info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sarapan dan Kultum

Mutia Hapsari 5 Februari 2011
Sarapan, makan pagi, breakfast, entah apapun bahasanya esensinya tetaplah sama. Yakni kegiatan makan di pagi hari yang dilakukan sebelum memulai aktivitas hari itu. Gunanya tentu saja sebagai bekal agar kita bisa melakukan aktivitas dengan baik di hari itu. Memang di kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar, banyak orang memilih untuk tidak sarapan karena padatnya kesibukan. Tetapi ketika kita kecil, orang tua kita selalu berpesan sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah. Nasihat ini pun juga diucapkan oleh guru-guru di SD-ku dulu. Biasanya ketika upacara hari Senin, guru yang bertugas menjadi pembina akan memberikan nasihat ini. Nampaknya guru-guru khawatir murid akan pingsan ketika upacara kalau mereka tidak sarapan dulu. Kekhawatiran yang dirasakan guru-guru SD ku tentang anak muridnya yang pingsan karena tak sarapan rasanya tidak akan dirasakan oleh guru-guru di tempatku mengajar. Maklum sekolahku tak memiliki lapangan. Yang kami miliki disini hanyalah sebuah jalanan yang aspalnya akan mengering ketika panas dan meleleh ketika hujan alias tak beraspal he..he. Meskipun tak memiliki tradisi upacara, setiap Jumat pagi dari jam 8 sampai jam setengah  9, seluruh murid dan guru akan berkumpul dan berbaris memenuhi jalan masuk menuju sekolah. mereka berkumpul untuk acara Iman dan Taqwa atau Imtaq. Acaranya dimulai dengan mendengarkan kultum dari salah satu guru yang dilanjutkan dengan membaca sholawat bersama-sama.  Acara diakhiri dengan seluruh murid menjabar tangan semua guru yang hadir. Mengingat singkatnya acara ini, rasanya tak mungkin ada anak yang pingsan. Tetapi, semua anggapan itu buyar pada Jumat lalu, 28 Januari 2011. Hari Jumat, di mana aku untuk kali pertama menjadi pengisi kultum di acara itu. Pagi ketika aku memberi kultum untuk pertama kalinya, aku merasa Tuhan sangat baik. Cuaca mendung  tetapi juga tidak terlalu gelap. Aku merasa cuaca yang pas untuk bisa mendapatkan perhatian dari murid-muridku yang setiap harinya nampak semakin ajaib. Karena jika cuaca panas, murid-muridku akan mulai mengoceh karena kepanasan. Maka kultum pun aku mulai dengan ucapan salam dan pertanyaan “Aapakah sudah sarapan pagi ini?”. Sebagian anak menjawab sudah, sedangkan sebagian yang lain menjawab belum. Pertanyaan tentang sarapan itu, sebenarnya kusampaikan bukan lantaran aku khawatir akan ada anak yang pingsan. Tetapi lebih sebagai pertanyaan pembuka sebelum kultum “ice breaker” yang sifatnya basa-basi. Karena sebagain anak menjawab belum, maka aku pun mengingatkan kepada mereka untuk membiasakan sarapan. “Itu penting, supaya nanti ketika mengikuti pelajaran bisa konsentrasi,” kataku dengan gaya sok bijak. Selesai aku memberikan kultum, maka acara dilanjutkan dengan membaca sholawat yang berlangsung sekitar sepuluh menit. Tepat setelah acara pembacaan sholawat usai, salah satu anak berteriak, “Bu, ada yang jatuh!”. Spontan seluruh guru kaget. Salah seorang anak laki-laki kelas 6, Yasir, segera menggendong tubuh mungil siswi perempuan kelas 1 SD yang belakangan diketahui bernama Pina. Pina segera di bawa ke kantor guru. Karena, sekolah kami tak memiliki Unit Kesehatan Sekolah (UKS), maka Pina terpaksa harus dibaringkan di atas meja. Guru-guru perempuan langsung sibuk membuka jilbab dan melonggarkan seragamnya. Ada pula yang mengambil air putih. Untungnya Pina segera membuka matanya, sehingga ia tak perlu harus dibawa sampai ke Puskesmas. Dan aktivitas sekolah berjalan seperti sedia kala. Seluruh anak-anak segera masuk ke kelasnya masing-masing. Di ruang guru, ibu guru Kelas IV mengatakan bahwa ceramah hari ini pas dengan peristiwa yang terjadi. “Baru saja dikasih tahu soal sarapan, eh sudah ada yang pingsan. Jadi contoh itu tadi kalau nggak sarapan” kata ibu Nur. Aku pun hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Entahlah, apa maksud dari peristiwa pagi itu. Mungkin benar apa yang dikatakan Bu Nur bahwa anjuran pentingnya sarapan dalam kultumku memang terbukti harus dilakukan. karena nampak jelas di mata anak-anak ada yang akhirnya pingsan. Meski demikian, sampai saat ini aku tak pernah bertanya langsung ke Pina apakah anak itu pingsan karena tak sarapan ataukah karena memang sakit. Tak banyak yang berubah pula akibat peristiwa itu. Sebagain besar murid-muridku masih lebih suka tidak sarapan pagi dan memutuskan untuk menggunakan uang jajannya untuk jajan es atau pentol. Sarapan murid-muridku di pagi hari adalah es dengan pewarna menyala dan setusuk pentol yang dicampur saus yang warnanya juga sudah tak jelas. Hanya saja, saat ini guru-guru di sekolahku mempunyai "metode" baru untuk membuat anak segera berbaris ketika akan mengikuti Imtaq. Maklum, membuat anak segera berbaris bukanlah pekerjaan mudah. Untuk membuat anak tertib, guru-guru akan berteriak, “Ayo cepat barisnya biar cepat mulai. Kalau kelamaan nanti bisa ada yang pingsan!.”

Cerita Lainnya

Lihat Semua