info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Buku... buku... dan buku...

Nanda Yunika 23 Januari 2011
Selasa, 30 Nopember 2010 Adalah hari sibukku dalam tiga minggu terakhir. Di mulai dari pagi hari dimana aku berangkat pagi. Kali ini aku menjadi juara ke tiga lomba datang pagi. Di minggu-minggu awal aku masih menempati peringkat ke dua (setelah kepala sekolah) dalam perlombaan tersebut. Namun demikian, sejak beberapa hari yang lalu waktu kehadiranku mulai di dahului oleh seorang guru olah raga. Padahal aku datang seperti biasa. Hem, nampaknya aku harus datang lebih pagi lagi untuk mendahului beliau berdua. Hari ini aku mendapat jadwal mengajar KTK untuk kelas 3 dan IPA untuk kelas 4. Jam kerjaku pun di mulai pada jam ke 3 hingga 6. Oleh karena itu jadilah aku menganggur di jam pertama dan kedua. Aku memang kurang pintar berbasa-basi. Tak lebih dari 30 menit segera aku melangkahkan kaki ke luar ruang kantor untuk melihat-lihat aktifitas di kelas-kelas. Barangkali ada kelas yang bisa di masuki. Hehe... Menuju ke kelas 1 yang letaknya tepat di paling ujung aku melihat beberapa anak sedang bermain balon air. Adalah sesuatu yang unik tatkala seluruh siswa kelas kecil masuk untuk belajar namun 5 anak tersebut berada di luar ruangan. Karena penasaran akhirnya ku langkahkan kakiku menuju tempat dimana kelima anak itu sedang berkumpul. “Halo, kelas berapa kalian? Kok nggak masuk kelas?,” tanyaku pada mereka. “kelas dua bu. Sekarang sedang pelajaran agama,” jawab salah seorang anak itu. “Oh, lalu kenapa tidak masuk kelas?,” tanyaku dengan lugunya. “Di kelas sedang pelajaran agama bu,” jawab anak yang lain. Aku terdiam dan beberapa saat kemudian tersadar. Oh iya, di sini memang kekurangan guru agama. Dengan komposisi masyarakat yang hampir seratus persen memeluk agama Islam, anak-anak suku asli dan etnis Cina yang memeluk agama lain pun mengalami kesulitan untuk mendalami agama masing-masing di sekolah. Hal tersebut bukan karena diskriminasi, namun lebih kepada kesulitan pihak sekolah dalam mencari guru agama yang sesuai dengan keyakinan anak-anak tersebut. Beberapa saat aku menghabiskan waktu untuk bermain bersama mereka di sudut sekolah itu. Ingin rasanya mengajak mereka ke suatu tempat atau mengajarkan suatu hal agar waktu mereka tidak sia-sia. Namun apa? Oh ya... Kenapa tidak ku ajak saja mereka ke perpustakaan? Setidaknya waktu yang mereka habiskan tidak sia-sia ketika dihabiskan dengan aktifitas membaca di sana. Dengan semangat ku langkahkan kakiku ke ruang bernama perpustakaan itu. Setelah ku pastikan bahwa perpustakaan itu tidak terkunci, aku segera memanggil kelima anak tadi untuk ku ajak beraktifitas di dalam ruang perpustakaan. Perpustakaan di sekolah tempatku mengajar tampak megah jika di lihat dari luar. Banguan bata yang lengkap dengan tembok kokoh itu justru akan nampak miris ketika di lihat dari dalam. Ketika melangkah masuk, tampak buku berselimut debu tebal di sana sini tanda jarang di baca. Pun juga dengan variasi jenis buku yang kurang dari cukup. Di sana aku tidak menemukan peta besar seperti yang biasa ku lihat ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku juga tidak melihat deretan buku-buku ensklopedia atau minimal buku-buku bacaan baru lainnya. Semua tampak usang, habis di makan jaman. Dari sudut ke sudut yang ku lihat hanyalah buku-buku paket sekolah terbitan tahun sembilan puluhan yang merupakan pertanda dari sisa-sisa jaman keemasan kurikulum lama. Sedikit buku soal yang juga tampak usang dan beberapa cerita rakyat yang jika di lihat dari bahasanya mungkin baru bisa di pahami oleh anak-anak yang telah menginjak usia remaja. Sedih sekali ketika aku melihat keadaan di dalam perpustakaan itu. Kesedihan berubah menjadi rasa haru ketika kelima anak itu menghambur masuk dan dengan cepat mengambil buku yang mungkin mereka telah baca berulang kali hingga mereka hafal letak buku-buku itu. “Hi dung. Hi dung a da lah ba gian tu buh yang ber fungsi un tuk me ma sukan dan meng e luar kan u da ra. Di da lam hi dung ter dapat bu lu hi dung dan seterusnya... ,” suara seorang anak laki-laki terdengar keras membahana di ruang itu. Seakan tak mau kalah, seorang anak perempuan berlari mengambil buku yang sama kemudian mendekat ke arah anak laki-laki tadi dan melihat halaman yang sedang di baca. Tak berapa lama anak perempuan tadi juga membaca, walau dengan suara tidak sekeras anak laki-laki tadi. Dia terlihat terbata-bata namun tampak tak menyerah dalam mengejar baris demi baris kalimat yang telah di baca si anak laki-laki tadi. Di situ aku merasa malu dan terharu. Bahkan di tengah keterbatasan cakrawala yang dapat mereka baca, mereka tampak semangat membaca dan bahkan dengan ceria berlomba-lomba membaca. Sungguh saat itu aku berpikir, seandainya buku-buku bagus yang dapat di temui dengan mudah di pulau Jawa atau mungkin setidaknya di kota kelahiranku Yogyakarta dapat mereka baca, tentulah mereka dapat bersaing dalam hal pengetahuan dengan anak-anak sekolah dasar yang selama ini aku temui di sana. Kata orang bijak, buku adalah jendela dunia. Aku percaya dan mengamini hal itu. Di masa kanak-kanakku aku hidup dan mendapat semangat hidup dari buku. Dari cerita-cerita yang tertuang dalam buku yang ku baca. Dari gambar-gambar yang aku lihat di sebuah benda yang bernama buku. Aku dapat memperluas cakrawalaku bahkan mimpi-mimpiku melalui buku. Buku apapun itu. Lamunanku terpecah ketika seorang anak perempuan cantik berkulit kuning bermata sipit mendekat. Sambil malu-malu dia bertanya padaku apakah aku bersedia untuk mendengarkan dia membaca. Setelah ku iya-kan, dia terlihat tersenyum senang lalu mengambil sebuah kartu kalimat yang sebelumnya secara kebetulan ku temukan di rak paling bawah dan sengaja ku cecerkan di meja itu agar anak-anak memanfaatkanya. “Heni saudara Heti. He ni sau dara He ti...,” kata demi kata mulai dia baca. Sesekali kesalahan yang tak di sadarinya ku beritahu dengan mengajarkan cara pelafalan yang benar, si anak perempuan tadi tampak serius menirukan hingga benar. Setelah selesai membaca kartu dia mengambil kartu lain dan menyodorkannya padaku. “Oke, bacalah...,” kataku sambil mengangguk dan segera di ikuti dengan lantunuan suara yang keluar dari mulut kecil itu. Tak mau ketinggalan kedua anak lain yang sebelumnya duduk dimeja terpisah menghambur kearahku dan turut meramaikan suara di dalam perpustakaan itu dengan membaca kata demi kata dari buku tua yang mungkin telah berulang kali mereka baca. Dengan buku lama mereka tetap semangat membaca. Dengan buku lama mereka dapat belajar membaca. Namun, apakah dengan buku lama mereka dapat menambah wawasan yang ada di luar sana? Yang bahkan setiap hembusan nafas manusia dapat bertambah dengan sedemikian cepatnya?  Mereka butuh buku, butuh lebih banyak buku, dan butuh buku-buku baru. Biarkan buku-buku itu mereka baca. Biarkan mereka melihat dan mengetahui luasnya dunia. Beri mereka peluang membaca. Membaca lebih dari apa yang mereka dapat kini. Nb : Aku harap mereka-tak hanya 5 orang yang ada di ruang perpustakaan saat ini, namun juga anak-anak SD lainnya-dapat memupuk mimpi dari apa yang mereka baca saat ini. Dan sangat berterimakasih apabila teman-teman dapat menjadi bagian dalam membangkitkan ‘mimpi mereka’ melalui buku bacaan anak-anak yang mungkin dapat teman-teman hadiahkan kepada mereka-mereka yang ada di sini. Apakah teman-teman bersedia memberikan hadiah kecil yang insyaAllah bermanfaat besar bagi mereka? Di sebuah dusun kecil bernama Bantan Tengah, Yang merupakan bagian dari kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia

Cerita Lainnya

Lihat Semua