info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengajar VS Rewang;Di balik dapur kolektivisme ‘rewang’

Nanda Yunika 23 Januari 2011
12 januari 2011 Dalam budaya Indonesia kita mengenal istilah berat sama di pikul dan ringan sama di jinjing. Indonesia sendiri dikenal sebagai negara kolektif dimana masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Nilai-nilai tersebut akan sangat terlihat terutama ketika kita terjun dalam sebuah masyarakat desa. Adalah sebuah peristiwa bersejarah dimana terdapat acara nikahan yang diadakan tepat satu rumah di sebelah sekolah tempatku mengajar. Pukul 07.15 hingga 08.30 semua terlihat biasa saja. Semua berjalan seperti rutinitas pada umumnya hingga jam menunjukan pukul 09.00. Pada saat itu aku melakukan rutinitas kerjaku yakni mengajar di kelas 1 dengan segala kehebohan yang ada. Namun ada yang janggal di sana. Yak, mas-mas dan mbak-mbak yang biasa ikut duduk di kelas satu tuk menemani adik-adik mereka tak nampak. “Baguslah,” pikirku. Usut punya usut ketidakhadiran mereka lantaran mereka sedang ‘rewang’ untuk hajatan pernikahan yang acaranya ada tepat satu rumah di sebelah sekolah. Tepat jam 09.00 WIB terdengar suara dangdut yang sengaja diputar dengan volume yang keras dan disusul dengan tarikan suara dari seseorang. Nyanyian itu bak sinyal untuk memanggil  orang-orang tuk datang ke sebuah pesta pernikahan pun juga panggilan untuk warga 1 RT untuk membantu ‘rewang’ tuk acara hajatan, tak terkecuali guru-guru yang rumahnya berada di lingkup RT yang sama. Satu per satu guru yang rumahnya dekat dengan sekolah pulang dan kemudian kembali ke sekolah dengan kostum ‘rewang’ mereka. Masih pukul 09.00 WIB. Seketika keadaan menjadi tak terkendali. Anak-anak kelas rendah yang melihat guru mereka berangsur menghilang mendatangi ruang kantor. Secara silih berganti mereka menanyakan,”Boleh pulang bu?”,”Pulang pak??” dan selalu di jawab dengan jawaban “Nanti ,” oleh guru. Larangan pulang tanpa di tindaklanjuti dengan pemberian materi di dalam kelas sontak membuat anak-anak menjadi gaduh. Kegaduhan tersebut pun seiring bertambah tatkala suara dangdut dari hajatan di sebelah menyanyikan lagu-lagu yang mereka kenal. Aduh mak... “Bagaimana ya bu, di sini kalau ada tetangga 1 RT yang sedang hajatan seluruh warga 1 RT harus ikut rewang. Kalau tidak nanti jadi bahan pembicaraan,” kata salah satu guru yang kebetulan rumahnya tepat di belakang sekolah yang hari ini tidak mengajar karena mengikuti kewajiban ‘rewang’. Oh oke... jadi bahan pembicaraan rupanya menjadi salah satu alasan logis yang menyebabkan si ibu tersebut mengurungkan niatnya untuk mengajar pada hari ini . “Kita biasanya begitu bu. Kalau ada tetangga 1 RT hajatan kita tolong. Jadi besok jika kita punya ‘gawe’ juga ada tetangga yang nolong,” kata seorang bapak yang juga berprofesi sebagai guru. Apa mau di kata. Ini adalah budaya setempat. Kearifan lokal dan kebiasaan atau adat istiadat di sini. “Ibu juga ikut lho. Kan ibu orang RT sini..,” katanya menambahkan. “Oke bu, nanti setelah saya selesai mengajar saya susul yaa...,” kataku yang disambut dengan anggukan kepala tanpa suara dari ibu guru itu. Saat aku mengajar adalah satu-satunya kegiatan belajar mengajar yang terjadi di sekolah ini, pada jam ini. Amazing! Anda boleh sepakat atau tidak, namun inilah nilai-nilai yang selama ini dianut oleh sebagian warga di sini. Nilai-nilai yang ketika di lihat di salah satu sisi akan nampak positif namun tidak jika di lihat dari sisi lain. Dari sisi ke’guyuban’ hal tersebut adalah positif namun dari kacamata pengajaran itu adalah negatif. Hak anak-anak untuk mendapat pengajaran menjadi terkurang tatkala sang guru meninggalkan peran sebagai pendidik untuk melakukan kewajiban sebagai warga masyarakat yang menjunjung tinggi adat setempat. Inilah realita pendidikan di desa yang saya temui di sini.  ^^

Cerita Lainnya

Lihat Semua