info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Siapa bilang jadi guru itu mudah?

Nesia Anindita 17 Juli 2011
Minggu pertama saya mengajar di SD3 benar-benar membuat saya terhenyak. Usaha saya untuk mengkondisikan kelas yang menyenangkan dan penuh keceriaan berakhir dengan (biasanya) 4 anak menangis, 1 orang anak kabur dari kelas, beberapa anak tidak mau mengerjakan perintah saya, tak mau membuka buku, dan sisanya alhamdulillah masih bisa bekerja sama. Beberapa anak kelewat pasif – sampai saya kebingungan dan heboh sendiri di depan kelas, beberapa anak kelewat aktif –sampai suara saya tak mampu menyaingi suara mereka. Minggu-minggu awal justru ternyata minggu perkenalan yang ajaib. Berbeda jauh dengan minggu-minggu awal di Balai Pungut, anak-anak cenderung tidak begitu tertarik dengan keberadaan guru baru, anak-anak cenderung takut, dan tiap saya sapa dan panggil mereka hanya menolehkan wajah lalu pergi berlari menghindari saya. Mungkin karena belum familiar dan kenal? Seharusnya begitu. Seharusnya begitu... Sekarang ini, kelas yang memegang peringkat kelas yang sangat “luar biasa” adalah kelas 3B yang bahkan wali kelasnya pun kewalahan, serta kelas 6. Kelas 3B Terdiri dari 28 anak, dengan hanya 6 anak perempuan dan 22 sisanya adalah anak laki-laki yang betul-betul ringan tangan dan suka berkelahi. Butuh usaha super extra untuk menghadapi mereka. Sedangkan untuk kelas 6 terdiri dari 38 anak. Kelas benar-benar penuh dan karena murid yang terlalu banyak, setiap mereka belajar suara mengobrol mereka sukses meredam suara saya. Apalagi saya mengajar terobosan (kelas tambahan untuk menghadapi UASBN SD) Bahasa Indonesia. Sudah siang-siang, bahasa pula. Sungguuuhh saya tidak menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia, tapi saat menyodorkan lembaran-lembaran penuh kata-kata, muka anak-anak langsung berubah masam, dan kegiatan mengobrol jauh lebih menarik bagi mereka ketimbang mengerjakan berparagraf-paragraf pertanyaan. Namun saya tak boleh berputus asa! Sedikit demi sedikit saya mencoba berbagai metode lain. Saat metode sinyal Hai-Halo tidak terlalu direspon, penggunaan sinyal “ Anak-anak, Siap! “ berhasil dengan baik, apalagi dengan tepukan, dan gerakan tubuh. Saat belajar Bahasa Indonesia terdengar menjemukan dan penuh dengan catatan dan bacaan, saya mencoba menghadirkan games, permainan, dan kerja kelompok yang memicu anak untuk berkompetisi dan berusaha. Menggunakan metode belajar secara visual dan kinestetik, dan tentu saja tanpa menggunakan kekerasan (: Hahahaha hey, siapa bilang jadi guru itu mudah?

Cerita Lainnya

Lihat Semua