info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sampai jumpa lagi Balai Pungut

Nesia Anindita 23 Januari 2011
4 Desember 2010 Senin, upacara bendera terakhir saya di SD 02 Balai Pungut. Cuaca sedikit gerimis pada pagi hari, namun hujan rintik-rintik itu pun reda saat matahari mengintip dibalik awan di desa Balai Pungut. Senin. Upacara bendera. Kapan saya akan berpamitan dengan semua anak? hmmm, bagaimana kalau sehabis Upacara bendera? saat yang tepat, mungkin saat itu saja, pikir saya. 07.35, Anak-anak mulai berkumpul. Lapangan upacara sedikit demi sedikit mulai ramai. Kelas 1, kelas 2, kelas 3, kelas 4, kelas 5, kelas 6. Satu bulan yang lalu muka-muka ini terlihat sangat asing, tapi sekarang mereka sudah terlihat sangat familiar. “Ibuuu-ibuuu! Sini buu!” Teriak beberapa murid kelas 6 yang kemarin sudah saya beritahukan kalau saya harus pindah. Saya tersenyum menyeringai pada mereka, “nanti ya” ujar saya riang, “Ibu baris dulu.” Saya pun berjalan menuju kumpulan guru-guru disamping lapangan upacara. Saya menyapa guru-guru, tersenyum lebar pada mereka. Pembina Upacara memasuki lapangan upacara Berbaris. Melihat ke arah barisan murid-murid. Cholid, Hengki, dan Arif yang menjadi pembawa bendera, mereka cekikikan kecil saat salah mengikat ujung pangkal bendera. Pak Sucipto berteriak memarahi dari barisan guru mengingatkan tingkah laku mereka. Bendera naik. Lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Nada lagu Indonesia raya di SD ini memang dinyanyikan dengan nada yang tidak terlalu sama seperti nada nyanyian lagu Indonesia Raya umumnya. Tapi hari ini ada yang sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Awalnya saat kata ‘Indonesia’ disebutkan, penggalan kata ‘nesia’ dinyanyikan dengan kencang oleh beberapa anak. Tiba-tiba semua murid pun berteriak kencang saat ‘nesia’ disebutkan dalam kata ‘Indonesia’. indoNESIA raya merdeka merdeka hiduplah indoNESIA rayaaa!! Saya tersenyum salah tingkah pada guru-guru disebelah, antara tidak enak dan malu sendiri. Pembina upacara selesai menyampaikan amanat. Tiba-tiba barisan dibubarkan, saya belum sempat menyampaikan salam perpisahan saya kepada anak-anak. Saya pun kembali mengurungkan niat menyampaikan salam perpisahan saya didepan semua anak. Masuk ke ruang guru. Mengucapkan salam dan tersenyum lebar pada setiap guru. Menunggu. Menunggu. Tik tok tik tok tik tok. Guru-guru suku asli sibuk mengobrol sambil makan bekal, guru-guru pendatang mengobrol asik sendiri. Tik tok tik tok tik. Menoleh ke samping kanan kiri mencari bahan pembicaraan dan orang yang bisa diajak bicara. Nihil. Akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah, sambil membereskan barang-barang yang belum selesai. Kembali kerumah Bu Hotang. Melihat tumpukan barang-barang yang sudah saya packing. Barang saya beranak!  1 carrier 80 litter yang super gendut, 2 travel bag hitam, 3 kerdus, banyaknya! Saya tidak bisa membayangkan bagaimana membawa semua barang ini dengan perahu kecil. Jam sudah menunjukkan pukul  10. Tapi Agus masih mengabarkan kalau dia masih dalam perjalanan. Tiba-tiba faskab menelpon “kami kesitu!”  dan beberapa saat kemudian muncul penampakan Pak Hikmat di halaman sekolah saya. Pamit dengan baik dan hangat ke guru-guru, dan akhirnya tiba saatnya. Pamit ke anak-anak..huufff harus kuat harus kuat.. Kelas 1, Kelas 2, Kelas 3, anak-anak mulai menjerit-jerit “Jangaan pergii buuu jangaaan!” Abdul tidak masuk. Kata teman-temannya Abdul tidak mau masuk karena hari ini Bu Nesia akan pergi. Saya semakin bingung harus bagaimana.... haduh abdul.. Kelas 4, “Ibu katanya mauu setahun buu? Kenapa ibu pergi?” Kelas 5, “Ibu katanya kita mau diajak main pesawat impia! Ibu jangan pergi bu!”.. beberapa anak perempuan mulai menangis di pojokan kelas Kelas 6, kelas yang paling sering saya ajar dan paling sering bermain ke rumah saya. Begitu saya memasuki ruang kelas tiba-tiba Azi, si biang kerok kelas memimpin teman-temannya menyanyikan lagu. Hymne Guru. Saat anak-anak asik bernyanyi, air mata mulai menggenang di pelupuk mata saya. Tiba-tiba Hengki menghampiri dan mengajak saya bersalaman sambil berteriak  “Ibu balik lagi kesini kan bu 3 bulan lagi! Karena kita sahabatkan bu!!” kemudian Hengki mulai berteriak menyenandungkan “Persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu.. persahabatan..” dan tiba-tiba satu kelas ikut berteriak-teriak menyanyikan lagu itu. Hati saya terenyuh sambil tetap menahan air mata turun deras. “Kita toss terakhir yuk sebelum ibu pergi!!” teriak saya pada anak kelas 6 sambil mengusir air mata yang hampir jatuh, kami semua pun berkumpul membentuk lingkaran dan menyusun tangan kami di tengah. “teriak apaa?” tanya saya. “BU NESIAAA! BU NESIA! 1,2,3 BU NESIA!” teriak anak-anak sambil tos bersama. Anak-anak masih berusaha memegangi tangan saya saat tos telah selesai, menahan agar saya tidak pergi, bahkan saat saya mau mengambil barang-barang di rumah Bu Hotang dan memasukkannya ke dalam mobil. Anak-anak perempuan menangis-nangis bersama, anak laki-laki berusaha membantu menaruh barang ke dalam mobil. Pamit sekali lagi ke guru-guru. Pamit ke Bu Hotang. Dan setelah mobil berjalan, anak-anak masih berlari mengejar mobil di halaman sekolah. Tangan saya mendadah-dadahi anak-anak yang masih berlari sambil berteriak-teriak “dadahhh ibuuu! Dadahh ibu!!” dan akhirnya air mata tak kuasa lagi saya bendung. Biarpun malu-malu biar tidak dilihat Pak Hikmat dan Agus, akhirnya saya menangis juga. Mobil kemudian menderu melewati jalanan kecil penuh pohon sawit menuju Tengganau, saya melihat ke langit biu dan awan-awan gemuk putih ala Balai Pungut.. Persahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu Persahabatan bagai kepompong Hal yang tak mudah berubah menjadi indah Persahabatan bagai kepompong Anak-anak itu bukan hanya semata murid saya, mereka adalah sahabat, teman saya, tempat satu-satunya dimana saya merasa aman dan nyaman di desa ini. Sampai jumpa 3 bulan lagi murid-murid Balai Pungutku!

Cerita Lainnya

Lihat Semua