Dalam Segenggam Kacang Tanah

Nani Nurhasanah 25 Mei 2013

 

Berapakah harga segenggam kacang tanah? Mungkin Rp 1000, Rp 2000, Rp 3000 aku tak tahu pasti. Namun dalam segenggam kacang tanah yang biasa aku habiskan dalam beberapa menit saja tersirat perjuangan panjang para petani kacang yang baru aku ketahui dalam beberapa bulan ini.

Memasuki bulan Oktober, warga SP3 dan sekitar gunung Tambora yang pada bulan-bulan sebelumnya menjadi petani jambu mete  mulai melakukan aktivitas persiapan musim  tanam. Sayang sekali, musim tanam yang harapannya bisa memberikan banyak hasil bahan pangan untuk warga ternyata diawali dengan cara yang tidak bersahabat dengan alam, membakar  lahan! 

Beberapa lahan kosong, kebun, bahkan hutan dibakar untuk dibersihkan dari rumput-rumput dan tumbuhan yang tidak berguna. Membakar lahan cara yang menurut warga efektif dan hemat biaya dibandingkan dengan membabat tanaman satu persatu dengan luas tanah berhektar-hektar.

Alhasil, pemandangan di sepanjang jalan, lahan, kaki gunung, lereng gunung selama bulan September- Oktober adalah lapangan hitam abu tanaman dengan tunggul-tunggul pohon sisa terbakar dimana-mana.

Setelah lahan dibakar, proses selanjutnya adalah pembuatan pagar di sekitar lahan yang akan ditanami. Pagar harus kokoh, tinggi dan rapat agar musuh-musuh petani musiman ini tidak mengganggu selama musim tanam yang hanya berlangsung 4 bulan itu. Untuk membuat pagar pun, harus menebang pohon-pohon yang cukup besar.

Tak semua jenis tanaman bisa ditanam di kawasan transmigrasi yang dibangun tahun 2005 ini. Sebagian besar warga SP3  memilih untuk menanam kacang tanah. Ada juga yang menanam padi dan jagung disesuaikan dengan kesuburan tanah dan jarak lahan dengan sumber air.

Mama Sei dan Bapak Emo ( hostfamku) bersepakat untuk menanam kacang tanah. Kedua suami istri transmigran lokal dari Bima ini termasuk petani yang mempersiapkan proses tanam dengan sebaik-baiknya. Kebun jambu mete seluas 4 hektar di kaki gunung Tambora dekat sungai Oi Marai, mulai disiapkan untuk ditanami kacang tanah. Tahun sebelumnya, mereka hanya menggarap 3 hektar saja, dan mendapat hasil panen kacang tanah senilai 20 jutaan. Maka tahun ini, mereka berharap bisa mendapat hasil panen kacang tanah yang lebih banyak dengan menambah lahan tanam juga.

Mama Sei dan Bapak Emo, mempekerjakan  5 orang warga untuk memagari lahan seluas 4 hektar.  Biaya satu orang pekerja dalam sehari Rp 40.000,- Untuk memagari sekeliing lahan ternyata dibutuhkan waktu sekitar seminggu.

Selanjutnya adalah memberi pupuk agar tanahnya subur. Tak semua petani memupuk lahannya. Harga pupuk yang cukup mahal, serta ketidakpedulian akan kesuburan tanah yang berpengaruh kepada hasil panen yang menjadi alasan mereka.

Proses selanjutnya adalah menanam biji kacang tanah.  Untuk menyiapkan biji yang unggul, Mama Sei membei biji kacang tanah seharga Rp 450.000/ karung. Mama angkatku ini membeli 5 karung biji kacang tanah yang masih berkulit. Dan hari-hari berikutnya selama hampir 2 minggu adalah perjuangan panjang. Kedua orang tua angkatku mengeluarkan biji kacang tanah dari kuitnya. Aku pun turun tangan setiap malam mengeluarkan biji kacang tanah dengan memukul kulitnya menggunakan kayu sebesar buah pisang yang sengaja Bapak Emo buat. Selain bijinya yang terkelupas, kulit tangankupun ikut terkelupas karena terlalu akrab bersentuhan dengan kulit kacang secara terus-terusan.

Kedua orang tua angkatku pun mulai menghitung tanggal yang tepat untuk menanam kacang. Tanggal ditentukan oleh letak rasi bintang, agar hujan bisa segera mengguyur setelah biji ditanam. Sebelum ditanam, agar semuanya lancar diadakan acara doa dulu di rumah. Mama mengundang beberapa orang dan pemuka agama untuk mendoakan agar biji kacang tanah bisa tumbuh subur dan menghasilkan banyak.

Hari baik pun ditentukan, maka dimulailah proses menanam kacang tanah. Dibutuhkan beberapa orang untuk memasukan biji kacang tanah ke dalam lobang yang berjarak 15 cm satu sama lain itu.

Hari-hari berikutnya selama tiga bulan adalah hari panjang penuh kewaspadaan menunggui kebun kacang dari serangan babi hutan, landak atau monyet. Bapak angkatku tak pernah absen menjaganya siang dan malam. Hujan, angin, teriknya panas tak jadi kendala. Bapakku selalu berkeliling ladang untuk memastikan bibit-bibit kacang tumbuh aman dari gangguan hewan-hewan liar.

Dia  tinggal di sebuah saung di ladang, saung sederhana yang menjadi tepat tinggalnya selam tiga bulan itu. Siang hari dia keliling bersama anjing kecilnya, menghalau monyet-monyet yang iseng mencabut pohon-pohon kacang yang baru tumbuh. Malam harinya, berbekal senter kecil Bapakku berkeliling mengusir babi-babi yang datang menyerang. Begitu setiap hari tak pernah absen.

Setelah tiga bulan, hari-hari yang dinantikan pun datang. Saatnya panen. Prosesi panen ternyata tak semudah yang aku duga. Mulai dari cabut kacang, rampek (memukulkan kacang ke kuda-kuda sehingga kacang lepas dari dahannya), kakuru (membersihkan kacang dengan cara me-napi), dijemur kemudian dikarungi dan dijual. Untuk menyelesaikan semua proses itu, Mama Sei mempekerjakan 10 orang pekerja dan meminta anak-anaknya datang dari kota Bima untuk membantu panen. Panen selama dua minggu pun dilakukan, dengan upah pekerja Rp 40.000/ hari.

Sayang sekali, hasil panen tak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Lahan seluas 4 hektar hanya menghasilkan 2 ton saja yang setelah dijual dhargai Rp 13.000.000,- saja. Satu  kilo kacang tanah hanya dihrgai Rp 650,-

Mama dan Bapak angkatku jelas kecewa dengan hasil yang justru minus dari modalnya. Tetapi mereka tidak menyesal dengan semua yang sudah diusahakannya selama ini.

“Walaupun kita sudah tua, tapi kita masih mampu mencari makan sendiri tak mengandalkan dari anak-anak.” Kata Bapakku

Aku begitu mengagumi dua orang tua itu, Mama dan bapak angkatku. Transmigran yang selalu berjuang untuk memperbaiki hidupnya.

“Dimana pun kita berada, jangan pernah tergantung pada orang lain” pesan Bapak angkatku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua