Balai Pungut - cerita dan pembelajaran hidup

Nesia Anindita 9 Februari 2011
Balai Pungut, sebuah desa kecil namun dihuni oleh hampir 500 kepala keluarga ini terletak di bagian selatan kecamatan Pinggir, kabupaten Bengkalis, Riau. Balai Pungut diambil dari kata Balai seperti pengertian ‘balai’ di kata bahasa Indonesia dan ‘Pungut’ yang artinya ‘memungut’. ‘memungut’ disini diartikan sebagai pungutan iuran (pajak) warga, sehingga ‘Balai Pungut’ sendiri memiliki arti ‘tempat pemungutan pajak’. Balai Pungut disebut-sebut sebagai desa tertua suku asli di daerah tersebut, suku melayu sakai. Disebutkan desa Balai Pungut ini ternyata merupakan salah satu desa asal tempat suku melayu yang pertama. Hampir seluruh warganya disini adalah suku melayu, dan bisa disebut 99% warga nya adalah suku melayu asli. Di desa Balai Pungut ini sendiri hampir seluruh warganya adalah saudara, bagaimana tidak? Moyang-kakek-Ibu-bapak-anak-cucu-cicit kebanyakan hidup dan tinggal disini, dan menurut beberapa orang kebanyakan warganya yang berhasil memperoleh pendidikan hingga S1 mau tak mau pasti tetap akan kembali ke Balai Pungut dan hidup sampai tua disini. Biarpun di desa ini sukunya adalah suku melayu sakai, akan tetapi kebanyakan warga tidak ingin disebut sebagai suku sakai. mereka menganggap sudah lebih berkembang daripada suku sakai asli yang kebanyakan masih tinggal di hutan dan hidup menyendiri. Masyarakat di desa Balai Pungut ini bisa dibilang sangat homogen. Pertama dilihat dari sukunya yang hampir semuanya adalah suku Melayu Sakai, kedua dari agama yang dianut warganya yakni adalah agama Islam, dan ketiga dari profesi pekerjaan warganya, yang kebanyakan adalah pencari ikan di danau-danau. Karena sifat desa Balai Pungut yang homogen ini sejak berpuluh-puluh dan mungkin beratus-ratus tahun lamanya, mereka telah terbiasa hidup dengan keadaan homogen tersebut sehingga warga di desa ini kurang terbiasa dengan adanya pendatang. Hingga sekarang ini pun, pendatang yang hidup di desa ini hanyalah 2 kepala keluarga, yang 1 adalah ibu induk semang saya yang merupakan guru PNS yang dialokasikan untuk mengajar di desa ini, dan yang satu lagi adalah sebuah keluarga – eeh ops tunggu, saya salah data! Ternyata keluarga yang satu lagi sudah pindah ke Duri, jadi kurang lebih pendatang di Balai Pungut ini hanyalah keluarga induk semang saya ini. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, warga disini kurang terbiasa menerima adanya pendatang, atau muka baru. Saat pertama kali saya tiba, ibu induk semang saya memberikan fakta-fakta yang justru membuat saya kaget dan terkejut. Mulai dari kondisi warganya, hingga peringatan untuk tidak makan di sembarang tempat, hati-hati  saat di tawarkan makanan atau minuman, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut diingatkan karena menurut mereka sebagai pendatang harus hati-hati akan adanya ‘racun’ yang biasa digunakan di desa Balai Pungut yang beraksi saat ada orang yang tidak suka pada kita. Belum genap satu minggu sejak saya mulai tinggal di Balai Pungut saya jatuh sakit, kondisi saya semakin diperparah dengan asma yang  terus-terusan kambuh. Dengan kondisi tersebut Ibu induk semang saya mencurigai saya terkena racun, bahkan sudah bersiap untuk membawa saya ke dukun desa (padahal sebenarnya dan sejujurnya asma saya kambuh karena kasur kapuk dan debu hehehe). Di desa Balai Pungut ini, saya tinggal di rumah Ibu Hotang. Beliau adalah pendatang yang berasal dari Sumatera Barat, 2 tahun yang lalu beliau memperoleh SK untuk mengajar di balai pungut ini. Keluarga Bu Hotang terdiri dari suami, Bapak yang bekerja serabutan dan biasanya ada di rumah, serta ketiga anaknya, yaitu Laila anak perempuan pertama kelas 2 smp, Agung anak laki-laki kedua kelas 1 sd, dan anak terakhirnya Pia, baru berumur 2 tahun. Keluarga Bu Hotang bertempat tinggal di perumahan dinas guru disamping sekolah. Rumah tersebut awalnya adalah gudang yang kemudian mereka sulap menjadi tempat tinggal mereka selama ini. Rumah Bu Hotang bisa dibilang rumah yang amat sangat sangat sangat sederhana, rumah ini memiliki 2 ruang tidur berukuran 2x3m , ruang tamu yang merupakan tempat keluarga ini berkumpul saat sore hingga malam hari, serta ruang dapur, dan kamar mandi. Karena dulunya rumah mereka adalah gudang, kamar mandi sendiri belum memiliki saluran pembuangan, belum ada jamban untuk buang air. Untung buang air, keluarga ini harus menimba air di sumur dan kemudian berjalan menuju kamar mandi sekolah yang terletak agak jauh dari rumah mereka. Meskipun Bu Hotang dan keluarga telah mendiami desa ini selama 2 tahun terakhir, tetapi banyak warga yang tetap menyebut Bu Hotang sebagai “ito pendatang” dan “ito batak”. Hubungan antara Ibu Hotang dengan warga sekitar sendiri diakui beliau kurang berjalan mulus, menurut bu Hotang hal tersebut tak lain tak bukan semata-mata karena suku beliau yang merupakan asli suku Batak, bukan suku melayu seperti kebanyakan warga di Balai Pungut ini. Saat PKK pun ketika bertemu dengan ibu-ibu di desa ini, banyak yang begitu mengetahui saya tinggal di Rumah Bu Hotang turut mencibir dan menyebut “oohh ito batak” sambil berlalu. Di desa ini, saya bertemu dengan beberapa tokoh. Yang pertama adalah Ibu Marbun, kepala sekolah SDN 02 tempat saya mengajar. Ibu Marbun bertempat tinggal di Duri, kira-kira 1 jam dengan honda (motor) dari balai pungut ini, karena itu beliau tidak dapat datang tiap harinya ke sekolah karena jauhnya jarak rumah ke sekolah. Dalam satu bulan saya berada di Balai Pungut, saya sendiri hanya bertemu tiga kali dengan Ibu Marbun, pertama saat bertemu pertama kali ketika saya dan tim indonesia mengajar datang, kedua saat menjelang Idul Adha, dan terakhir ketika UPTD datang untuk memberi  peringatan kepada guru-guru yang sering tidak hadir. Kemudian ada Pak Darwis, tokoh lembaga adat melayu di Balai Pungut, serta juga ada Pak Kades Balai Pungut yang entah kenapa sulit sekali untuk ditemui. Pada minggu-minggu awal saya berada di balai Pungut, saya kerap kali diingatkan oleh Bu Hotang mengenai kenyataan bahwa ternyata sesungguhnya keberadaan Indonesia Mengajar di desa ini kurang diinginkan. Beberapa tokoh bahkan menyatakan dengan lantang keberatannya mengenai keberadaan saya di desa ini. Dan saya sendiri baru tahu bahwa rumah yang saya tinggali kini pun baru dipilih beberapa hari sebelum saya tiba disini, karena tidak ada masyarakat yang menawarkan tempat untuk saya tinggali selama satu tahun mendatang. Bu Marbun, ibu kepala sekolah pun menyuruh Bu Hotang untuk menampung saya. Bahkan Bu Hotang pada akhirnya mengakui kalau dia sendiri pun tidak terlalu berminat untuk menampung pendatang dari Indonesia mengajar ini. Balai Pungut adalah desa yang menarik. sungguh! sangat menarik. Tiap tokohnya memiliki karakter dan cerita tersendiri. Balai Pungut punya banyak cerita, mulai dari tokohnya, warganya, ibu-ibu PKKnya, kepala desanya, guru-gurunya, suku aslinya, tiang masjid seharga 70 juta, semuanya, tapi saya punya alasan kenapa saya berada disini. Apa yang saya lakukan setahun kedepan bukanlah mengenai saya, tetapi untuk mereka, untuk anak-anak didik saya. Saya punya murid-murid terbaik saya tersayang! Mereka bagaikan monster-monster kecil yang selalu bersemangat dan tak pernah kenal lelah. Mereka teman saya, mereka justru adalah penolong saya, penyemangat dan alasan kenapa saya berada disini. Tapi kini sejak berita relokasi datang, saya pun mulai bersiap untuk meninggalkan Balai Pungut. Balai Pungut adalah desa yang penuh cerita, tapi takkan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Ooh, banyak sekali pelajaran hidup yang saya ambil dari hidup dalam waktu yang sangat singkat, biarpun hanya satu bulan di desa ini. Biarpun saya akan pindah ke pulau rupat, akan tetapi setiap 3 bulan saya akan datang dan mengajar selama beberapa hari di SD 02 balai pungut, biarpun hanya waktu yang sangat singkat akan tetapi saya harap dapat memberikan sesuatu untuk anak-anak di desa ini. Balai Pungut, terimakasih banyak atas cerita dan pembelajaran kehidupannya satu bulan ini (:

Cerita Lainnya

Lihat Semua