Pemakaman Opa

Nalikoy Insowibinderi Sarwom 25 Agustus 2012

 

Satu bulan berada di Onatali Rote Tengah tak hanya membuat diriku menjadi makin gelap dan semakin gemuk saja namun juga membuatku beradaptasi dengan cukup baik dengan kelurahan ku ini. Ayah asuh ku tidak mempunyai pekerjaan yang tetap hanya serabutan dan Ibu asuhku adalah seorang ibu rumah tangga tamatan SD. Akan tetapi mereka sangat antusias dan menerima diriku ini dengan luar biasa baiknya, hanya bapa (panggilanku untuk bapak asuhku) memperingatiku  “kakak... kami hanya punya ini saja. Kami tidak bisa kasih lebih dari ini. Kalau kakak tidak keberatan kami juga baik-baik saja”. Pada awal bertemu dengan Mama dan Bapa masih ada perasaan segan dan malu sehingga berkomunikaasi pun tersendat dan penuh pertimbangan. Dengan seiring berjalannya waktu tembok penghalang pun mulai runtuh dan saat ini mama dan bapa bahkan bisa memarahi diriku apabila melakukan sesuatu yang aneh.

Suatu malam tepatnya satu bulan setelah saya ditempatkan di pulau terselatan di Indonesia , mama dan bapa terlihat sedikit gelisah. Kegelisahan itu sangat terasa ketika subuh-subuh mama dan bapa tiba-tiba meninggalkan rumah. Hari itu hari minggu dan di Rote hari minggu adalah hari yang sakral dimana kebanyakan orang Rote pergi ke gereja. Kebanyakan desa dan bahkan kota kabupaten pun akan terlihat bak kota mati pada hari minggu.

Aku pun bergegas bersiap-siap untuk pergi ke gereja dan tiba-tiba bapa pulang dan menghampiriku sambil berkata

“ mama ada dirumah bawah, Opa sedang sekarat”  setelah berkata demikian tak lama kemudian hp bapa berdering. Ternyata mama yang menelpon dan dari speaker terdengar isak tanggis mama. Saat itu pun aku sadar bahwa Opa sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Hari itu aku berjalan sendiri ke gereja dan ketika melewati rumah Opa terdengar suara tanggisan, ingin sekali kaki ini melangkah masuk kedalam akan tetapi tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya aku meniatkan untuk datang setelah gereja. Kebaktian hari itu yang kebetulan dipimpin oleh bapa pun berlangsung dengan khidmat dan penuh dengan suasana duka. Pemberitahuan tentang kabar duka pun disampaikan kepada jemaat dan lonceng gereja juga dibunyikan untuk menandakan bahwa ada warga yang meninggal. Usai gereja, aku dan beberapa jemaat menghampiri rumah duka untuk menyampaikan bela sungkawa kami.

Tak lama setelah kedatangan kami, para bapak-bapak bergegas mengangkut jenazah Opa untuk ditaruh di rumah duka dan untuk disuntikan formalin . Dikarenakan diriku ini sudah dianggap sebagai putri mama sehingga aku tak dapat meninggalkan rumah duka selama tiga hari. Jadi, selama tiga hari itulah aku menemani keluarga asuhku di kediaman almarhum Opa Ledoh. Banyak orang silih berganti berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Bahkan pada malam hari banyak yang ‘mete’ alias bergadang sambil bermain kartu dan bernyanyi-nyanyi.

BRIDGE ALA ROTE

Ada sesuatu yang unik dari cara orang Rote memainkan kartu. Setiap kali ada pemain yang kalah, pemain tersebut harus mengalungkan seutas tali yang ujungnya ada batu besar (tidak terlalu berat juga akan tetapi cukup untuk membuat telinga pegal). Permainan kartu ini dimainkan oleh 4 orang dan biasanya dimainkan oleh pemuda dan bapak-bapak di dusun tersebut. Sembari menyantap roti goreng dan kue pisang (kata khas orang Rote untuk menyebut pisang goreng)permainan kartu akan berlangsung hingga pagi. Tak heran bila telingga para pemain akan memerah dan ada yang sampai bengkak.

THE BIG FAT FUNERAL PARTY

Selain kebiasaan unik untuk ‘mete’ sambil main kartu ada tradisi  makan yang luar biasa. Sebelumnya perlu disampaikan bahwa orang Rote makan dengan porsi yang banyak. Apalagi saat acara Nikah dan Upacara kematian makanan terutama daging sangat melimpah. Kenapa makanan melimpah? Karena menurut orang sini acara pesta nikah dan pesta kematian sangat penting dan harus dihadiri. Orang setempat bercerita bahwa ketika ada yang meninggal maka ternak peliharaan harus dibantai untuk acara makan-makan. Dahulu, puluhan hewan berbagai jenis seperti sapi, ayam, kambing dan babi bisa dibantai hanya untuk sebuah upacara pemakaman. Semakin terpandang orang yang meniggal maka semakin banyak pula hewan yang akan dibunuh untuk dikonsumsi warga. Intinya makanan terutama daging tidak boleh habis. Dan daging babi menjadi menu wajib. Bahkan ada yang berkata bahwa kalau tidak ada daging babi maka itu bukan sebuah pesta pernikahan atau upacara kematian. Selama tiga hari itulah tungku api dirumah duka tak pernah padam.

Pada hari yang ketiga, diadakan Upacara penguburan yang diawali dengan kebaktian duka di kediaman almahrum. Upacara penguburan dirumah Opa Ledoh dihadiri oleh Lurah Onatali dan Camat Rote Tengah. Setelah kurang lebih satu jam, jenazah Opa diangkut oleh anak, cucu dan menantunya menuju tempat peristirahatannya. Suasana semakin terasa mengharukan ketika isak tanggis keluarga semakin menjadi-jadi. Pesta kematian pun dimulai, mereka sudah memberikan istirahat yang layak untuk Opa dan sekarang saat nya untuk menghibur diri. Meja hidangan dengan daging yang berlimpah telah tersedia dibawah pohon mangga Opa. Dan orang pun terus berdatangan dan mengantri untuk makan. Sangat menarik ketika acara seperti ini berlangsung. Meja hidngan dibagi dua. Ada sebuah meja yang dikhususkan bagi mereka yang tidak dapat mengkonsumsi daging babi.

TU’U

Usai acara pemakamanan saat sore hari para keluarga akan membentuk sebuah lingkaran besar. Disitu mereka akan bercerita tentang silsilah keluarga.  Setiap orang akan menceritakan asal usulnya dan keluarga nya dan dari sinilah akan terlihat jelas hubungan antar keluarga. Oleh karena itu setiap orang di Rote wajib memahami silsilah keluarganya dan sala usul leluhurnya. Ketika semua sudah selesai menyampaikan hubungannya dengan almahrum Opa maka para tetua atau yang dituakan akan memberi uang atau pemberian berupa ternak kepada para ‘anak’.

PUKUL KAKI

Sebuah adat yang sangat khas ketika upcara pemakaman diadakan ialah adat pukul kaki. Adat ini menurut orang setempat diadakan pada saat memperingati hari ke empat puluh. Saat itu pemuda desa tempat almahrum berdomisili akan dipukul kakinya dengan rotan oleh pemuda dari desa tetangga. Syaratnya hanya boleh memukuli kaki saja dan tidak boleh menyentuh bagian diatas lutut. Acara pukul kaki ini dilaksanakan beriringan dengan gong yang dimainkan dan acara akan berlangsung seharian. Maka tak heran apabila usai acara tersebut kaki para pemuda desa berdarah, bengkak dan bahkan ada yang patah. Namun adat pukul kaki ini sudah mulai luntur dan sudah banyak keluarga Rote yang tidak melaksanakan acara adat tersebut.

HANTU KOH???

Waktu hari ketiga ketika dua malam berturut-turut tidur bak ikan sarden dengan keluarga mama di dalam rumah duka dimana jenazah Opa berada di kamar sebelah, aku diajak oleh salah seorang sanak keluarga mama, yang juga temanku di dusun, untuk menginap dirumah Omanya yang tak jauh dari rumah duka. Rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari kayu lontar itu merupakan kediaman Oma yang dibangun sendiri oleh almahrum suaminya. Rumahnya sangat khas Rote. Aku diminta untuk tidur dikamar Oma ditemani oleh temanku tadi.

Pagi hari kami dibangunkan oleh suara Oma yang memanggil  temanku ini. Kami terbangun dengan rasa enggan karena tidur tidak pulas. Teman saya bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sementara itu saya masih berdiam duduk diatas tempat tidur enggan untuk beranjak. Tak lama kemudian Oma masuk ke kamar dengan tertatih-tatih berjalan menuju tempat tidur lalu memegang diriku

“linda...? (lalu berbicara dengan bahasa Rote)”

Aku hanya bisa menyahut “Bukan Oma, saya ini teman Linda”  akan tetapi dengan raut muka yang membingungkan Oma terus memandangku lalu berkata “Hantu koh?”

Lalu ia bergegas pergi dan memberitahukan seisi rumah bahwa ada sesosok hantu di kamar nya.

Aku hanya bisa duduk terdiam dan menahan rasa geli yang ada dalam diriku. Tak jauh dari kamar aku dapat mendengar suara temanku ini yang menasehati Oma nya bahwa yang dalam kamar itu bukan hantu tapi seorang guru baru yang mengajar di SD. Yah...jarang-jarang seorang pengajar muda dianggap sebagai hantu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua