info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Dua Kilometer

Mutia Hapsari 26 Desember 2010
Berjalan lima sampai tujuh kilometer pernah saya lakukan. Mungkin malah sudah beberapa kali. Misalnya saja sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Saat itu, sekolah saya melakukan demo menuntut pemerintah untuk segera mensahkan undang-undang yang mengharuskan setiap sekolah memberikan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan si siswa tersebut. Saya lupa nama undang-undangnya. Maka sebagai siswa yang lugu dan nurut-nurut saja, terjebaklah saya dalam lautan gelombang siswa yang ikut melakukan demo besar-besaran di depan benteng vrederburg. Perjalanan dari sekolah yang terletak di daerah Jetis menuju Malioboro kurang lebihnya sekitar 5 sampai 6 kilometer. Kemudian waktu kuliah, saya juga pernah melakukan perjalanan dari sebuah daerah yang saya nggak tahu tempatnya menuju Parangndok yang jalannya berbukit-bukit. Perjalanan itu saya lakukan bersama teman-teman dari Unit Fotografi UGM. Demi Tuhan itu perjalanan yang sangat melelahkan tapi sekaligus memberikan rasa puas. Terlebih lagi, di tengah perjalanan saya sempat berpikir untuk menyerah, tetapi untungnya tidak saya lakukan. Intinya berjalan kaki berkilo-kilo bukanlah pengalaman baru buat saya. Lalu jika lima sampai enam kilometer bukan hal baru, apa istimewanya perjalanan dua kilometer? Sebenarnya bukan jauhnyanya jarak yang harus ditempuh. Tetapi lebih kepada tujuan akhir dari perjalanan tersebut dan dengan siapa saya berjalan. Dua kilometer merupakan jarak yang harus saya tempuh untuk menuju rumah salah seorang murid. Ketika saya mengatakan kepada murid saya bahwa saya berencana ke rumahnya hari Kamis, 16 Desember 2010, hampir semua siswa saya terkejut termasuk si anak pemilik rumah. “Jauh sekali Bu, rumahnya paling ujung,” ujar salah seorang siswa laki-laki. Sedangkan Neesa, murid yang rumahnya akan saya kunjungi mengatakan, “Becek bu jalanannya,” katanya setengah khawatir. Dengan meyakinkan saya katakan bahwa saya akan tetap ke rumahnya. Saya bilang hal ini penting mengingat ayahnya merupakan salah satu Ketua RT dan saya sebagai orang baru yang tinggal di Sungai Kandilo merasa perlu menemui ayahnya. Saya pun berpikir apalah arti dua kilo. Kalau masalah jauh, Insya Allah saya bisa. Kalaupun becek, saya yakin beceknya juga tidak teralu mengganggu mengingat jalanan becek sudah menjadi makanan saya tiap hari selama 1,5 bulan tinggal di Sungai Kandilo. Lagipula saya yakin sinar matahari yang cerah hari itu mampu menembus ke dalam tanah sehingga mengeraskan permukaannya. Tapi saya salah besar. Sikap sok tahu memang tak ada gunanya diterapkan di tempat ini. Lima menit pertama, saya masih merasa oh jalannya memang kecil dan penuh rumput, tapi masih bisa dilalui. Saya masih menganggap perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang sangt menyenangkan mengingat setidakmya ada sekitar lima sampai enam murid yang ikut menemani perjalanan saya. Sepanjang perjalanan kami banyak bercerita dan bersenda gurau. Tiba-tiba salah seorang murid laki-laki berteriak “Awas ular!.” Saya sempat sedikit terkejut sekaligus penasaran ingin melihat ular. Ternyata bukan ular yang ditunjukkan murid saya, melainkan kulit ular, bekas ular yang sudah ganti kulit. Imar, salah seorang murid saya yang pemalu langsung memarahi temannya, “Kalian jangan nakut-nakutin Ibu,” ujarnya. Dan perjalanan tetap berlanjut. Dan sepuluh menit kemudian, saya baru bisa benar-benar memahami kekhawatiran murid-murid saya dan melihat dengan mata kepala sendiri, apa yang dimaksud dengan kata “becek”. Jalan yang dilalui tak lebih dari sebuah jalan setapak. Saya yakin kalau seminggu saja, jalan ini tak dilewati orang, pastilah langsung tertutup oleh rumput dan semak-semak yang tingginya satu meter lebih. Dan untuk membuka jalan ini lagi tentunya dibutuhkan parang untuk menebas rumput. Jalan yang sempit masih ditambah dengan kondisi tanah yang berlumpur dan lembab. Bahkan sempat dua kali kaki saya terperosok dalam lumpur. Celana yang sudah saya gulung sampai setinggi lutut pun akhirnya tetap kotor terkena cipratan lumpur. Sandal jepit yang awalnya saya kenakan pun terpaksa saya lepas untuk memudahkan perjalanan. Selama perjalanan dua murid laki-laki yang ikut bersama saya yakni Adi dan Arafah berganti-gantian menjaga saya. Misalnya saja, ketika melwati jalanan yang licin, Adi akan membawakan tas dan sepatu saya, sedangkan Arafah akan memegangi saya supaya tidak jatuh. “Aduh, malu benar rasanya harus merepotkan murid-murid saya.” Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya jika perjalanan ini saya tempuh tanpa mereka. Di tengah perjalanan, salah seorang murid perempuan berceletuk, “Jauh kan Bu Rumahnya Neesa. Jadi jangan heran kalau dia sering terlambat,” ujarnya. Aku pun hanya bisa tersenyum sembari mengagumi perjuangan murid-muridku untuk bisa berangkat ke sekolah. Dan sampailah akhirnya di Rumah Neesa. Rumah panggung berdinding kayu tersebut berlokasi di pinggir sungi. Halaman depannya merupakan sungai, sedangkan daerah belakang rumah merupakan hutan yang dipenuhi semak belukar. Sebelum masuk ke rumah Neesa, terlebih dahulu aku dan murid-muridku mencuci kaki di sungai. Dan untuk pertama kalinya aku bertemu dengan ayah dari Neesa, sekaligus ketua RT 01. Pria berusia sekitar 40 tahunan tersebut terlihat sebagai sosok yang hangat dan berwibawa. Kami berbicara banyak mulai dari obrolan tentang latar belakangku sampai pandangannya terhadap pendidikan. Ia mengaku dengan penghasilannya dari bertani yang pas-pasan, ia selalu berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan salah seorang anaknya juga sudah menjadi guru untuk program Kejar Paket B. Program Paket B ini diselenggarakan di rumahnya dengan menggunakan ruang tamu yang ukurannya hanyalah sekitar 5 x 6 meter. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 14:30 wib dan aku memutuskan untuk pamit. Syukurlah, Pak RT bersedia mengantarku pulang dengan menggunakan perahu motornya. Aku tak bisa membayangkan jika harus pulang dengan menempuh perjalanan darat seperti ketika berangkat tadi he..he..

Cerita Lainnya

Lihat Semua