Dunia memang Tak Selebar Daun Kelor

Nani Nurhasanah 26 Mei 2013

Daun kelor, dulu aku hanya mengenalnya dalam peribahasa saja. Membayangkan sebesar apa daunnya pun belum pernah. "Ah, mungkin seperti daun talas," pikirku sambil mengingat peribahasa ibarat air di daun talas ;-)

Di Tasikmalaya tempatku tinggal  memang tidak ada  pohon kelor yang tumbuh.

Selain berguna sebagai penggenap  peribahasa saat ulangan bahasa Indonesia, daun kelor atau yang dikenal akrab dengan paronge di Bima dan mempunyai nama latin Moringa Oleifera adalah sayuran pokok di daerah penempatanku. Pohonnya yang tumbuh saat musim panas serta daun dan buahnya yang enak membuat sayur paronge menjadi makanan paling populer disini dan menjadi pilihan satu-satunya ketika tidak ada lauk untuk dimakan. Apalagi tanah disini yang tidak terlalu subur sehingga tidak banyak sayuran yang bisa tumbuh. Daun dan buah kelor bisa dimasak sebagai sayur bening atau sayur asam, wuihh mantap rasanya!. Aku pun sangat menyukainya.

Daun yang bentuknya  kecil dan rasanya mirip daun katuk ini biasa digunakan untuk memandikan mayat bagi sebagian penduduk Jawa atau pagar kebun saja ternyata adalah sumber makanan penting yang mengandung vitamin B6, vitamin C, provitamin A sebagai beta-karoten, magnesium dan protein  serta bisa menambah produksi ASI. Bahkan kelor dijadikan solusi penambah nutrisi alami di daerah-daerah rawan pangan dan obat tradisional di Filiphina dan negara-negara di Afrika.

Indonesia sungguh kaya, Namun belum tergali secara sempurna. Daun yang selama ini hanya digunakan untuk memandikan mayat dan dianggap sayuran terakhir ketika tidak ada lagi yang bisa dimakan ternyata mempunyai banyak kandungan gizi.

Aku berencana membawa biji daun kelor dan menanamnya di belakang rumahku jika nanti sudah selesai masa penempatan. Bukan hanya karena rasanya di lidah yang lezat, namun 'rasa' di hati yang menghubungkanku dengan kenangan luar biasa di daerah yang menjadi kampung halaman kedua bagiku... SP3, Kawinda Toi, Tambora, Bima, NTB


Cerita Lainnya

Lihat Semua