Uniknya ada dua anak yang menginginkan kalender, seperti yang kutempel di kelas. Bayangkan, saat kau diberi kesempatan bermimpi liar meminta barang apapun, yang kau inginkan Cuma kalender yang sebenarnya kuambil di sebuah toko di Larat. Ada pula yang sangat ingin mempunyai jam dinding, seperti yang kubeli dan kupasang di kelasku. Malahan ada yang ingin karton-karton untuk ditempel di rumah (di kelas saya memang menggunakan kardus untuk membuat rangka manusia yang ditempel di kelas).

Yang juga cukup membesarkan hati adalah pertanyaan tentang siapa temanmu yang menurutmu paling hebat di kelas. Ternyata mereka memberikan jawaban yang sangat personal. Wiro misalnya, merasa Melki, anak yang super pendiam di kelasku, sebagai anak yang paling hebat, karena tiap hari menjemput Wiro untuk bersama-sama jalan ke sekolah. Elon merasa Muba adalah teman yang paling hebat karena meminjamkan permainan ular tangganya untuk dimainkan bersama, sedangkan Ito menganggap Balawur adalah yang terhebat karena sering mandi bersama Ito di pinggir sumur. Pertanyaan tentang teman favorit ini adalah salah satu pertanyaan favoritku.

Hari ini, saya memberikan pertanyaan yang setingkat lebih sulit dari biasanya. Saya bertanya siapa orang yang kau kagumi di dunia ini. Sebagian besar menjawab ‘Pak Guru Dedi’, dengan alasan yang sungguh singkat, karena baik. Ada pula yang menjawab karena saya rajin mengajarkan banyak hal kepada mereka. Jawaban-jawaban ini mereka sungguh mengejutkan, tapi sekaligus membuat saya teryakinkan bahwa sesedikit apapun, saya dilihat sudah melakukan sesuatu bagi mereka.

Ternyata, jurnal pagi memang menyimpan banyak cerita, banyak dinamika, dan tentunya banyak kejujuran dari dalam diri anak-anak ini.

Wadankou, 4 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua