Lebih dari 10 tahun lalu.
Tuti Alfiani 6 Oktober 2014Ruang kelas sudah rapi, halaman sekolah sudah bersih. Jam sudah menunjukkan pukul 07.05, bel masuk berbunyi. Anak-anak berlarian menuju depan ruang kantor kemudian membuat barisan per kelas seperti biasa. Aku menyebutnya apel pagi, murid berbaris dan berhitung sesuai dengan barisannya sehingga diketahui jumlah murid yang masuk dan yang tidak masuk. Kali ini Pak Didi yang mengambil alih untuk menyiapkan barisan. Pak Didi merupakan salah satu guru yang rajin dan selalu datang tepat waktu sebelum jam pelajaran dimulai. Sosoknya juga cukup disegani oleh murid-murid. Tidak heran ketika Pak didi mengambil alih barisan langsung saja murid berbaris dengan rapi. Hanya barisan murid kelas TK yang masih tidak rapi karena sebagian dari mereka masih ada yang sibuk bermain. Setelah selesai mengecek kelengkapan murid, Pak didi mempersilahkan murid masuk ke dalam kelas masing-masing. Secara bergiliran murid masuk dengan tertib dan menyalami guru yang sudah siap menyambut mereka.
Bersyukur, hari ini jumlah guru lengkap. Lebih menggembirakan lagi adalah ketika guru-guru datang tepat waktu. Itu artinya murid bisa fokus belajar dengan gurunya masing-masing tanpa harus terbagi dengan kelas lain, karena biasanya jika ada guru yang tidak masuk maka ada guru yang mengajar kelas rangkap. Mengetahui guru sudah lengkap, aku menuju ke ruang kelas 6. Murid-muridku sudah secara mandiri berdoa dipimpin oleh ketua kelas. Jam pertama adalah pelajaran IPS dan masih dengan materi negara-negara di Asia Tenggara. Aku sudah menyiapkan kertas, pensil warna, dua buah tutup toples berbentuk lingkaran dengan ukuran berbeda. Rencananya hari ini murid akan menggambar sendiri lambang ASEAN kemudian menceritakan makna gambar yang telah dibuatnya di depan kelas. Seketika pelajaran ini mengingatkan ketika aku juga duduk di bangku sekolah dasar. Aku masih ingat betul ketika bersekolah di salah satu SD di desa. Saat itu guruku menuliskan materi di papan tulis hitam menggunakan kapur dan kami semua diminta untuk menyalinnya di buku tulis kemudian catatan kami dicek satu persatu apakah benar-benar menulis atau tidak. Siapa yang menyangka, hari ini aku disadarkan bahwa waktu telah berlalu dengan cepat. Tanpa terasa lebih dari 10 tahun yang lalu aku duduk sebagai murid SD sama seperti anak-anak di hadapanku. Timbul pertanyaan, apakah kelak akan ada muridku yang menjadi guru? Seperti roda yang berputar, dahulu sebagai siswa dan berganti menjadi seorang guru. Rasa-rasanya aku sudah tidak sabar membayangkan muridku sepuluh, belasan atau puluhan tahun lagi. Membayangkan dengan penuh harap bahwa kelak murid-muridku mampu bertumbuh sesuai dengan cita-citanya masing-masing. Aku percaya, bahwa semua yang ada di alam ini akan berganti. Hari ini mereka boleh saja hanya anak kecil yang berasal dari dusun dengan fasilitas dan informasi yang terbatas, tapi suatu hari nanti mereka adalah para pengganti kita semua. Generasi penerus yang akan membentuk wajah Indonesia di masa yang akan datang. Hingga pada akhirnya mereka juga akan bangga mengenang masa-masa duduk di bangku sekolah dasar dan dengan percaya diri menceritakan perjalanan hidupnya sepuluh, belasan atau puluhan tahun lalu. Semoga Tuhan mengizinkan mereka bertemu dengan kesuksesannya masing-masing.
Pada akhir pelajaran aku mengambil 7 lembar post it berwarna ungu, aku menulis surat dengan isi pesan yang sama untuk muridku yang berjumlah tujuh orang kemudian surat itu aku masukkan ke dalam masing-masing kotak cinta sesuai dengan nama muridku yang tertera di kotak cinta tersebut.
“Teruntuk jagoan ibu guru. Semangat belajar nak, kelak kalian akan melihat dunia lebih luas dari hari ini karena kalian telah berhasil menembus batas-batas diri dalam meraih mimpi”
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda