Sekolahku (penuh) Tai Capi

Nani Nurhasanah 9 Februari 2013

Pertama kali saya menginjakan kaki di SP3 (Satuan Pemukiman 3), ranjau kotoran sapi menyebar dimana-mana. Memang ada keunikan disini, pohon-pohon kecil seperti pohon mangga dikandangi (dikelilingi pagar tinggi dan rapat) agar tidak dimakan capi (sapi) dan mbee (kambing) yang sengaja diliarkan. Kebalikan dengan yang biasa dilakukan di daerah saya (Tasikmalaya). Biasanya kambing dan sapi dikandangi, tanaman dibiarkan saja. Ternyata konsep ini dibuat karena jumlah capi dan mbee yang sangat banyak sehingga si empunya mengalamai kesulitan jika harus mengandanginya dan rutin memberi makan.

 

Saya cukup merasa tidak nyaman dengan keberadaan tai-tai capi (kotoran sapi) itu, namun teriknya musim panas di daerah pesisir laut Flores itu membuat aroma tai capi dengan cepat menguap dan bentuknya pun berubah mengering.  Maka hari-hari selanjutnya, saya sudah terbiasa dan memperlakukan tai capi yang bertebaran layaknya seonggok tanah biasa walaupun tetap waspada supaya tidak menginjaknya.

 

                Seiring dengan hadirnya hujan musim barat di daerah Tambora, mengakibatkan rumput-rumput yang berwarna kuning menghijau dan mulai tumbuh rumput muda. Pesta bagi semua hewan memamahbiak yang selama ini harus cukup puas dengan rumput tua dan kering.

 

Makanan yang dikonsumsi capi sangat berpengaruh pada sisa hasil konsumsinya. Tai capi yang pada musim panas berwarna kecoklatan dan kering, kini berubah menjadi hijau dan basah. Sialnya, musim barat membuat tai-tai ini susah mengering, dan lebih apesnya sekolah saya belum berpagar sehingga halaman dan teras sekolah menjadi tempat bermain dan bermalam sapi-sapi dan kambing.

Al hasil, setiap pagi halaman sekolah kami penuh dengan tai capi hijau, segar, basah dengan wangi khas yang semerbak. Anak-anaknya seolah tak terganggu dengan pemandangan itu, mereka tetap asyik bermain kasti walaupun ranjau-ranjau tai capi siap membenamkan bola mereka. Tak jarang bola kasti mereka jatuh mengenai gundukan tai capi.

 

Bu Rus, guru honor daerah yang selalu datang paling pagi tak pernah absen teriak-teriak menyuruh anak-anak menyekop (mengambil dengan sekop) tai capi. Anak-anak dengan terpaksa menyekop satu persatu gundukan tai capi itu. Kami pun membuat jadwal menyekop tai capi, Senin dan Kamis giliran kelas 6 dan kelas 1, Selasa dan Jumat kelas 5 dan 2, Rabu dan Sabtu kelas 4 dan 3.  Guru-guru diharapkan bertanggung jawab dengan jadwal tersebut dan ikut mengondisikan siswanya.

 

Selain itu, guru-guru bersepakat untuk gotong royong membuat pagar keliling. Setiap guru mempunyai jatah membuat pagar sepanjang 20 meter. Ada 7 guru di sekolah kami. Namun lagi-lagi anak-anaklah yang menjadi tenaga sukarela untuk membuat pagar dari kayu-kayu pohon-pohon di sekitar sekolah.

 

Pagar keliling tidak langsung jadi dalam sehari, tetapi sedikit demi sedikit gundukan tai capi mulai berkurang di halaman sekolah kami.


Cerita Lainnya

Lihat Semua