Berpamitan

Nesia Anindita 23 Januari 2011
Balai Pungut, 6 Desember 2010 Saat menyeberangi lapangan pasir yang penuh air menggenang di SD 02 Balai Pungut ini, saya mulai meyiapkan kata-kata yang akan saya ucapkan didepan anak-anak nantinya. Anak-anak.. ini pertemuan terakhir ibu akan mengajar kalian. Jangan-jangan. Terlalu formal. Anak-anak, ibu mohon maaf.. ibu dipindah tugaskan ke teman-teman kalian yang lebih membutuhkan.. Hrrrrrr.. Haduhh..  justru pamit kepada anak-anak lah yang paling sulit saya lakukan! Untuk pamit ke Bu Hotang, pamit ke guru-guru, dan pamit ke pak kades tidaklah sesulit ini. memang bisa dikatakan, ya hubungan tererat saya di Balai Pungut ini, ya dengan anak-anak murid nya sendiri. Anak-anak yang hobinya berteriak-teriak didepan rumah saya, sekedar mengajak bermain, jajan, ataupun bernyanyi-nyanyi didepan rumah. Saya justru malah takut akan menangis di depan anak-anak.. ----- Kelas 6. Entah mengapa hari ini kelas 6 susah sekali untuk diatur. Mereka asik berloncatan dan saling berlarian melempar kulit rambutan didalam kelas. Saya kemudian mengeluarkan karton manila berwarna biru dan pink, dan mengumumkan kepada kelas bahwa hari ini kita bersama-sama akan membuat Puisi Berantai! Anak-anak pun mulai menunjukkan rasa ingin tahu dan penasarannya pada karton berwarna yang saya bawa, dan kembali mendengarkan saya. Saya kemudian mulai menuliskan huruf allfabet A, B, C, D, E, sampai Z di atas kertas karton. Sambil memberikan contoh  membuat kalimat dengan huruf awal salah satu huruf alfabet, misalkan huruf A dibuat menjadi kata Alam, huruf B dibuat menjadi kata Bahagianya, huruf C dibuat menjadi kata Ceria, dan seterusnya. Dari kata-kata tersebut kemudian saya meminta tiap anak untuk mengembangkan kata tersebut menjadi kalimat. Huruf A menjadi kata Alam dan bila dibuat menjadi kalimat menjadi Alamku indah sekali, dan sebagainya. “Tapi kali ini tema puisi yang akan kita buat adalah mengenai Guru!” ucap saya pada anak-anak. Anak-anak saya bagi untuk bertanggung jawab mengisi masing-masing huruf yang sudah ada di karton tersebut. Hengki mendapat huruf A, Rizi mendapat huruf D, Yopi mendapat huruf K, Meli mendapat huruf L, bahkan Abdul, si anak yang aslinya berada di kelas 3 ikut menyusup ke kelas 6 dan ikut belajar bersama di kelas saya juga kebagian mendapat huruf M. “Tidak ada guru bu!” jawab Abdul santai. Setelah tiap anak memperoleh pembagian huruf nya masing-masing, satu demi satu mereka kemudian maju kedepan papan tulis dan menuliskan kalimat mereka dikarton tersebut. Entah mengapa kalimat yang anak-anak tulis kebanyakan berhubungan dengan Ibu Nesia. Kalimat yang membuat saya terharu A = Ah mantap sekali Ibu Nesia mengajar J = Jika aku jadi guru aku mau jadi seperti Ibu L= Lembut sekali tutur kata Ibu Nesia Bahkan kalimat yang sukses membuat saya tertawa geli hasil karya Rizi : Z = Zaskia Sungkar cantik sekali seperti ibu Nesia (huehuahuhahahha ngasall to the max parahhhhuehuahua *guling-guling) Setelah semua huruf dan tiap anak di kelas maju, bersama-sama kami kemudian membacakan puisi tersebut. tiap anak yang menuliskan kalimat buatannya berdiri dan mendeklamasikan kalimat buatannya didepan kelas. Beberapa anak yang sebelumnya saya lihat malu-malu pun mau ikut membacakan puisi bak penyair-penyair terkenal. Anak-anak terlihat sangat menikmati proses pembuatan puisi berantai ini! Untuk menutup pelajaran saya memimpin anak-anak untuk menyanyikan lagu ‘mana jempol’ bersama-sama dan bel sekolah pun berbunyi nyaring dari kantor guru. Anak-anak kemudian bersiap-siap untuk pulang, membereskan tasnya dan bersiap untuk meninggalkan kelas. saya belum siap. Tapi.. mau tak mau.. saya harus pamit kepada anak-anak. ---- “Anak-anak.. ibu punya berita. Yok ayok semuanya kita mengumpul, membentuk lingkaran.” Saya kemudian duduk di lantai dan anak-anak dengan muka heran sekaligus bingung ikut duduk bersama saya di bawah, mereka masih bercanda dan berteriak-teriak girang. Saya mengambil nafas panjang dan mulai menyampaikan kata-kata yang saya rangkai sejak pertama kali memperoleh kabar relokasi dari galuh. “Anak-anak, dengan berakhirnya pertemuan hari ini, maka hari ini adalah hari terakhir ibu mengajar kalian.” Hening. Senyap. Anak-anak yang tadinya sibuk sendiri sambil bercanda tiba-tiba terdiam. “Kenapa bu? Kata ibu, ibu disini satu tahun? Kenapa ibu mau pergi? Kenapa Bu?” bersahutan anak-anak melemparkan pertanyaan. “Ibu diberikan tugas baru dari pusat. Ibu ditugaskan untuk mengajar teman-teman kalian di pulau rupat. Di pulau Rupat, guru-gurunya tidak seperti di SD 02 sini, di sekolah teman-teman kalian di pulau Rupat gurunya kekurangan dan lebih membutuhkan kehadiran ibu..” BRAKKKKKKKKKK!! Tiba2 saja terdengar bunyi kencang dari arah meja-meja. Abdul memukul meja. Sebelum saya sempat berdiri menghampirinya, Abdul langsung berlari menghambur keluar kelas. Shock dan kaget melihat respon dari Abdul, saya kemudian melanjutkan menyampaikan berita kepergian saya kepada anak-anak yang menatap saya kebingungan, menunggu saya melanjutkan perkataan saya. Ibu harus pergi. Ibu akan pergi ke pulau rupat. Ibu sedih harus meninggalkan kalian. Tapi tiap 3 bulan ibu akan datang kembali ke Balai Pungut dan mengajar kalian selama beberapa hari. 3 bulan lagi! 3 bulan lagi! Seru saya berjanji pada anak-anak yang menunjukkan muka sedih dan kecewa. Saya tidak tega melihat wajah anak-anak! Bahkan Selli sudah mulai menangis sesunggukan di pojok kelas. Sebelum suasana menjadi semakin muram saya kemudian menginstruksikan kepada Hengky untuk menyanyikan sebuah lagu. Sambil berfoto-foto bersama untuk memperingati hari terakhir saya mengajar di kelas 6 di semester. Henky ternyata malah menyanyikan lagu yang dipopulerkan oleh Bondan prakoso.. Hengky benar-benar pintar memilih lagu. Jangan bersedih anak-anak! Ucap saya sebelum anak-anak keluar darii kelas dan pulang ke rumah. 3 Bulan lagi ya bu! 3 bulan lagi! Teriak anak-anak. .. .. Saya pun menganggukkan kepala dan memandang wajah-wajah anak-anak satu persatu. 3 bulan lagi!

Cerita Lainnya

Lihat Semua