Lumpur, Lomba, dan Anak-Anak Bak Belakang Mobil
Nazra Hanif Lutfiana 3 Mei 2025Pada bulan April lalu, kabar tentang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional 2025 menggema di seluruh penjuru Indonesia. Namun, kabar itu baru sampai ke telinga murid-muridku kurang dari seminggu sebelum pertandingan tingkat kecamatan mereka. Waktunya memang mepet sekali, tapi tidak apa-apa, pikirku. Dalam amanat upacara di hari Senin, aku berpesan kepada murid-murid agar tetap memberikan yang terbaik.
Aku bilang, olimpiade ini bukan hanya tentang menang. Inilah kesempatan mereka untuk bertemu teman baru, belajar hal baru, dan kalau beruntung, bisa jalan-jalan di kabupaten. Harapanku sederhana: semoga mereka bisa melihat, mengalami, dan mengenal dunia yang lebih luas, meski hanya sebentar.
Kami tak sempat mendaftarkan semua cabang lomba. Tapi setiap sore, guru dan murid tetap datang kembali ke sekolah. Mereka berlatih badminton, sepak bola, menggambar, bahkan menyusun strategi untuk melawan sekolah lain.
Ketika hari olimpiade tiba, kami berkumpul di sekolah pukul 7 pagi dengan perasaan semangat sekaligus was-was. Kekhawatiran kami disebabkan curah hujan tinggi semalaman. Hujan bukan sekedar guyuran air lewat di Kecamatan Sadu. Hujan berimplikasi pada melembeknya tanah, yang tadinya kering berpasir, menjadi kubangan lumpur. Dan kebetulan, musim hujan kali ini termasuk salah satu yang terpanjang di Sadu. Sudah lebih dari enam bulan kami bergelut dengan cuaca yang tidak bersahabat ini, sementara kondisi jalan semakin buruk.
Lokasi lomba di desa Sungai Itik mengharuskan kami untuk melewati jalan yang terkenal di kecamatan kami dengan berbagai istilah—“teruk”, “jelek”, “rusak”, “hancur”, “bonyok”, dan sebagainya. Memang, jalan di kecamatan terjauh dari pusat kabupaten ini sudah sering viral di media sosial setempat karena karena kisah-kisah lucu sekaligus menyedihkan.
Namun, kami tak patah semangat. Berkat usaha Ibu Kepala Sekolah, sebuah mobil bak berhasil disiapkan untuk mengangkut murid dan guru. SD 202 Sungai Jambat tetap berangkat menuju Sungai Itik. Semangat sekali anak-anak, sampai-sampai aku pusing mengatur posisi mereka di dalam bak mobil.
Di jalan, kami menyambut murid dan guru dari SD-SD lain di Sungai Jambat yang bergabung dengan rombongan kami. Sebenarnya rombongan kami cukup beruntung. Desa Sungai Jambat termasuk yang paling dekat dengan lokasi lomba. Banyak desa lain bahkan tak bisa mengirim peserta karena jalan putus sebelum mencapai desa kami.
Mobil kami pun terus melaju, dikawal oleh guru-guru bermantel dan bersepatu boots yang mengendarai motor. Guru-guru Sungai Jambat bagai pasukan yang siap memerangi rintangan demi mengantar peserta didiknya ke medan perang. Rasanya, aku baru pertama kali melihat perjuangan untuk lomba yang sehebat ini dalam hidupku.
Ketika sampai di salah satu titik terparah, kami menemui antrian mobil sawit yang terbenam di lumpur. Tarik-menarik antar mobil terjadi. Anak-anak turun, berjalan kaki melewati kubangan agar mobil kami tidak kelebihan beban saat mencoba melintas.
Waktu terus berjalan. Mobil kami tak kunjung bisa melewati lumpur. Akhirnya, Ibu Kepala Sekolah meminta bantuan mobil lain yang sudah berhasil lolos. “Kasihan, anak-anak ini,” ucapnya kepada para sopir. Bagaimana pula, tidak mungkin empat puluhan anak ini kami antar pakai motor satu-satu. Tidak mungkin pula kami balik arah dan tidak jadi ikut lomba. Alhasil, setelah berunding, salah satu sopir bersedia membantu.
Kami pun memindahkan semua barang dan melanjutkan perjalanan. Dengan kaki berlumpur dan tenaga yang mulai menipis, anak-anak tetap ceria. Setiap kali ada jalan rusak, kami naik turun mobil seperti petualang. Di tengah perjalanan, kami bahkan berpapasan dengan rombongan mahasiswa, pengusaha, dan sopir sawit yang sedang demo menuntut perbaikan jalan di depan kantor kecamatan.
Aku, yang sudah sering bolak-balik melewati jalan ini, mulai merasa lelah juga. Dulu, waktu sekolah di Jawa, ikut O2SN cukup naik mobil sebentar, bertanding, lalu pulang setelah makan-makan. Tapi di sini, mengapa hal sesederhana itu terasa seperti perjuangan besar? Namun ketika kudengar tawa dan sorakan anak-anak di bak belakang mobil, energiku kembali. Mereka tetap bersemangat, meski sudah tiga jam perjalanan. Padahal, jika jalan kering, semua bisa ditempuh kurang dari satu jam.
Kami tiba di lokasi dengan kondisi lelah dan kotor. Pembukaan lomba sudah lewat. Tak masalah. Anak-anak langsung berpencar menuju arena lomba masing-masing. Aku pun ikut mendampingi anak didik yang sudah berlatih denganku untuk lomba menggambar, yang buku gambarnya harus dititipkan kepadaku karena akan bonyok kalau tetap disimpan di bak belakang mobil.
Setelah melalui perjuangan itu, apakah ada perlombaan yang dimenangkan oleh SD kami? Tidak juga, sih. Tapi kami semua tahu bahwa tidak ada satu detik pun dari perjuangan itu yang menjadi sia-sia. Kemungkinan-kemungkinan seperti “jika saja ada lebih banyak waktu”, “jika saja jalannya bagus”, “jika saja kami mengikuti perlombaan lain”, tidak menjadi hal yang disesali. Yang ada hanyalah harapan: semoga usaha ini cukup berarti bagi mereka.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda