Ulangan Umum SD Eka Panca Bagian I
Mutia Hapsari 26 Desember 2010
Guru masuk ke dalam kelas. Murid-murid duduk di kursinya masing-masing sambil menyiapkan alat tulis berupa pensil, polpen, dan juga penghapus di atas meja. Suasana tampak tenang, tapi sebenanrnya ketenangan itu tak tampak di hati tiap siswa. Jantung berdebar ketika guru membuka amplop coklat berisikan lembar soal ulangan. Dan ketika lembar per lembar itu dibagikan, maka secara serentak murid-murid langsung berkutat dengan soal-soal yang ada di hadapannya. Ah.. itulah suasana ulangan ketika aku SD dulu. Sebuah SD Negeri di daerah Kotabaru. Entah sudah berapa tahun lamanya aku tak lagi merasakan sensasi itu.
Maka ketika bulan Desember ini murid-murid SD Eka Panca akan menjalani ulangan semester, aku pun bersemangat sambil berharap bisa bernostalgia dengan suasana ketika aku kecil dulu.
Tapi rasanya harapanku sia-sia. Meskipun namanya ulangan umum, tapi aku tak menemukan atmosfer itu di sini. Yang membedakan hari-hari ulangan umum dengan hari-hari sekolah biasa hanyalah guru masuk ke kelas dengan membawa amplop coklat berisi soal yang kemudian dibagikan ke tiap anak. Selebihnya, semua nampak sama. Masih ada suara riuh anak-anak di dalam kelas yang sibuk mengeluh tentang sulitnya soal. Anak-anak dengan bebasnya bisa izin ke kamar mandi kapan pun mereka mau. Lucunya, murid pun tidak segan-segan menanyakan ke guru tentang jawaban dari soal yang tak bisa dikerjakan.
Sebagai guru baru, aku tidak mendapatkan jadwal untuk menjaga ulangan. Tetapi, demi menjawab rasa penasaranku tentang proses berjalannya ulangan, aku menawarkan diri kepada guru kelas 6 untuk menjadi pengawas ulangan IPA.
Dan masuklah aku ke kelas yang diisi oleh 17 murid. Soal dibagikan oleh guru kelas 6. Bapak guru yang cukup senior itu kemudian kembali ke ruang guru dan membiarkan aku mengawasi kelasnya. Pada awalnya suasana di kelas berjalan layaknya ulangan pada umumnya. Tenang, setiap murid terlihat serius berkutat pada lembar soal yang ada di depannya. Tetapi, tak berapa lama kemudian di tempat duduk paling pojok kiri belakang, kulihat dua orang murid laki-laki saling menatap satu sama lain dan setengah berbisik.
Aku pun melayangkan tatapan kepada dua muridku yang sangat kreatif tersebut. Keduanya pun segera menyadari tatapanku dan beriusaha menghentikan aktivitas memberikan “jawaban”. Lima menit kemudian keduanya memulai lagi aktivitas tersebut. Aku pun berjalan ke belakang dan mencoba mengawasi keduanya. Keduanya hanya tersenyum dan sepertinya merasa sangat terganggu dengan kehadiranku di situ.
Tapi aku tak bergeming dan tetap berdiri di tempat tersebut. Aku melihat di laci meja anak tersebut terdapat buku catatan IPA. Aku pun meminta kepadanya untuk menyerahkan lembar catatan tersebut kepadaku. Aku pun segera kembali ke kursi di depan dan mengamati jalannya ulangan. Semakin siang, suasana semakin aneh. Jika tadi hanya dua orang murid laki-laki saja yang sibuk memberikan sinyal jawaban, maka sekarang beberapa murid perempuan juga ikut ambil bagian di dalamnya. Mereka mulai menoleh ke belakang dan mencoba menanyakan jawaban kepada temannya.
Bahkan di menit-menit terakhir beberapa murid memohon kepadaku supaya aku memberikan jawaban salah satu soal esai. “Ayo Bu, kasih tahu, jawaban nomor 3 saja,” kata mereka dengfan tampang memelas. Aku pun hanya menggelengkan kepala.
Begitu semua kertas ulangan sudah dikumpulkan, aku pun segera mencoba menampilkan senyumku yang paling cerah dan menanyakan “Apakah soalnya sulit?” dan jawabannya pun sangat beragam mulai dari sulit, sedang-sedang saja, sampai mudah.
“Apakah Pak guru pernah menjelaskan materi ulangan hari ini?.”
“Pernah Bu!.”
“Apakah kalian mencatat materi nya,” tanyaku.
“Mencatat Bu. Kan ada bukunya juga.”
“Lalu mengapa ,masih sulit?”
“Jujur saja bu nggak belajar.”
Dan aku sangat senang karena mereka mau jujur bahwa mereka tidak belajar. Paling tidak itu sudah menjadi sinyal bagiku bahwa mereka menyadari apa yang harus dilakukan supaya bisa mengerjakan ulangan. Lalu aku pun menanyakan kepada mereka, seperti apa seharusnya ulangan umum yang ideal.
Dan mereka pun memberikan jawaban:
Tidak boleh mencontek teman
Tidak boleh melihat buku
Tidak boleh ribut
Tidak boleh menanyakan jawaban kepada guru.
Lalu aku mengatakan, “Kalian sendiri yang mengatakan aturannya. Maka mulai besok aturan ini akan kalian jalankan.” Dan suasana kelas pun mulai gaduh. Beberapa anak bahkan menyalahkan ank lainnya. “Kamu sih ngomong begitu,” katanya.
Aku pun kembali menanyakan apakah peraturan ini sulit dijalankankan. Dan semuanya menjawab sulit. Aku pun mulai bertanya. “Di kelas ini siapa yang bisa mendayung perahu?.” Dan hampir sebagian besar muridku mengacungkan tangan. “Apakah waktu kalian umur lima tahun sudah bisa mendayung perahu?.” Dan muridku-muridku tertawa. “Yah jelas belum bisa dong Bu.”
“Lalu kenapa kalian sekarang bisa mendayung perahu?” “Belajar Bu,” ujar mereka secara serentak.
Dan aku pun langsung mengatakan kalau kalian bisa belajar mendayung perahu, maka kalian juga bisa menjalani ujian tanpa mencontek. “Kuncinya kalian mulai berlatih sejak sekarang,” kataku.
Dan ulangan hari itu ditutup dengan kesepakatan bahwa mereka akan belajar keras sehingga di ulangan esok hari mereka tidak perlu mencontek.
Tapi, ulangan masih akan berjalan tiga hari lagi. Dan esok pagi, aku akan kembali melihat apakah murid-muridku akan belajar untuk tidak mencontek ataukah mereka masih akan melakukannya. Apapun nanti hasilnya, saya percaya bahwa perubahan haruslah tetap dimulai. Di mulai dengan suatu langkah yang meskipun kecil tetapi kokoh pijakannya....
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda