Beasiswa Untuk Rizal
Faisal Jamil 26 Mei 201310 Januari 2013
Sudah pukul 05.42 WITA. Tak ada yang berbeda dengan malam hari. Semuanya masih gelap, hujan masih turun sepanjang malam. Kabut dan awan mendung masih menghalangi sinar matahari masuk ke kampung kami, Kampung Tambora. Tadi aku mengintip lewat jendela, satu-satunya rumah yang menjadi tetanggaku bahkan tidak terlihat. Kabut terlalu tebal menyelimuti. Yang membuat aku benar-benar yakin jam di handphoneku tidak salah menunjukan waktu hanyalah suara ayam berkokok di sebelah kamar. Dia tetap tepat waktu berkokok, setia dengan tugasnya.
...
Ini pun sama seperti kemarin. Saat siang hari setelah pulang sekolah. Setelah sekitar 1 jam aku mem-pulangkan anak-anakku, kabut turun tebal ke dusun kami. Hujan mulai turun dengan deras. Aku menunggu sebentar hujan reda. Berharap akan ada terang sedikit, supaya perjalananku nanti lebih aman. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.
Beasiswa untuk Rizal. Aku harus menyelesaikan kelengkapan beasiswa untuk Rizal. Rizal aku usahakan untuk mendaftar beasiswa dari sebuah lembaga Sosial, untuk bisa sekolah SMP dan SMA gratis di daerah bogor, Jawa Barat. Formulirnya sudah aku berikan sejak lama, semenjak aku belum cuti liburan dua minggu yang lalu. Dan sekarang waktu pengumpulannya ternyata di majukan. Tanggal 11 Januari harus sudah sampai di Kantor Provinsi, di Mataram. Saat ini sudah tanggal 9 Januari, berarti tidak ada waktu lagi, harus di kumpulkan hari ini, dan diberangkatkan ke mataram besok pagi.
Aku pergi ke rumah Rizal untuk menjemput formulir dan segala kelengkapannya. Rizal hari ini aku minta hadir membawa segala kelengkapan, tetapi dia tidak hadir. Aku harus kerumahnya berarti. Dengan menggunakan jas hujan, aku berangkat. Ternyata perjalanan ketika kabut dan hujan lebat di tengah hutan bukan hal yang mudah. Untuk sekedar jalanan tanah basah sesekali, aku sudah biasa disini. Tetapi dengan intensitas hujan yang turun terus menerus, rasanya sulit sekali. Jalan-jalan tanah berlubang, menjadi jalan bagi air untuk mengalir. Sesekali aku harus terpeleset karena licinnya jalan yang tak mampu di lawan oleh ban motorku. Bannya pun sudah aus ternyata.
Aku datangi rumah 18 m2 nya. Ternyata, formulirnya masih belum selesai. Orang tuanya meminta aku yang menyelesaikan. Tidak bisa seperti ini. Formulirnya harus orang tuanya yang melengkapi. Masih ada pernyataan, dan surat keterangan dari RT / RW, serta DKM Mushalla terdekat yang tidak bisa aku bantu. Ayahnya langsung memanggil ketua DKM yang sedang bekerja membangun rumah tetangga. Meminta menuliskan apa-apa yang diminta oleh formulir. Mendiktekannya.
Setelah ini, aku harus ke Kadindi, desa yang berjarak 1 jam perjalanan, menjemput rapor yang masih di Pak Sugeng. Aku sedikit khawatir, ketika aku turun ke Kadindi rapornya ternyata ada di rumahnya yang di dusunku, Tambora. Aku sms beliau, dan aku telpon, ternyata tidak bisa. Masalah sinyal mungkin. Aku putuskan untuk pergi saja ke Kadindi. Perjalanan menuju kadindi adalah hal yang berat. Aku harus melewati jalan naik turun ala hutan Tambora yang sangat licin dan hancur jalannya. Bagian terberat adalah menuruni sungai Pancasila, batas Kabupaten Bima dengan Kabupaten Dompu. Melewati turunan, melewati sungai kecil, lalu naik kembali melewati tanjakan sangat curam. Dan dengan kondisi musim angin barat seperti ini, jalan disana jauh lebih hancur. Kemarin, aku naik bersama bapak angkatku, kami harus bersusah-susah mendorong motor karena ban kami selip di jalan tanah itu. Untungnya, kali ini tujuanku adalah turun gunung. Meskipun terpeleset, aku tidak harus menuntun motorku seperti kemarin.
30 menit perjalanan untuk sampai ke kadindi dari Sungai Pancasila. Sesampainya di kadindi, ternyata kekhawatiranku benar. Rapor yang aku cari ada di rumahnya pak Sugeng yang ada di dusun Tambora. Dia baru mau naik besok pagi ternyata. Tak ada jalan lain. Aku menawarkan diri untuk kembali naik ke Tambora, dan mengambilnya di rumahnya. Aku bergegas meminta kunci, dan mengisi bensin yang sudah kosong untuk lanjut kembali ke rumah Tambora. Dan sesampainya kembali ke jalanan tanah, perjalanan yang berat di sungai Pancasila sudah menanti.
Aku memilih jalan yang berbeda dengan yang aku pilih saat bersusah-susah payah bersama bapakku kemarin. Ternyata tetap saja. Ban motorku selip. Ban motorku hanya berputar di porosnya saja. Tanah tidak mampu memberikan gaya gesek yang cukup untuk membuat motorku maju. Aku mendorongnya, tidak kuat. Sandal jepit juga terlalu licin. Aku terjatuh ke belakang. Aku bangun kembali, menyalakan motor dengan posisi miring. Tidak ada orang lewat untuk menolong. Aku melepaskan sandal, bertelanjang kaki di tanah liat ini. 10 menit berkutat sendirian mendorong motor dengan segala cara, terjatuh lagi, bangkit lagi dan mendorong lagi. Akhirnya bisa juga melewati jalanan maut itu. Aku langsung naik ke motorku dengan kaki penuh lumpur. Langsung menuju rumahku di dusun Tambora.
Aku masuk ke rumah pak Sugeng dengan kunci rumah yang telah dia berikan. Aku masuk ke tempat penyimpanannya, alhamdulillah mudah ku temukan. Aku shalat ashar dulu di rumahku, lalu kembali berangkat turun. Sebelum turun, Ibuku disini menyarankan ku untuk menggunakan sepatu Weka, sepatu Boot untuk orang kerja di ladang. Katanya, agar lebih mudah dan tidak licin. Aku turuti saja nasihat ibu. Meskipun tidak terlalu pas, memang lebih percaya diri menggunakan sepatu itu. Di perjalanan pun jadi lebih mudah.
...
Aku sampai di rumah pak Sugeng kembali. Dia sudah mau pergi. Aku minta sarannya untuk mengirimkan dokumen ini. Akhirnya disepakati lewat bis yang ke arah Mataram, agar nanti dijemput oleh keluarganya Rizal yang ada di mataram. Aku menyelesaikan semua formulir itu, memfotocopy raportnya di printer milik pak Sugeng. Enaknya rumah dia. Ada tenaga suryanya, sehingga komputer dan printer bisa tetap menyala. Setelah aku selesaikan, aku naik kembali ke Tambora.
Perjalanan melewati sungai Pancasila memang menjadi lebih mudah. Setidaknya perasaanku lebih tenang, karena dokumennya sudah selesai, dan aku menggunakan sepatu Weka tersebut. Lebih leluasa saat kaki turun dan mendorong motor, karena sepatu itu tidak licin ketika di gunakan. Alhamdulillah. Aku juga mengikuti saran bapak angkatku untuk terus berjalan melewati lubang, agar dapat melalui jalan pancasila. Aku ikuti sarannya, dan ternyata benar. Aman terkendali. Aku cari bapaknya Rizal di kampung sumber urip, ternyata tidak ada. Aku titipkan pesan kepada anak-anak dan orang yang mau pergi ke ladang supaya bapaknya Rizal segera menghubungi pak Sugeng besok pagi. Entah, bisa atau tidak, yang penting inilah usahaku terakhir hari ini.
...
Mengirim surat bukan barang mudah untuk kami, yang tinggal di Tambora. Kantor pos terdekat ada di kecamatan sebelah di kabupaten kami, yang membutuhkan waktu tempuh 5 jam dengan motor. Atau ada di kabupaten sebelah kami. Tidak jauh berbeda, 4 jam perjalanan. Tidak dapat kami selesaikan dalam satu hari. Biasanya, aku mengirimkan surat persahabatan anak-anakku dengan sekolah lain dengan pergi ke kota Kabupaten. 8 jam perjalanan dari sini.
Cara lain yang biasa orang lakukan adalah dengan menitipkannya kepada Bis penumpang yang setiap hari pergi ke tempat tertentu. Menitipkannya, untuk disampaikan nanti kepada orang yang akan mengambilnya. Harus ada pengirim, juga harus ada yang menjemput. Orang yang menjemput itulah yang nanti harus mengirimkannya ke tempat yang dituju – jika penerima bukanlah orang yang menjemput.
Semoga usahaku ini berbuah hasil Rizal bisa mendapatkan beasiswanya. Setidaknya, semoga usahaku ini dihitung amal jihad oleh Allah, menjadi amal kebaikan usahaku dalam memperjuangkan pendidikan muridku. Semoga Allah meridhoinya.
..
Saat perjalanan, aku sempat berfikir sebuah kalimat yang aku selalu terenyuh ketika mendengarnya, dan membangkitkan semangatku.
“ Jika ada 100 orang yang berjuang, kau bisa pastikan aku salah satunya.
Jika ada 10 orang yang berjuang, kau bisa pastikan aku salah satunya.
Jika ada 1 orang yang berjuang, kau bisa pastikan aku lah orang itu.
Jika sudah tidak ada lagi orang yang berjuang, maka saksikanlah aku telah tiada.”
Semoga aku bisa menjadi orang yang selalu berjuang, sesulit apapun itu. Sesepi apapun medan perjuangan itu. Setidak populer apapun jalan perjuangan itu. Dan semoga Allah selalu menjaga keikhlasanku.
...........................
Saat ini, pengumuman beasiswa yang diusahakan untuk Rizal sudah ada. Dan hasilnya Rizal belum beruntung mendapatkan beasiswa tersebut. Rizal hanya lolos seleksi dookumen dan dilanjutkan dengan seleksi tertulis. Dia belum beruntung lolos di seleksi tertulis itu. Tapi, apapun itu, semoga menjadi pengalaman terbaik untuk Rizal, dan tentunya untukku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda