Arjunaidin... si Anak Pintar

Nani Nurhasanah 9 Februari 2013

Tubuhnya kecil, hitam dan dekil. Baju yang penuh noda tanah dan getah jambu mete membuat penampilannya semakin kucel. Namun kalau dia sudah tersenyum, semua orang tak meragukan kalau dia anak yang tampan. Dialah Arjunaidin.

Saya menyukai anak ini sejak pertama kali ke SP3. Arjunaidin merupakan anak yang paling rajin datang saung tempat saya memberikan les tambahan. Di awal saya datang sangat susah sekali mengumpulkan anak-anak SP3 buat sekedar duduk dan baca-baca majalah di saung depan rumah hostfam saya. Arjunaidinlah sang pelopor, sehingga anak-anak lain di RT 2 dan RT 1 mau ikut duduk walaupun cuma baca-baca buku sekilas.

“Anak pintar, anak pintar” celotehnya sambil menggoyang-goyangkan badannya saat saya berikan kertas tugasnya yang bertuliskan nilai 100. Dia sangat teliti mengerjakan soal perkalian yang aku berikan. Selalu menjadi no 1 dibanding temannya yang lain.

Saya selalu memuji setiap anak yang berhasil menyelesaikan soal dengan sebutan ‘Anak Pintar’, tetapi saya tidak menyangka kalau pujian itu sangat membekas di hati Arjunaidin sehingga dia selalu menyebutkan kata-kata itu.

Di kelasnya, dia memang anak yang paling cemerlang. No 1 dari 5 orang siswa kelas 4. Saya selalu mengamati dia di dalam kelas, kebetulan kelas 4 dan kelas 5 (kelas yang saya wali kelasi) berada dalam satu ruangan. Hanya posisinya saja yang saling membelakangi.

Memasuki bulan 8 saat penduduk SP3 mulai panen jambu mete, saya mulai kehilangan Arjunaidin di saung belajar. Dia tak lagi rajin belajar les, bukan hanya itu Arjunaidin tercatat tak masuk sekolah beberapa hari dalam seminggu. Saya mulai tanya-tanya ke guru kelasnya. Ternyata Arjunaidin suka ikut orang tuanya petik jambu. Tak jarang juga dia ikut berlayar atau jaga kapal ayahnya. Keluarga Arjunaidin sangat sederhana dengan 5 orang anak (termasuk Arjunaidin, Eman kelas 6 dan Zaenab kelas 2). Ayahnya seorang nelayan dengan kapal yang sederhana dan penghasilan yang jauh dari cukup.

Walaupun jarang masuk, Arjunaidin tetap menjadi anak paling cemerlang di kelas 4. Beberapa bulan kemudian, saat musim barat akan menyapa Arjunaidin menghilang dari sekolah selama sebulan. Saya sangat cemas dan selalu menanyakan keberadaan Arjunaidin kepada Eman kakaknya. Arjunaidin berada di Sori Ketupa (berjarak 20 Km dari SP3) untuk menunggui ladang kacang ayahnya. Eman juga jarang masuk tetapi lebih mending jika dibandingkan Arjunaidin. Berkali-kali saya menitipkan pesan agar Arjunaidin segera masuk, saya benar-benar meras akehilangan dia. Rindu celotehan dan tawa dia sambil menyebut “Anak pintar, anak pintar”.

Tak disangka, beberapa hari kemudian Arjunaidin masuk, tetapi dia tak sendiri. Dia membawa Burhan, adiknya yang paling kecil yang berusia 3 tahun. Sungguh lucu Burhan itu, dia memakai baju merah putih seragam milik Arjunaidin. Namanya anak kecil, selama di kelas Burhan tak mau diam. Jalan-jalan di atas meja, teriak-teriak minta jajan, melempar anak-anak yang sedang belajar dengan kapur. Tak hanya mengganggu kelas 4 aja, tetapi juga kelas 5. Yang lebih merepotkan, saat itu wali kelas 4 beberapa hari tak masuk karena ada urusan di kota. Maka sayalah yang harus menangani kelas 4 dan kelas 5 plus bonus satu anak yang bernama Burhan.

Burhan masuk seminggu, setelah itu Arjunaidin juga ikut tak masuk.

Hari-hari selanjutnya Arjunidin tetap susah dicari. Dalam seminggu Cuma satu dua hari saja dia masuk. Sayang sekali, si anak pintar tak lagi cemerlang menjawab pertanyaan-pertanyaan di kelas. Beban hidup membuatnya terpaksa membagi waktu belajar, mengurus adik dan membantu ayahnya mencari nafkah.

Seberapa lama pun dia pergi, saya tetap akan menyambutnya dengan hangat, mengelus rambutnya, dan berpesan “ Kamu anak pintar, besok masuk sekolah lagi yah!”


Cerita Lainnya

Lihat Semua