Refleksi FGIM : “Mak Comblang” Para Penggerak

NaluriBella Wati 1 September 2015

“Ditolak lawan jenis mungkin sudah biasa ,tapi  ditolak penggerak potensial? Sakitnya tuh disini...!”

 

Selama enam bulan penugasan, saya belum pernah merasakan apa yang disebut dengan titik terendah. Tapi tak lama setelah itu, saya mengalami  peristiwa yang membuat cukup down dan putus asa. Eits, jangan protes dulu! Ini bukan cerita tentang kepesimisan. Justru ini adalah peristiwa  yang membuat mata saya terbuka lebar setelah mengalaminya.

Juni 2015. Penolakan.

Sejak kantor pusat menggaung-gaungkan Festival Gerakan Indonesia Mengajar 2015, kami para Pengajar Muda Bengkalis  mulai sibuk melakukan berbagai persiapan. Hal pertamayang kami lakukan adalah menghubungi guru dan kepala sekolah yang dianggap potensial untuk  menjadi penggerak daerah. Saya pun langsung menghubungi beberapa  kandidat penggerak di Desa Titi Akar. Beberapa terlihat antusias dengan ide FGIM, sebagian masih terlihat bingung, sebagian tidak tertarik, dan sebagian menolak. Penolakan sebenarnya menjadi reaksi yang sangat manusiawi jika bicara mengenai FGIM. Apalagi prinsip utama FGIM adalah “kerelawanan”. Semua yang terlibat memang mesti “rela” mengorbankan fikiran, tenaga, dan hartanya tanpa ada unsur paksaan sedikitpun. Namanya juga relawan,  kalau mau terlibat ya monggo, kalau tidak ya rapopo.

                Tapi teori selalu lebih mudah dibicarakan daripada dipraktikkan. Saya-yang ternyata masih punya mental tempe- langsung ambruk  begitu ditolak penggerak. Kalimat “ Saya mendukung semua kegiatan Indonesia Mengajar. Tapi maaf Bu, saya kayaknya tidak bisa ikut. Silahkan ibu cari guru lain untuk terlibat di FGIM. Banyak guru senior yang lebih semangat dari saya,” terus terngiang dan membuat saya nelangsa. Pertama kali dalam sejarah penempatan, saya menangis. Mereka yang dikategorikan semangat saja tidak mau terlibat, lalu apa kabar dengan mereka yang belum semangat? Di titik itu, saya merasa putus asa.

Juni 2015. Pencerahan.

There is always a rainbow after a heavy rain. Selalu ada kemudahan bersamaan dengan kesulitan. Beberapa minggu setelahnya, masih di bulan yang sama, Pengajar Muda Bengkalis kedatangan site visitor dari Jakarta. Selain melakukan refleksi dan evaluasi kinerja selama enam bulan terakhir, site visitor juga memberikan penjelasan tentang FGIM. Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah tentang hubungan penggerak daerah dan relawan pusat. Dijelaskan bahwa FGIM sudah memiliki “kriteria” untuk para penggerak daerah dan relawan pusat. Kriteria ini ibarat S.O.P yang tidak bisa diganggu gugat. Artinya, penggerak daerah yang tidak cocok dengan “kriteria” tersebut belum bisa terlibat di FGIM. Pengajar Muda juga tidak bisa  serta merta mengajak orang-orang sebagai penggerak daerah dengan paksaan. Apalagi hanya karena merasa “kekurangan” massa.

                Site visitor kami berkelakar, FGIM itu ibarat ajang pertalian jodoh.  Sementara kami-Pengajar Muda dan officer Indonesia Mengajar- adalah “Mak Comblang” yang berusaha menjodohkan para penggerak daerah dengan relawan pusat. Dua-duanya pasti memiliki kriteria masing-masing. Kalau tidak cocok dengan kriteria tersebut? Ya mungkin memang belum berjodoh.

                Kelakar site visitor justru membuat saya lega. Selama ini saya terlalu fokus pada mereka yang belum mau “nyari jodoh”. Padahal, ada orang-orang yang jelas mau “dijodohin” lewat  FGIM. Mereka yang disebut dengan “pemain kunci”. Mereka yang bukan hanya memiliki ketertarikan yang sama,  melainkan juga memiliki kekuatan secara struktural untuk mempengaruhi orang lain-terutama dalam hal memajukan pendidikan. Mereka yang mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, tapi semangatnya mampu menggerakkan seluruh elemen masyarakat. Ya, benar kata Pak Anies:  Better small but powerful than large but unmanaged.  Dan itu mulai saya rasakan lewat FGIM ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua