Ingatan memori di pertengahan November
Nanda Yunika 23 Januari 2011
Jumat, 12 November 2010
Adalah hari pertama saya menginjakan kaki di sekolah baru, SDN 08 Bantan Tengah kabupaten Bengkalis. Daerah asing yang ternyata mirip dengan kampung halaman. Di sana banyak sekali saya temui etnis Jawa-dengan dominasi Jawa Timuran (Ponorogo dsb). Segera saya dapat menyesuaikan diri disana. Memang, pada dasarnya bahsa bukan merupakan sebuah penghalang ketika berinteraksi dengan warga Bantan Tengah ini. Namun nilai dan kebiasaanlah yang membuat sedikit jeda yang memang tidak perlu dipermasalahkan.
Kami adalah etnis Jawa yang sedikit berbeda. Saya berasal dari Yogyakarta yang mana-baru saya ketahui ketika berada di sini-sangat menjunjung tinggi penghormatan dan sopan santun dalam berbahasa terhadap orang yang lebih tua. Saya memang tidak terlalu terbiasa berbicara dengan bahsa Jawa. Hal tersebut dikarenakan sejak kecil keluarga saya menekankan bahwa kami-anak keturunanya-wajib memakai bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Pun ketika berbicara memakai bahasa Jawa saya otomatis memakai bahasa Jawa Kromo ketika berbicara dengan orang yang lebih tua dan hal tersebut memorehkan pengalaman lucu pada hari ini.
“Pakai bahasa Indonesia saja lah mbak..”, kata salah seorang ibu-ibu ketika saya mengikuti acara Wirid siang itu. Beberapa saat sebelumnya saya diajak untuk datang menghadiri kegiatan Wirid rutin di desa tersebut oleh salah seorang guru yang bernama ibu Ida. Ajakan tersebut langsung saya iyakan. Ibu Ida adalah seorang guru yang mungkin usianya tidak terlampau jauh dengan saya sehingga dari situ saya mendapat banyak informasi mengenai keadaan daerah dan lain sebagainya. Segera sampailah saya di lokasi wirid, lokasi yang tepat berada di belakang sekolah pun kebetulan adalah rumah salah seorang guru yang bernama bapak Gunawan di situ saya sedikit beramah tamah dengan ibu-ibu di kanan-kiri saya. Sepulang dari sana saya mendapat kabar bahwa rombongan ibu-ibu akan bergerak ke arah rumah selanjutnya untuk menggadakan semacam doa bersama mengenang wafatnya salah satu anggota keluarga beliau. Sesampainya di sana saya diam saja. Binggung apa yang harus di lakukan saya kemudian bercakap-cakap dengan salah seorang yang berada di sebelah kanan saya (yang saya sudah lupa namanya). Pada awalnya saya memakai bahasa Indonesia dan beliau menimpali dengan bahasa Indonesia juga. Namun demikian ketika saya menyatakan bahwa saya berasal dari Jawa si ibu tersebut berkata, “Owalah seko Jowo tah...” dan kemudian percakapan kami lanjutkan menggunakan bahsa Jawa. Ada yang lucu disini. Ketika saya menggunakan bahasa Jawa kromo sebagai wujud penghormatan saya kepada orang yang lebih tua beliau justru terbengong-bengong. Usut punya usut ternyata warga Jawa Bengkalis ini tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa kromo dalam berbicara. Baik komunikasi antar orang muda kepada orang tua maupiun sebaliknya. Dan mereka terbengong-bengong ketika saya memakai bahsa Jawa kromo. Pada akhirnya salah seorang ibu berkata,”Pakai bahasa Indonesia saja mbak, kalau pakai bahasa Jawa Kromo kami malah nggak dong...”. atas peristiwa ini saya semakin yakin bahwasanya Jawa adalah daerah yang kaya, baik dari segi budaya tewrutama bahsanya. Saya bersyukur menjadi warga jawa dan lebih bersyukur ketika mendapati bahwasanya di ujung terluar Indonesia-yang letaknya jauh dari pulau Jawa-saya pun menemukan sebuah daerah dimana hampir 100% penduduknya adalah etnis Jawa.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda