Kue Lapis Kesabaran

Nabila Nur Sabrina 27 Januari 2018
"Ibu pigi ke darat bikin kui?" "Iyooo" Siapa yang gak tau kue lapis? Kue yang lapisannya ada 4-6 lapis. Rasanya? Enakkkk! Apalagi kalo ditemani teh chamomile hangat sambil movie marathon di dalam rumah yang adem, ditambah lantunan rintik hujan yang bikin suasana semakin hangat. Tetot! Kue lapis di sini adalah kue lapis yang proses produksinya selama dua hari. Kue lapis ini dibuat ketika ada acara-acara besar di Desa Waigai, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, desa penempatanku selama setahun mengikuti program Indonesia Mengajar. "Ada yang bisa saya bantu?" Kalimat ajaib yang membawa saya ke pengalaman-pengalaman baru. Sama halnya seperti membuat kue lapis ini! Ada yang berbeda dari memasak kue lapis a la Kepulauan Sula ini. Masaknya menggunakan susunan batu dan bara api yang disusun, lalu ditutup dengan pentup berbentuk bulat yang sudah dipanaskan di tumpukan bara api. Jangan harap bertemu oven! Setiap lapisnya buat saya menggambarkan kesabaran mama-mama yang apik sekali dalam memasak kui. Proses membuatnya sangatttttt panjang dan sangattttttt lama. Percayalah, pertama kali membuat kue lapis ini, saya sangat bersemangat. Di kesempatan selanjutnya? Hix! Rasanya saya mau kabur karena tidak tahan jika seharian dari pagi sampai malam harus membuat kui di dalam rumah. Be laka ronda-ronda bo tema, bo fai, bo manapun! (Saya mau jalan-jalan ke darat, laut, atau kemanapun!) Kagum saya dengan kesabaran mama-mama dalam membuat kue lapis. Saya belajar banyak dari pembuatan kue lapis. Saya belajar untuk sabar akan proses yang panjang, yang sangatttt panjang, jika menunggu makanan di restoran yang bukan cepat saji itu lama, percayalah, ini lebih lebih lama lagi! Saya belajar menikmati proses, tuang adonan-tutup-ganti penutup-beri mentega-tutup-ganti penutup-tambah bara-tuang adonan-tutup-ganti penutup-beri mentega-tutup. Begitu terus. Sampai lapis ke-6. Jangan bayangkan itu hanya beberapa menit saja ya! Tentunya menikmati proses di sini mencakup menyelipkan bicara-bicara dengan mama-mama atau bahkan murid yang duduk menemaniku dona ku (bakar kue). Yang paling penting, saya belajar bahwa mama-mama ini punya bibit kesabaran yang bagus, lebih bagus daripada saya. Jadi, sabarnya saya lah yang harus ditingkatkan untuk menumbuhkan bibit kesabaran mama-mama dalam mendidik anak-anak Desa Waigai, untuk mendidik anak-anak tanpa pukul-memukul, untuk menjadi garda terdepan dalam pendidikan anaknya. Mama, syukur eb eb atas kui lapis kesabarannya!

Cerita Lainnya

Lihat Semua