Dua Telinga dan Satu Hati untuk Mendengarkan

Nadira Raras Purdayinta 7 Oktober 2014
Dan hatiku meleleh bersama air mata Ganang yang jatuh membasahi tanah di bawah tempatnya berjongkok. Mengajar di kelas IV merupakan tantangan tersendiri untukku. Pertama, komposisi murid laki-laki mengalahkan murid perempuan hampir dua kali lipat. Pada umumnya, murid laki-laki memang cenderung lebih motorik dibandingkan murid perempuan, sehingga kelas ini cukup “aktif” dalam kesehariannya. Kedua, sejauh ini, dari pengalaman mengajar yang masih seumur jagung namun diperkaya oleh cerita teman-teman sesama pengajar dan guru-guru yang lebih senior, memang kelas III dan IV pada umumnya menjadi masa “akil balik” di SD sehingga perlu pendekatan yang berbeda. Ketiga, jumlah murid dari dua suku mayoritas (yang belum berbaur dalam pergaulannya) cukup berimbang di kelas ini sehingga ada dua kubu besar dalam kelas yang cukup sulit berbaur. Hari itu hari Jumat jam pelajaran terakhir. Jamku mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di kelas IV. Beberapa anak masuk terlambat dan aku memberikan peringatan kepada mereka. Memang, membuat peraturan kelas yang disepakati bersama di awal tahun ajaran sangat penting dan terlewatkan olehku. Tak berapa lama setelah aku memulai pelajaran, aku menyadari bahwa masih ada satu bangku yang kosong: bangku Ganang. Murid-murid kelas IV memberitahuku bahwa Ganang masih main guli. Selama ini, aku mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anak muridku yang satu ini. Saat pelajaran, Ganang cukup sulit diajak berkomunikasi. Saat anak-anak yang lain menggambar potret keluarga mereka, Ganang menggambar 4 orang dengan rupa “metal” dilengkapi dengan rambut mohawk dan bekas jahitan di pipi dengan label “Ganang,” “Uci,” “Father,” dan “Mother.” Jika ditanya, Ganang seringnya menjawab dengan teriakan. Ganang pun selalu memalingkan muka jika berpapasan di jalan. Tak berapa lama, Ganang tiba. 25 menit sudah sejak lonceng tanda waktu istirahat selesai dibunyikan. Dari ambang pintu, aku menyuruh Ganang untuk tetap di luar karena dia terlalu lama terlambat masuk kelas. Ganang berusaha mendorong pintu yang aku ganjal supaya ia tidak bisa masuk. Memang aku sempat agak terkejut juga karena nadaku lebih keras daripada biasanya. Tapi, setelah menyuruh Ganang tetap di luar, aku melanjutkan materi pelajaran di kelas. Selang 10 menit, aku memberikan waktu 5 menit untuk murid-murid untuk membaca dan mengerti lagi materi yang baru aku jelaskan. Sementara itu, aku keluar kelas untuk mengecek keadaan Ganang. Di depan kelas, tidak ada siapapun. Aku pun berjalan menuju ke arah lapangan belakang, dan di balik tembok kelas IV aku menemukan Ganang yang sedang berjongkok sambil memainkan sebatang lidi di tanah. Aku langsung berjalan menghampirinya. Ternyata tanah di bawah tempatnya berjongkok sudah basah oleh air matanya. Ia pun masih terisak-isak. Aku kaget bukan main. Pertama, aku tidak menyangka seorang Ganang yang paling garang di kelas bisa menangis terisak-isak seperti itu. Kedua, aku tidak menyangka kalau bentakanku di ambang pintu tadi menyakiti hatinya. Aku pun berjongkok di sampingnya. “Ganang, kenapa tadi kamu terlambat masuk kelas?” “.....” “Ganang dengar bunyi lonceng tadi?” “Tidak, Bu,” sahutnya sambil terus terisak. “Ganang, tadi kamu terlambat 25 menit.” “.....” “Nang, Ibu sedang bicara dengan kamu baik-baik. Ayo sini lihat Ibu dulu. Sekarang Ibu mengerti kalau tadi Ganang tidak dengar bunyi lonceng. Maaf tadi Ibu bentak Ganang. Mungkin tadi Ganang main terlalu jauh. Lain kali, jangan terlalu jauh kalau main, ya Nang.” Ganang mengangguk lemah. “Ganang, berbuat kesalahan itu wajar kok. Yang penting, bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pahamkah, Nang?” “Iya, Bu.” “Ayo, kita masuk kelas yuk. Kita belajar lagi bersama-sama.” Ganang pun mengikutiku masuk kelas setelah mengusap air matanya. Aku membagi kelas IV hari itu ke dalam kelompok-kelompok kecil. Sepanjang sisa hari itu, Ganang sangat kooperatif di kelas dan mengerjakan tugas di dalam kelompoknya dengan antusias. Setelah itupun, Ganang selalu menyapa jika berpapasan di jalan. Selama ini, mungkin aku menutup telinga dan terus mengajar dengan mindset “Ganang adalah anak murid yang paling susah diatur di kelas” sehingga aku tidak mendengar kebutuhan Ganang yang perlu perhatian berbeda, perlu diperlakukan seperti anak murid yang normal. Mungkin ia sudah letih dicap sebagai anak nakal di kelas. Hari itu aku menutup hari Jumat di sekolah dengan perasaan bahagia dan lega. Sayang, hari itu juga jadi hari terakhir aku mengajar di kelas IV. Satu hal yang pasti, hari itu jadi hari penuh pembelajaran, terutama untuk Ganang dan aku. Belajar untuk mendengarkan: aku belajar untuk mendengarkan apa yang sesungguhnya dibutuhkan Ganang, dan Ganang belajar untuk mendengarkan gurunya. Karena sejatinya, hidup itu adalah tentang mendengarkan. Mendengarkan apa yang alam suarakan kepada kita, mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh kawan kita, mendengarkan apa yang orang tua kita ingin sampaikan, mendengarkan apa yang sesungguhnya kita rasakan. Perlu dua telinga untuk mendengar, tetapi perlu dua telinga dan satu hati untuk mendengarkan. dari pesisir utara Pulau Bengkalis 5 Oktober 2014 p.s. apologise about the spacing --will be working on fixing this!

Cerita Lainnya

Lihat Semua