info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Buang jurang pembeda dengan bekerja bersama-sama

Nanda Yunika 23 Januari 2011
Rabu 22 desember 2010 Senang rasanya tatkala melihat anak-anak di daerah ini riang bermain tanpa membedakan suku dan agama. Tanpa membedakan ras dan sebagainya. Adalah anak-anak kelas 5 SDN 08 Bantan Tengah. Di H-1 sebelum pembagian Raport mereka dibebaskan bermain sesuka hatinya. Pagi ini, aku melihat anak-anak tersebut menganggur di pojokan. Karena melihat mereka demikian segera ku hampirilah mereka dan mengajak mereka membersihkan ruang perpustakaan. “Ayo siapa mau menjadi Pahlawan Kebersihan?,” tanyaku. “Aku mauuuu....,” jawab mereka serempak. Sebelumnya memang ada guru yang meminta salah seorang dari mereka untuk membersihakn perpustakaan, namun anak-anak ini memberi jawaban “malas!” pada perintah tersebut. Hem, ternyata dengan sedikit merubah instruksi guru bisa mengajak anak didiknya untuk melakukan apa yang diperintahkan. Kelimabelas anak itupun berlarian ke perpustakaan. Dan segera mengambil sapu, sulak atau apapun yang dapat dipergunakan untuk membersihkan. Mereka tampak asyik membersihkan dan secara bergiliran menggunakan alat-alat yang ada. Kurang dari 60 menit kemudian mereka telah selesai membersihkan ruang tersebut. Saatnya di pel! Satu anak datang membawa ember yang berisi air dan yang lainnya bersiap mencari alat pel. Dua anak secara bergiliranpun dengan suka cita mengepal ruang perpustakaan itu. Air di sini memang berwarna kekuningan. Belum ada air bersih yang masuk ke wilayah ini sehingga wargapun mengandalkan air hujan untuk memasak. Untuk keperluan lain seperti mandi, mencuci pun kegiatan seperti mengepel lantai memakai air sumur yang berwarna Milo agak bening itu. Karena air yang dipakai sudah berwarna, hasil pel-pelan yang di dapatkanpun tak sebersih ketika di bersihkan menggunakan air jernih. Walau demikian tidak apa-apa, poin penting di sini adalah anak-anak mau berusaha dan bekerjasama secara suka rela membersihkan sebuah ruang yang selama ini nampak tak terperhatikan. Aku berjanji pada anak-anak itu untuk memotret mereka dan memajangnya di perpustakaan. Ku namai mereka ‘Pahlawan Kebersihan’ dan merekapun sangat senang mendengarnya. Namun demikian karena lantai masih basah, kamipun harus menunggu beberapa waktu agar mengering terlebih dahulu. Game 1 2 Boom! Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. “Ayo siapa yang mau bermain 1 2 Boom?,” tanyaku pada kelimabelas anak itu. “Mauuu buu.... Permainan apa buu??,” tanya mereka antusias. Segera ku ajak mereka menuju penggung bersama yang tepat terletak di samping perpustakaan. Permainan ini sebenarnya sangat sederhana. Beberapa orang duduk melingkar dan secara bergiliran meneriakan angka 1, 2 dan seterusnya. Yang unik dalam permainan ini adalah angka 3 adalah angka yang tabu sehingga jika menemui angka tersebut pemain harus meneriakan ‘boom’ dengan suara keras. Permainan ini membutuhkan konsentrasi terutama saat mencapai angka 30-an karena pemain harus awas menghitung jumlah ‘boom’ yang dilontarkan. “ satuu...”,”duaa...”,”boom!”,”empat”...... “tiga bel... eh... salah (diikuti dengan teriakan histeris dari pemain lainnya)”. Setiap ada pemain yang kurang berkonsentrasi sehingga salah mengucap, dia menjadi artis yang harus menjawab pertanyaan dari wartawan secara jujur, berapapun jumlah penanyanya. “Ayo siapa yang mau tanya?,” tanyaku saat ada anak yang kelepasan mengucapkan angka tabu dalam permainan ini. awalnya hanya beberapa anak saja yang secara rutin berani menunjukan jarinya dan kemudian menanyakan ‘sesuatu’ namun lama kelamaan beberapa anak lain mulai berani mengajukan pertanyaan hingga pada akhirnya menjelang akhir permainan setiap anak dengan antusias tunjuk jari untuk mencoba melontarkan pertanyaan kepada satu teman yang menjadi ‘artis’ dalam permainan tersebut. “Aku ingin menjadi seorang guru,” kata seorang anak yang mengikuti permainanku ini. “Aku juga bercita-cita menjadi seorang guru,” kata salah seorang anak yang lain. “Aku ingin sekolah di Bengkalis,” kata seorang anak. “Aku akan kuliah di Bengkalis,” kata anak yang lain. “Aku ingin menjadi tukang motor (mekanik),” kata seorang anak laki-laki yang menjadi satu-satunya pria di permainan itu. “Hobi saya adalah bermain raket bulu (bulu tangkis),” kata seorang anak perempuan yang tampak malu-malu menjawab pertanyaan teman lainnya. “Hobi saya bermain sepak bola,” kata anak perempuan yang lain. Itu tadi adalah jawaban yang di lontarkan  sekitar 20-an anak-anak yang pada saat itu bermain di atas bangunan sederhana bernama penggung seni budaya. Tidaklah terlalu sulit untuk membuat seorang anak dapat membaur dalam sebuah komunitas yang heterogen. Cukup mudah untuk mengetahui minat dan cita-cita mereka tanpa harus memasang tampang serius untuk menggali data tersebut. Satu jalan yang dapat dilakukan adalah masuk ke dalam dunia mereka, dunia bermain. Tak kenal maka tak sayang adalah pepatah yang dapat diaplikasikan dalam menjalin keakraban antara guru dan murid. Pemimpin yang baik terkadang harus menundukan kepala dan membaur dengan yang dipimpinnya. Begitu pula dengan seorang guru. Berdasar pengalaman sewaktu kuliah, dimana banyak dosen yang baik dan populer-walau disisi lain sulit nilai-adalah dosen yang ramah pada mahasiswanya. Tetap memberi jarak walau setipis kertas pada mahasiswanya namun memiliki keramahan yang luar biasa sehingga siswa merasa nyaman berada di sekelilingnya. Aku ingin meniru dosen-dosen tersebut dan kini aku di beri kesempatan untuk merealisasikannya. Permainan mulai seru ketika ada pertanyaan yang berhubungamn dengan ‘pacar’ dan semakin heboh ketika aku kalah dalam permainan itu. “Ayo siapa yang mau tanya?,” kataku menantang. “Saya... saya... saya...,” triak mereka sambil menunjukkan jari. Hoe... Semua anak menunjukan jarinya. “Siapa nama pacar ibu?,” tanya salah seorang anak dan disambut dengan triakan girang anak-anak itu. Haduh-haduh kaliannnnn...

Cerita Lainnya

Lihat Semua