Jurnal Guru Yuni
morinta Rosandini 26 Mei 2013Ibu Yuni, begitu panggilan anak-anak SDN 1 Labuan Kananga kepadanya, seorang guru muda yang bertugas di SD tempat aku mengajar. Ibu Yuni memang masih muda bahkan umurnya lebih muda dari Pengajar Muda, di usia mudanya Ibu Yuni sudah berhasil menjadi seorang guru sukarela selama dua tahun belakangan ini. Usianya memang masih muda, namun pemikirannya yang lugas dan terbuka membuat dia terlihat lebih dewasa, pembawaannya yang santai dan ceria membuat anak-anak menyayangi dia sebagai gurunya. Pada tahun ini Ibu Yuni dipercaya untuk mengemban amanah di kelas 1, menjadi seorang guru kelas. Walaupun masih berijazah SMA, Ibu Yuni tak pernah patah semangat untuk terus menuntut ilmu dan menambah wawasannya di bidang pendidikan, buktinya hingga kini dia mengajar sambil melanjutkan sekolahnya di sebuah universitas swasta di kabupaten tetangga, kabupaten Dompu. Dia mengambil kelas minggu, untuk menuju kabupaten Dompu, diperlukan waktu empat sampai lima jam perjalanan dengan menggunakan bus atau kendaraan beroda dua. Rutin setiap akhir pekan Ibu Yuni berangkat ke Dompu untuk urusan kuliah, pulang pergi dalam jangka waktu satu hari.
Semangatnya untuk meneruskan pendidikan seiring dengan semangatnya untuk terus mengajar di sekolah. Ibu Yuni memiliki kelebihan interpesonal yang luar biasa, dia dapat memahami kelebihan dan kekurangan siswanya dengan baik. Ibu Yuni sering berbagi cerita denganku, tentang kelas yang di ampu-nya, tentang siswa-siswanya, tentang tugas sekolah, hingga tentang urusan rumah tangga, maklum walaupun masih muda, Ibu Yuni sudah berkeluarga, pasangan muda bahagia.
Banyak hal yang membuat aku kagum dengan sosok Ibu Yuni, dia bagaikan partner in crime saya di sekolah, bersama berdiskusi membuat hal-hal seru dan baru di sekolah. Kekagumanku akan dirinya semakin bertambah ketika pada saat itu, aku mengajak guru-guru untuk mengikuti lomba cerpen untuk guru. Dari semua guru yang ku ajak hanya ada tiga guru yang tertarik, salah satunya adalah Ibu Yuni. Namun, dengan segala keterbatasan bukan cerpen yang dibuat oleh nya tapi sebuah catatan pribadi, atau biasa kusebut sebagai jurnal. Tulisannya memang bukan termasuk kedalam jenis cerpen yang dimaksudkan dalam lomba, aku membaca jurnal tersebut dengan seksama.
Begini bunyi ceritanya:
Dengan membaca Bismillah aku memulai tulisan ini. Sebenarnya masih bingung nau tulis apa tapi aku bertekad untuk menulis cerita.Aku akan bercertita bagaimana rasa menjadi wali kelas. Rapat itu memutuskan aku terpilih menjadi wali kelas, kaget sih, karena ini kali pertama aku jadi wali kelas..eh.. malah disuruh menjadi wali kelas kelas 1. Waktu aku bayangkan ya susah-susah gampang ngurus kelas 1, tapi pas terjun langsung waktu ngajar aku sempat kewalahan. Karena ternyata dalam kelas itu selain jumlahnya yang banyak mereka mempunyai karakter masing-masing. Ada yang suka menangis, ada yang nakalnya minta ampun, ada yang susah menulis. Ada yang hanya duduk diam saja padahal temannya yang lain sedang bermain. Hmmm....aku bingung harus mulai dari mana untuk mengawalinya.
Pertama-tama aku memutuskan untuk melakukan pendekatan terhadap muridku. Ku yakin cara ini bisa untuk mempermudah aku mengenal pribadi mereka dan kalau sudah kenal aku jadi lebih mudah mengajarkan pelajaran kepada mereka. Sebulan dua bulan aku lakukan cara ini, kukira sangat mudah tapi ternyata sulit karena aku harus memulainya satu persatu. Kebanyakan anak mudah aku dekati , tapi apa yang aku takutkan terjadi juga. Aku harus melalui hambatan, sebut saja namanya Ferdiansyah. Aku sempat kewalahan mendekati anak ini, jangankan untuk mengajarkan sesuatu, untuk mengobrol dengannya saja susah sekali. Hmmm...kurasa ini perlu tenaga ekstra nih. Akhirnya sebelum aku langsung menghadapinya kucoba untuk bertanya kepada wali kelas sebelumnya karena yang u tahu anak ini tidak naik kelas. Ku pikir anak yang tidak kelas akan lebih pinta r dibanding temannya yang baru masuk, tetapi sebaliknya, jangankan disuruh menulis atau membaca di ajak mengobrol aja susah banget dia buat jawab, bisanya cuma duduk diam saja, walaupun teman-teman yang lain bermain, berlari sana sini, tetapi dia hanya duduk diam saja. Akupun sampai bingung entah apa yang dipikirkannya, sebelumnya aku sangat emosi karena sikapnya, dia mengerti atau memang gak mau tau sedikitpun tentang apa yang kuajarkan. Karena responnya hanya diam saja, walaupun aku sudah berbicara dengan keras, memarahinya, menanyakan dia mengerti apa tidak, tetapi tetap saja ekspresinya hanya diam. Aku bicara dengan diriku sendiri. Oke. Biarkan anak ini dalam dunianya sendiri sampai aku bisa mendapatkan ide bagaimana cara agar dia bisa ku ajak bicara. Akhirnya pada hari itu aku bertekad untuk melakukan sesuatu untuknya, pertama yang kulakukan adalah aku selesai memberikan tugas kepada yang launnyta dan sepertinya tugas kepada yang lainnya dan seperti biasanya dia hanya duduk diam. Kudekati tempat dudukya yang hanya beralaskan karpet, karena sekolah kami kekurangan banyak ruang KBM. Kutanyakan apakah dia sudah mandi hari ini dan dia hanya mengangguk, dalam hati aku berpikir “Alhamdulillah, mudah-mudahan anggukan ini pertanda baik untuk hari ini”. Setelah itu kubertanya “Kenapa kamu enggak pernah mau nulis?”, tanpa menunggu jawabannya aku bertanya lagi “kamu ga bisa apa takut sama Ibu?” Aku tahu dia pasti akan sulit menjawabnya, tanpa kuberi dia kesempatan untuk menjawab, kuperbaiki cara dia memegang pulpen dan ku bantu tangannya untuk menulis angka 1. Luar biasa dia mau menulis walaupun tanganku masih menggenggam tangannya, selesai ku melatihnya ku suruh dia untuk menulisnya sendiri angka satu sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ku beri tepu tangan untuknya karena dia sudah menulis angka satu sesuai yang kuperintahkan. Ada senyum bangga yang tersirat bibirnya walaupun aku yakin itu karena dia merasa dia sudah bisa menulis dan aku tak luput karena akupun merasa senang sekali dia sudah mau menulis dan susah bisa tersenyum yang paling penting.
Setelah itu aku tidak menyuruhnya menulis ini itu, karena aku gak mau terlalu membebankannya. Saat itu aku hanya berbicara sedikit dengannya, aku katakan “Kalau kamu gak bisa dengan pelajaran yang ibu berikan, kamu harus bertanya, gak usah takut, ibu pastu mengajarkannya, karena ibu yakin kamu pasti bisa”. Disitu sekali lagi dia tersenyum dalam hati aku pun merasa bangga, karena kupikir aku pasti bisa membuatnya jadi lebih baik. Sekarang dia sudah bisa menulis walaupun hanya saya yang mengerti tulisannya. Dan sekarang dia lebih aktif. Kenapa saya bilang begitu karena walaupun dia baru menulis satu sampai dua, harus selalu dia bertanya “Ibu, begini nulisnya?”, itu dilakukannya sampai dia selesai menulis. Hmmm...capek sih tapi kupikir lebih baik capek menjawab iya daripada aku capek dengan sikap diamnya itu. Sekarang aku sudah melewati tantangan cara mengenal pribadi siswa, sekarang tantanganku adalah bagaimana membuat anak-anakku itu bisa naik kelas 2 dengan membawa hasil yang baik, terutama sekali minimal mereka bisa mambaca, menulis dan berhitung. Doakan ya....
Subhanallah...
Tulisan tersebut aku simpan dalam catatanku dan dalam hatiku.
Membacanya membuat aku yakin, kepedulian akan menhadirkan sebuah harapan.
Membacanya membuat aku tersenyum dan meyakinkan dalam hati, dialah sosok jawara daerah yang ada di sekolahku.
Semangat terus Ibu Yuni.
Doakan Ibu Guru Yuni ya.
Untuk Tambora yang lebih baik.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda