info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengapa saya ingin menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar?

Nanda Yunika 13 Juli 2011
Alasan utama saya adalah karena saya merasa terpanggil untuk memberikan dan mengaplikasikan ilmu yang saya punya dengan jalan mengajar. Beruntung saya mendapat informasi program Indonesia Mengajar dari seorang teman yang kebetulan mengikuti seminar sosialisasi program ini di wilayah Yogyakarta. Dari informasi tersebut saya berpikir bahwa program ini adalah ‘jalan’ yang diberikan Tuhan pada saya untuk merealisasikan salah satu mimpi saya yakni menjadi seorang pengajar. Saya terinspirasi oleh beberapa sosok guru luar biasa yang saya temui di setiap perjalanan hidup saya. Dimulai dari sosok guru yang juga merupakan wali kelas 6 SD. Beliau adalah orang pertama yang memperdulikan saya baik dari segi pendidikan sekaligus penjembatan antara saya dan orang tua. Sejak duduk di bangku kelas 4 SD kedua mata saya mengalami rabun jauh dan mencapai puncaknya saat kelas 6. Karena keadaan keluarga, saat itu saya menjadi seorang anak pendiam, pemarah, dan sangat takut pada kedua orang tua saya. Lelah rasanya beberapa kali memohon untuk diperiksakan matanya karena pernyataan ‘nanti’ selalu terucap dari orang tua. Karena semakin parah, di setiap ulangan saya selalu menunggu pinjaman kacamata dari seorang teman. Teman tersebut menyelesaikan menjawab soal yang tertulis di papan tulis terlebih dahulu kemudian barulah saya dapat memulai mengerjakan soal ulangan tersebut. Hal itu berlangsung hingga mencapai puncaknya saat saya mendapat nilai 2 di pelajaran bahasa Indonesia saat kelas 6 SD, padahal saat itu teman lain mendapat nilai minimal 7. Curiga dengan nilai saya, beliau memanggil dan dengan lembut menanyakan penyebab saya tidak dapat mengerjakan sebagian besar soal yang terbilang tidak terlalu sulit itu. Tak hanya itu, beliau bahkan segera menghubungi orang tua saya untuk segera memeriksakan mata saya. Pada akhirnya orang tua saya memeriksakan mata saya dan membelikan kacamata. Selama menunggu kacamata selesai dibuat beliau menyediakan tempat khusus (yaitu bangku terdepan yang berhadapan langsung dengan papan tulis) supaya saya dapat melihat tulisan yang tertoreh di sana. Sejak saat itu prestasi saya meningkat hingga bertahan di peringkat 10 besar. Hal yang sungguh tak terbayang karena sebelumnya prestasi saya selalu pas-pasan bahkan cenderung menengah kebawah jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Bu Party (nama beliau) telah membantu saya berinteraksi dengan orang tua hingga akhirnya saya dapat meningkatkan prestasi saya. Sejak saat itu saya sangat ingin merasakan menjadi seorang pengajar. Almarhum bapak Uyung adalah guru kedua yang semakin menguatkan keinginan saya untuk menjadi seorang pengajar. Beliau adalah seorang guru olah raga ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sebagai seorang guru olah raga, beliau adalah sosok enerjik yang jarang saya temui pada masa sebelumnya. Prinsip beliau adalah ‘Harus melakukan apa yang saya perintahkan ke murid’. Pada saat saya duduk di bangku SMP, sudah menjadi kebiasaan umum dimana guru olah raga kebanyakan duduk di tepi sambil mengawasi pergerakan murid-muridnya. Tak jarang bahkan sembari memberi tugas lari berkeliling lapangan selama 2 jam pelajaran penuh di tengah terik matahari, mereka duduk santai di kantor. Namun pak Uyung tidak. Beliau bahkan selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan, memberi contoh dan mengoreksi kesalahan gerakan siswa-siswanya. Beliau selalu jadi yang terdepan dalam lari keliling lapangan, keras pada anak-anak yang malas, dan selalu menunjukan bahwa ‘kamu bisa’ pada anak-anak yang mau berusaha. Sejak itu, saya ingin menjadi sosok yang dapat mendorong dan memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang positif bagi dirinya. Saya sudah dan sedang mempraktikannya pada adik kedua saya dan beberapa teman saya. Saya ingin mempraktikannya dalam lingkup yang lebih luas lagi dan program Indonesia Mengajar telah memberi kesempatan kepada saya untuk bergabung dan membuktikannya. Belajar di fakultas Psikologi UGM merupakan media saya untuk dapat bertemu dengan banyak pengajar hebat. Diawali dengan prof. Koentjoro yang walau ditengah kesibukannya beliau bersedia meluangkan waktu untuk saya wawancara sebagai narasumber di salah satu rubrik majalah. Pada saat itu saya adalah salah satu staf magang di BPPM Psikomedia(Pers Mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM_red) dan sama sekali belum memiliki pengalaman mewawancarai seseorang, apalagi sendirian. Pada saat waktu janjian ternyata beliau sedang tidak enak badan. Namun beliau tetap memenuhi janjinya untuk di wawancara. “Karena saya sudah janji kan?” kata beliau saat saya meminta maaf karena pak Koen terpaksa harus datang ke kampus hanya untyuk saya wawancara padahal sedang dalam kondisi tidak sehat. Kalimat tersebut masih terngiang hingga saat ini dan secara langsung mengajarkan saya untuk bertanggungjawab atas janji yang diucapkan tak terkecuali kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Dr. M.G. Adiyanti, MS adalah sosok guru bagi saya ketika duduk di bangku perkuliahan. Beliau adalah sosok yang tegas dalam memberi nilai. Di angkatan saya, beliau adalah salah satu dari sekian dosen yang cenderung dihindari hingga pernah satu kali kelas yang saya ikuti dimana beliau sebagai dosen pengajarnya tidak memenuhi jumlah kuota minimal karena kekurangan murid. Walau demikian melihat antusiasme kami para muridnya, beliau memperjuangkan kelas itu dan tetap bersedia untuk mengajar kami hingga selesai. merupakan cuplikan pengalaman hidupnya pada saya hingga saya semakin menghormatinya.  Dosen-dosen lain yang memberikan kesempatan pada saya untuk membantu sebagai asisten baik penelitian maupun praktikum. Beliau-beliau memberikan kepercayaan Hal tersebut juga beliau lakukan ketika menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Beliau bahkan sempat menceritakan mengenai indahnya kerukunan antar umat beragama yang kepada saya. Mendidik dengan memberi contoh dan percaya pada anak didiknya adalah sebagian dari banyak hal lainnya yang saya dapat selama duduk di bangku perkuliahan. Terlepas dari profesinya sebagai seorang guru SMA, ayah saya  merupakan pendidik  yang luar biasa bagi saya. Beliau adalah sosok nyata seorang pendidik yang tak hanya mau belajar dari murid-muridnya bahkan juga dari anak-anaknya. Beliau pernah mendapatkan tawaran naik pangkat menjadi pengawas namun ditolaknya dengan alasan ,”Jika menjadi pengawas saya tidak dapat berinteraksi langsung dengan murid.” Dukungan dari ayah saat yang lain menjauhi saya ketika saya dinyatakan tidak lolos pada ujian akhir tingkat SMA tahap pertama pada mata pelajaran matematika. Dukungan berupa menjadi pendengar yang baik di saat saya dan adik-adik ingin mencurahkan isi hatinya hingga berjam-jam. Dukungan dengan menunggu saya untuk berproses (walau memakan waktu sedikit lebih lama dari yang lain), membiarkan saya mencoba mencari solusi atas kejadian yang sedang menimpa diri, lalu menguatkan dengan kalimat ‘Kamu bisa’ benar-benar menguatkan saya untuk menjadikan profesi pendidik sebagai salah satu cita-cita yang ingin saya wujudkan. Banyak guru-guru bijak dan inspiratif di sekeliling saya. Saya sangat terbantu atasnya dan saya menjadi saya yang sekarang ini berkat andil mereka. Kini saatnya saya menjadi mereka. Dapat membantu dan menginspirasi anak didiknya untuk menjadi seorang yang berprestasi, jujur, bertanggungjawab, pantang menyerah serta memperlihatkan mimpi untuk direalisasikan di kemudian hari. Hidup adalah ladang manusia untuk belajar. Mengutip pernyataan subjek penelitian tugas akhir yang juga menjadi orang yang saya anggap guru (Is Yuniarto, seorang komikus Indonesia yang luar biasa merangkap sebagai pengajar di beberapa universitas di Surabaya) dimana,”… dengan mengajar kita juga belajar.” Saya ingin membuktikan hal itu. Saya ingin memberikan apa yang saya punya  dan bergabung dalam program Indonesia Mengajar merupakan salah satu kesempatan bagi saya untuk merealisasikannya. Kini sudah lebih dari separuh perjalanan saya arungi bersama keluarga besar Indonesia Mengajar. Banyak sekali hal yang dialami selama saya berada di daerah penempatan.  Suka, duka, tangis, bahagia, optimis bahkan perasaan kecewa secara bergilir datang menghampiri. Satu hal yang pasti, tujuan awal untuk memenuhi panggilan jiwa yakni memberikan dan mengaplikasikan ilmu dengan jalan mengajar semakin terkokohkan di sini. Catatan : Kurang lebih inilah pertanyaan yang tertuang di form registrasi Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang harus saya isi saat itu. Pertanyaan ini pulalah yang sering ditanyakan oleh orang-orang yang saya temui selama menjadi Pengajar Muda baik di daerah penempatan maupun saat melakukan perjalanan. Banyak pula teman-teman menanyakan hal serupa, baik melalui sms maupun telepon sejak awal saya berada di daerah penempatan hingga saat ini. Melihat antusiasme demikian, ijinkan saya untuk meng up-load bagian dari apa yang saya tulis di form registrasi IM sehingga dapat memberi sedikit gambaran kepada pembaca mengenai alasan kami (Pengajar Muda) mengajar di daerah. J

Cerita Lainnya

Lihat Semua