Ramadhan dan Lebaran buat Red

Neti Arianti 29 Oktober 2011

Pertama kali merantau, pertama kali pula menghirup udara Ramadhan di Borneo. Komunitas Melayu membuat Red merasa nyaman melaksanakan ibadah di bulan suci. Bahkan, suasana Ramadhan di Nanga Lauk jauh lebih semarak dibanding hiruk pikuk puasa di kota tempat tinggal asal. Dari tahun ke tahun, Red hanya biasa mendengar suara kentongan yang berasal dari tiang listrik yang dipukul saat menjelang sahur. Tetapi di Nanga Lauk, hari pertama puasa sudah dikagetkan dengan bunyi  dentuman speaker active besar yang didorong menggunakan gerobak kayu dan berjalan  sepanjang dusun dari hulu ke hilir, membangunkan warga desa untuk bersiap melakukan sahur. Tak tanggung-tangung, mereka juga beraksi jam 1 dini hari, dimana semua orang masih tertidur dengan pulasnya. Sungguh suatu semangat yang membara menyambut awal puasa. Tak berhenti sampai di situ, mereka pun memanggil nama hampir tiap orang di depan tempat tinggalnya dan memastikan si penghuni bangun dari tidur dengan terbukanya pintu tiap rumah. Uniknya, hal ini sudah terjadi dari tahun ke tahun dan warga yang terbiasa dengan kerasnya suara gerobak penyambut sahur. Sampai-sampai ada sesuatu yang kurang apabila si gerobak absen melakukan tugas. Hihihi... Lucu ya! Sayangnya suara dentuman si gerobak hanya bertahan beberapa hari, karena listrik desa rusak. Digantikan suara kentongan dan hingar bingar para pemuda.

 Red beruntung tinggal dalam keluarga yang semangat kebersamaannya cukup kuat. Mereka tidak akan memulai makan sahur atau berbuka puasa sebelum semua anggota keluarga berkumpul, membaca doa sahur/berbuka, plus doa makan. Jadi, saat tiba waktunya makan sahur/berbuka dan masih ada anggota keluarga yang melakukan pekerjaan lain (misalnya mandi, memasak, dll) maka panggilan “geledek” pasti muncul dari tempat makan.

Aktivitas padat di Nanga Lauk tak semenyita waktu seperti di kota besar. Ketika tiba waktu shalat Tarawih, Red pasti bisa menyediakan waktu untuk melakukannya. Tak cukup dengan Tarawih, Tadarus pun dilakukan setelahnya. Indah Ramadhan di desa aliran sungai itu, menghembuskan nafas kekhusu’an ibadah bulan suci yang mungkin tak kau temui di kota besar.

Ketika waktu takbir tiba, gema “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...” menggema dari sebuah masjid dan sebuah surau desa. Membawa tiap insan merasakan manisnya kemenangan. Seluruh desa menyambut momen setahun sekali ini dengan meriah. Hari terakhir tadarus ditutup dengan selesainya juz terakhir Al-Qur’an, dan dimeriahkan dengan tersedianya bermacam makanan kecil yang dinikmati seluruh jamaah mesjid yang hadir dalam acara pengkhataman Qur’an tersebut. Malam takbiran tak kalah meriah dengan malam pengkhataman Qur’an, terjadi perang petasan dan kembang api antar dusun. Langit desa dihiasi percikan api yang berbentuk bunga dengan aneka warna. Euforia Idul Fitri setara dengan perayaan tahun baru di tempat lain. Tak berhenti sampai di situ, acara utama malam Idul Fitri adalah pelafalan gema tabir yang dilakukan dari rumah ke rumah diawali dari tempat tinggal warga yang berada di hulu menuju hilir. Red menyebutnya dengan istilah “takbir door to door”. Semua rumah dikunjungi oleh para pembaca takbir, dan selesai dibacakan takbir, akan segera keluar hidangan-hidangan khas Lebaran di Nanga Lauk. Kerupuk basah, kerupuk rangkai, kerupuk cabi, kerupuk anggur, bersiap memanjakan lidah. Sampai-sampai Red harus mengatur strategi agar tidak terlalu kenyang dan sanggup pulang tanpa bantuan orang lain karena kekenyangan. Hehehe...

Idul Fitri pun tiba, hari raya pertama tanpa keluarga, tanpa ciuman kening orang tua, dan tanpa jabat tangan saudara. Walaupun begitu, keluarga Red di Nanga Lauk sudah menjadi keluarga kedua yang untuk sementara menggantikan keluarga di Bekasi. Mereka juga mengajak Red untuk ikut dalam ritual sebelum shalat Ied, yaitu mandi di sungai bersama seluruh keluarga. Acara silaturahmi Idul Fitri tak berbeda dengan malam takbiran, dilakukan secara “door to door”. Dengan kue khas Lebaran yang lebih bervariasi, terlihat kembang goyang, bermacam kerupuk, kue semprit, skipi (kue kacang). Surprised! Red masih menemukan Putri salju, nastar, dan castengel di beberapa rumah. Yippie... :D

Ramadhan ke Lebaran, terjadi perjalanan spiritualitas di sana. Titik kontemplasi Red untuk lebih mengenal Tuhannya. Ditambah karakter budaya baru yang memperkaya hidup, berharap hidup akan lebih bermakna dari sebelumnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua