Jiwa Dalam Toples

Ni Wayan Purnami Rusadi 22 Januari 2018

Buya, salah satu dari lima desa di daratan Pulau Mangoli Selatan yang menjadi rumah pembelajaran selama satu tahun ke depan. Sebagai Pengajar Muda yang suka laut dan gunung, lokasi sekolah bagai surga. Kaki gunung di arah utara, lautan berpasir hitam di arah selatan, dan lapangan hijau yang luas untuk bermain. Semangat anak-anak datang belajar menjadi multi-vitamin setiap paginya menuju ke sekolah. Menuju bulan ketiga di Desa Buya, saya mulai terbiasa melihat toples-toples yang dibawa anak-anak selain tas sekolah. Di dalamnya ibarat kantin mini yang menyediakan roti, donat, nasi kuning, snack, permen, kertas bom-bom, mie instan mentah, sampai penyedap rasa sebagai camilan yang cukup mengangetkan bagi saya. Ya, di sekolah memang tidak ada kantin dan ini menjadi ladang usaha untuk anak-anak. Tidak hanya itu, ini justru jadi ladang Pengajar Muda sebagai media pembelajaran untuk anak-anak di sekolah. Awalnya perdagangan bebas di jam belajar pun cukup membuat kondisi kelas teralihkan dengan kedatangan siswa pembeli dari kelas lain yang mau berbelanja atau teriakan siswa penjual dengan nada tinggi karena teman yang belum bayar. Saya pun memberikan penjelasan kalau kalian bisa berbelanja setelah jam belajar usai. Satu sampai dua hari anak-anak masih ingat, hari ketiga transaksi dimulai lagi di jam pelajaran. Saya pun mengajak mereka keluar kelas dan membuat pojok belanja. Aturan mainnya, pedagang bisa mulai berjualan kalau mendengar toki bel 3 kali, siswa yang pertama sampai untuk berbelanja ada di barisan paling depan, dan selesai makan sampah di buang di tempatnya (sebab perjanjian tulisan 50 kalimat menanti jika dilanggar). Anak-anak semakin teratur dan saya kenalkan beberapa barang dagangan mereka dengan Bahasa Inggris. “Kalau kalian semakin tertib, Ibu Guru semakin banyak kasi tahu nama-nama Bahasa Inggris, nanti nama-nama uang trus cara belanja pakai Bahasa Inggris juga”. Itu janji yang sampai saat ini selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak dan menjadi praktek belajar menyenangkan bagi kami di sekolah meskipun di jam istirahat. Yang saya rasa, jiwa entrepreneurship dini sudah ada di tangan mereka, tinggal  diberi pupuk organik agar tumbuh subur dan berkembang menjadi usaha yang sehat.

Perkembangan Desa Buya yang menjadi pusat kecamatan bukan jaminan memiliki pasar desa ataupun warung. Sementara baru ada kios-kios di depan rumah yang menjual keperluan sehari-hari dalam jumlah kecil. Warga desa memang lebih memilih berbelanja bulanan ke kota dengan menempuh jalur laut sekitar 3 sampai 4 jam. Hasil kebun atau melaut sering mereka jual ke kota dan dititipkan di long boat dalam jumlah besar. Sering kali jika dalam jumlah kecil, mereka lebih memilih mengkonsumsi pribadi secara berlebih atau dijual di sekitaran desa. Jalan jalan sore setelah memberi les di rumah papa mama piara menjadi kegiatan multi fungsi saya selama di desa. Selain untuk silaturahmi ke warga dan olahraga, menemani anak-anak berjualan hasil kebun atau melaut menjadi kesempatan belajar mengenal arah, istilah keluarga, serta nama hewan yang dilihat dalam Bahasa Inggris. Cita-cita yang mereka tulis di sekolah pun menjadi bahan pertanyaan, “Ibu kalau polisi atau tentara Bahasa Inggrisnya apa?”. Memang, kedua cita-cita ini menjadi cita-cita idola anak-anak di Buya. Cerita pun berlanjut tentang cita-cita pedagang atau pengusaha yang menjadi bahasa baru bagi mereka. Barang-barang dagangan di atas gerobak kayu yang dibawa keliling desa sering dijadikan otto (mobil) kebahagiaan ketika barang dagangan habis. Di desa memang tidak ada otto selain truck proyek PLN yang baru mulai dipasang dan menjadi tontonan menarik setiap melintasi rumah warga. Kalau dagangannya sudah habis, mereka bergiliran menjadi penumpang gerobak sambil bilang, “Nanti kalau sudah pintar pakai bahasa tong bisa pergi ke kota, ke luar negeri, ke bulan beli otto sungguhan kan Bu?”. Saya kembali menggoda mereka, “tong kalau pintar bahasa, matematika, IPA kalian bisa buat otto sendiri”. “Kalau begitu nanti malam katong belajar semuanya ya Bu” saut anak-anak berbinar. Kami pun tertawa sambil berdoa supaya semangat anak-anak selalu terjaga dan cita-citanya bisa digapai suatu saat nanti. Berjualan sore juga jadi media pengenalan mama-mama dan papa-papa di desa tentang cara belajar yang menyengkan bagi anak-anak. Juga jadi ajang pemberian beragam hasil kebun atau laut dari mereka kepada saya dan restu bagi anak-anak yang mau belajar malam ke rumah meski jarak cukup jauh ke rumah tempat saya tinggal. Adapun mama-mama yang sebelumnya memandang anak-anak yang berjualan ini dengan sebelah mata, kini menyuruh anaknya untuk ikut di gerobak otto Bahasa Inggris Ibu Guru Bali. Banyak potensi yang bisa dikembangkan dari toples dan otto versi gerobak ini. "Jika dipanjangkan Buya pung arti Budaya Usaha Yakin Aman" kata salah satu mahasiswa Buya di kota dalam obrolan whatsapp di hari minggu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua