Bulan Keempat
Mutia Hapsari 12 Maret 2011
Bulan Keempat
Sepuluh November 2010 keberangkatan. Dua hari yang lalu, 10 Maret 2011. Tepat empat bulan. Empat bulan di Paser, empat bulan penuh perjuangan, empat bulan penuh percobaan, dan tentu saja empat bulan yang penuh keluhan.
Setelah lewat bulan keempat, mestinya segala sesuatunya akan lebih mudah. Keluhan dan rasa pesimis mestinya berubah menjadi rasa syukur dan optimisme. Segala sesuatu yang tadinya hanya rencana mestinya sudah mulai diimplementasikan sedikit-sedikit.
Dan memang benar apa yang diucapkan Pak Eko waktu retraining seminggu yang lalu. Tiga bulan pertama merupakan masa penyesuaian. Masa di mana saya dan 50 orang lainnya sebenarnya belum dipenuhi dengan target muluk-muluk. Cukup mengenal lingkungan tempat kami tinggal dan lingkungan tempat kami mengajar.
Di tiga bulan pertama, hampir setiap harinya saya merasa terkejut dengan rutinitas beberapa guru yang terkadang membuat saya marah dan kesal. Di tiga bulan pertama, saya sering pulang sekolah dan berpikir bahwa tak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan semangat belajar anak-anak di sini. Dan setiap hari terasa hambar, berjalan seperti biasa. Hanya cukup bangun pagi, mengajar, pulang, memberi les, membuat RPP dan tidur.
Tapi retraining telah membuat saya berpikir kembali dan merenungi apa yang terjadi selama tiga bulan terakhir. Saya menyadari bahwa banyak kemarahan di dalam kelas yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya saja, saya pernah marah karena banyak anak yang suka mencampur-campur buku. Tapi kondisinya terjadi karena saya juga tidak pernah menetapkan perturan secara tegas tentang hal ini kepada murid-murid.
Maka di hari pertama menginjakkan kaki di sekolah setelah retraining berakhir, saya merasa terlahir kembali. Bahwa segala sesuatu yang tadinya sangat kacau harus dibenahi.
Dan saya pun mulai menetapkan peraturan di kelas 2,3, dan 4, untuk tidak lagi mencampur-campur buku mereka. Mengikuti ide dari Patrya, saya membubuhkan tanda tangan di setiap buku milik murid. Saya menetapkan peraturan tertulis bahwa bagi yang tidak membawa buku akan mendapat sanksi menghabisakan waktu setengah jam sepulang sekolah untuk mengerjakan soal.
Ketika peraturan ini saya tetapkan, banyak murid menganggukkan kepala tanda setuju. Tetapi, salah seorang murid di kelas 4 sempat melancarkan protes. “Bu, saya kan habis pulang sekolah mau ngaji. Nanti terlambat!.” Dan saya pun mengatakan bahwa saya akan membicarakan hal ini dengan guru ngajinya yang kebetulan merupakan ibu dari salah seorang murid perempuan di kelas situ. “Nanti ibu yang akan bicara sama guru ngajinya kalau misalnya kamu kena hukuman terus nggak bisa ikut ngaji. Guru ngaji kamu ibunya Nurhayati kan?”. (Nurhayati ,merupakan murid di kelas ini juga). Saya pun menghampiri Nur dan memohon izin bertemu dengan ibunya untuk memboicarakan tentang masalah ini. Lucunya, Nurhayati langsung berteriak,” Ibu nggak usah ngomong ke ibu saya. Karena kata ibu saya, Udin (murid saya yang protes) memang sudah lama nggak pernah datang ngaji kok.” Dan mendengar itu, saya pun merasa seperti memenangkan sebuah pertarungan besar.
Saya memang belum tahu apakah peraturan ini akan mengubah perilaku murid-murid saya ke depannya. Tetapi jauh di dalam diri saya, saya bisa merasakan sebuah optimisme that it’s gonna work.
Saya merasa bahwa sebuah langkah kecil menuju perubahan besar akan segera dimulai. Dan sayup-sayup saya pun teringat malam-lama di MTC di aman alunan suara gitar dari Firman BK mengiringi kami semua untuk menyanyikan lagu “Lihat Senyum Mereka”
Tunjukkan Pada Dunia
Mereka Bisa, Mengubah Dunia
Lihat Senyum Mereka
PS: Terima kasih buat Bu Wei dan Pak Eko yang telah memberikan pencerahan sembari mendengar celotehan-celotehan saya yang kadang nggak penting. Buat Ade, selamat bergabung di Indonesia mengajar dan senang berkenalan dengan Ade.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda