info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tiga Hari Penuh Kejutan, Tiga Hari Untuk Selamanya

Mutia Hapsari 15 November 2010
Rabu, Kamis, dan Jum’at (10,11, dan 12 November). Tiga hari ini mungkin akan menjadi tiga hari yang tak terlupakan. Bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi sepuluh orang anggota tim tengkorak gaul (Tim Paser) lainnya. Setelah acara perpisahan yang cukup mengharukan dan memeras air mata di Cengkareng, senyum kami kembali terkembang ketika pesawat Garuda Indonesia mendarat di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur. Kedatangan tim tengkorak gaul ternyata disambut oleh guyuran hujan yang cukup deras. Tante saya di Jakarta mengatakan hujan itu merupakan berkah atas kedatangan kami. Setelah sibuk dengan segala tetek bengek pengambilan bagasi dan juga paket buku di bagian kargo, bus warna hijau milik Pemda Paser segera membawa kami ke salah satu mal di Balikpapan untuk makan siang. Kesan pertama, Balikpapan sama dengan Jogja, banyak gedung, banyak Mal. Dan saya berpikir gambar kota di Paser tidak akan terlalu jauh berbeda dengan ini semua. Tetapi saya salah Perjalan dari Balikpapan menuju Paser ternyata merupakan perjalanan yang cukup melelahkan. Sekitar satu jam bus hijau membawa kami dari bandara menuju pelabuhan untuk kemudian menyebrang ke penajam. Dari penajam, barulah perjalanan sesuangguhnya dimulai. Kurang lebih empat jam kami melalui jalan darat yang sisi kanan-kirinya dipenuhi hutan. Pemandangan yang awalnya menarik tiba-tiba saja menjadi sangat monoton. Jalan yang awalnya halus beraspal tiba-tiba berubah menjadi berlubang dan mengguncang kami yang berada dalam bis. Tiba di tanah grogot, waktu menunjukkan pukul 21:30 wib. Waktu yang benar-benar malam untuk melakukan santap malam. Kami makan di restoran dekat rumah dinas bupati. Selesai makan, kami segera menuju pendopo (rumah dinas bupati) untuk bermalam. Tapi, sepertinya kami tidak diizinkan untuk langsung bisa istirahat. Hal tersebut lantaran tak ada air di rumah tersebut. Dan ada sebuah kejadian yang sangat menyebalkan yang tidak mungkin saya ceritakan dengan detail di jurnal ini karena menyangkut nama baik seseorang. Tapi intinya, karena inisiatif dari teman-teman tim Paser dan juga Bu Yundrilah, akhirnya air dapat mengalir dengan lancar, sehingga kami semua dapat mandi dan istirahat dengan tenang. Rabu Berlalu dan Berganti Kamis Kamis di pagi hari diawali dengan suasana yang cukup menghebohkan. Ketika bangun, waktu sudah menunjukkan pukul 07:00 wib. Padahal, acara pertemuan dengan bupati dan jajarannya dimulai pukul 08:30 wib. Tapi dengan gerak cepat, kami akhirnya bisa siap untuk acara pertemuan tersebut. Tepat pukul 08:30 wib acara dimulai. Dan Bupati tidak bisa datang sehingga diwakili oleh wakil bupatinya. Dan mulailah acara perkenalan, ramah-tamah, foto-foto, dan makan siang. Aku nyaris ketinggalan Oke, ini merupakan kejadian lucu yang sebenarnya saya sangat malu untuk menceritakannya. Kisahnya berawal ketika selesai makan siang di pendopo, saya memutuskan untuk buang air besar di kamar kecil. Ternyata sepuluh orang tim Paser dan Bu Yundri bersiap-siap untuk berangkat ke Dinas Pendidikan. Dan berangkatlah mereka tanpa diriku. Di dalam mobil mereka sudah cukup yakin bahwa tidak ada yang tertinggal. Sampai beberapa saat kemudian, Nova, si cewek tangguh, merasa tidak yakin karena hitungan sebelas orang sudah termasuk Bu Yundri. “Seharusnya hitungannya sebelas orang PM dan Bu Yundri tidak termasuk,” ujarnya dalam hati. Dan spontan Nova menjerit “Mutia!!!!!!”. Dan semua yang ada di mobil tersadar saya ketinggalan. Lalu kembalilah mereka ke pendopo, tapi saya belum juga selesai dari kamar mandi. Diputuskanlah Gilang dan Zaki menunggu di depan pendopo. Sementara saya, keluar dari kamar mandi dengan wajah santai sambil menanyakan, “Yang lain mana?”. Gilang dan Zaki melihat wajah saya, sambil menahan rasa kesal. “Kita tadi itu udah berangkat, tapi balik lagi gara-gara nunggu kamu,” ujar mereka. Singkat cerita, berangkatlah saya, Zaki, dan Gilang ke Dinas Pendidikan. Di sana suasana gelap gulita bukan karena tidak ada listrik. Tetapi karena siang itu sedang mati lampu. Jadilah kami, rombongan dari IM, ngobrol bersama pak Zulkipli, orang bagian peningkatan mutu Dinas Pendidikan Paser, tentang kondisi di Paser. “Untuk yang ditempatkan di pesisir, ya sabar-sabarlah menghadapi anak-anak dan orang tua murid di sana,” ujarnya. Kunjungan kami ke Dinas Pendidikan tak lama karena kami buru-buru akan mengantar barang ke rumah-rumah yang akan kami tinggali. Kami kembali ke rumah pendopo untuk mempersiapkan barang yang akan kami tinggal di rumah orang tua angkat. Untuk hari Kamis, barang-barang yang akan diantar terlebih dahulu adalah barang-barang pengajar muda yang berada di wilayah daratan. Rumah 1 – Diah Setiawaty Letaknya tak terlalu jauh dari Kota. Tapi meskipun desa di dalam kota, jangan bayangkan jalan beraspal. Yang ada adalah tanah berlumpur di mana di kanan dan di kirinya merupakan rawa. Bangunan rumahnya adalah rumah panggung di atas rawa. Rumah yang akan ditempati Diah ternyata merupakan sedang direnovasi. Maka untuk sementara, ia tinggal di rumah sebelahnya. Belum ada kamar, sehingga Diah harus tidur di ruang tengah. Secara sekilas kondisi, lumayanlah untuk ditempati. Kecil, bersih, dan layak. Urusan Diah selesai. Rumah 2 – Zaki Laili Khusna Hanya 300 meter dari rumah Diah. Sama juga, rumah panggung dan kanan-kirinya merupakan rawa. Yang lebih mengjutkan, pemilik rumah sudah menyiapkan kamar khusus untuk Zaki. Kamar kecil, dengan dua tempoat tidur dan si pemilik rumah sengaja membelikan meja dan lemari baru untuk Zaki. Very Happy Zaki!!!!!. Rumah 3 – My House...... Rumahku mmmmm......Rumahku berada di pinggir sungai. Jadi halaman depan rumahku adalah sungai. Jangan bayangkan air sungainya bening dan putih. Warna airnya seperti warna sungai Citarik. Luasnya, ya kira-kira dua kali lebar Sungai Code. Untuk menuju rumahku ada beberapa alternatif: 1)      Lewat jalan darat, bisa saja lewat jalan belakang, tapi dibutuhkan waktu lebih dari 30 menit, itupun kalau tidak nyasar. 2)      Lewat jalan darat yang cepat, maka tunggulah kira-kira satu tahun lagi sampai jembatan penyebrangan jadi. 3)      Lewat jalan sungai, maka gunakanlah sampan dan mendayunglah lima menit dan sampailah di depan rumahku. Cara terakhirlah yang selama ini sering kugunakan. Tetapi, sampai tulisan ini dikirim, aku belum bisa mendayung sendiri. Seringnya adalah minta didayungkan. He..he...Tapi tenang, targetku adalah sebelum akhir bulan November, aku sudah harus bisa. Semangat!!!!! Keluarga angkatku merupakan Orang Bugis. Pak Syahrudin dan Ibu Dahlia nama orang tuaku. Mereka mempunyai empat anak. Anak pertama laki-laki, berprofesi sebagai TNI AD, bertugas di samarinda. Anak kedua Emy, 22 tahun dan  anak ketiga Evi, 19 tahun akan menikah besok Minggu. Anak keempat, Amat, laki-laki masih SMP. Intinya, aku mendapat satu kamar sendiri di atas, tapi sementara ini belum aku gunakan dan masih satu kamar dengan Evi, anaknya yang ketiga. Rumah 4 - Yunita Fransisca Yunita atau biasa dipanggil Nyunyun merupakan orang yang aku anggap paling beruntung. Hal tersebut lantaran ia bertempat tinggal di rumah milik transmigran asal jawa. Bahkan ayah angkatnya merupakan lulusan STM Jetis. Sambutan keluarga ini bahkan sangat hangat, yah layaknya keluarga Jawa pada umumnya. Urusan kamar mandi pun tertutup dan cukup baik. Dan yang lebih membuat Nyunyun sangat bahagia adalah keberadaan sebuah mini market tidak jauh dari rumah ini. (Believe me, she’s very happy with that minimarket). Rumah 5 – Nisa Imaniar Nisa ims, mendapat rumah yang cukup bewarna-warni. Hampir setiap ruangan selalu memiliki warna berbeda dengan ruangan lainnya. Dan khusus kamar Nisa mendapat warna ungu. (orang bilang ini warna janda he...he..., bercanda Nisa). Tapi bagian yang lebih ,mengejutkan ialah di ruang tamu Nisa terdapat satu unit printer canggih yang sanggup beroperasi sebagai scanner atau mesin fotokopi. “Printer mahal yang saya dan sebagian besar pengajar muda tidak miliki”. (Dan aku mulai berpikir, benarkah pengajar muda dikirim ke daerah terpencil?). Rumah 6 – Nova Untuk rumah Nova, yah, kita semua dan Bu Yundri pun sangat prihatin. Pertama, rumah ini kecil dan pemnghuninya sudah terlalu padat. Kedua, orang tua angkat Nova punya dua anak lelaki yang usianya tidak beda jauh dengan Nova. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Ketiga, kamar mandi rumah ini tidak ada pintunya. Jadilah, meskipun Nova sudah meninggal barang di rumah ini, tetapi, Bu Tyundri dan fasilitator kabupaten memutuskan untuk mencarikan rumah baru untuk Nova. Poor Nova. Tetapi syukurlah, ia sekarang sudah mendapat rumah baru. Rumah yang baru ini merupakan milik saudara dari fasilitator kabupaten. Nova sekarang sudah bisa tersenyum bahagia. Rumah 7 – Ijma Sujiwo Untuk rumah Jaim, yah, rumahnya juga dapat dikatakan juga sudah padat penghuni. Jaim bahkan terpaksa satu kamar dengan salah satu anaknya. Untuk kebutuhan mandi pun, tak ada tempat khusus. Tetapi kabar baiknya, orang tua angkat jaim, merupakan orang-orang yang sangat ramah dan bisa menerima Jaim. Sebenarnya Bu Yundri maupun fasilitator masih berusaha mencarikan rumah untuk Jaim. Tapi belum juga dapat. Maka untuk sementara ini Jaim masih tinggal di rumah itu. Ngomong-ngomong, soal perjalanan pulang dari rumah Jaim ternyata juga bukanlah perjalanan yang mudah. Jalan yang berlumpur membut mobil pick-up yang membawa barang-barang terperosok. Terpaksalah, semua pengajar muda laki-laki turun tangan untuk mendorong mobil tersebut agar bisa kembali melanjutkan perjalanan. Kamis berganti Jumat It’s a new day. Setelah bermalam di pendopo, tibalah saatnya bagi kami Tim tengkorak untuk mengantar teman-teman yang tinggal di daerah pesisir. Dan perjalanan dimulai dengan rute Tanah grogot – Lori – Tanjung Aru – Selengot – Labuhan Kalo. Perjalanan mengantar teman ke pesisir ini merupakan perjalanan yang bisa dikatakan perjalanan yang paling menarik sekaligus paling mengharukan. Menjadi paling menarik, karena kami harus menyebrang melewati laut biru dengan menggunakan kapal boat selama kurang lebih 1 jam. Mengharukan, karena kami harus melepas teman-teman kami di pesisir satu per satu. Di mulai dari melepas Gilang dan Ridwan di Tanjung Aru, dilanjutkan melepas Mansyur di selengot, dan bagian terberatnya ialah melepas Patrya di labuhan Kalo. Melepas Gilang, Ridwan, maupun Mansyur sangatlah mudah karena ketiganya mendapat tempat dan orang tua angkat yang terbuka menerima mereka. Tetapi, melepas Patrya adalah persoalan lain. Patrya awalnya akan ditempatkan di perumahan guru, tetapi di tempat tersebut ternyata Patrya harus mengurus dirinya sendiri, di mana tidak ada yang memasakkan. Bahkan, sekedar kasur pun tak ada. Rumah tersebut hanya berupa rumah kosong dan nyaris tanpa perabotan. Maka ditempatkanlah ia di rumah kepala desa yang ternyata memiliki hobi menyetel musik keras-keras. Mengenai Kamar mandi, ternyata warga di daerah ini memiliki kebiasaan mandi dengan air pantai. Bahkan teh yang kami minum pun ternyata sedikit asin. Patrya pun harus berbagi tempat tidur dengan anak dari kepala desa. Dan ruang tidaur antara si anak dengan orang tua, tidak ada sekat sama sekali. Pokoknya, itu adalah gambaran paling memprihatinkan. Tetapi, hebatnya Patrya ialah dia bisa tetap menebar senyum, ketika kami semua menangis meninggalkan dia. Bahkan sampai di dalam kapal pun kami semua termasuk Bu Yundri masih menangis melihat kondisi Patrya. Tetapi, saya yakin Patrya akan bisa melewati satu tahun ini dengan caranya yang santai dan tanpa beban. Semangat Patrya!!!! Ini mungkin hanya sekelumit cerita tentang tiga hari pertama yang kami alami di Paser. Tiga hari yang diisi dengan tawa, canda, keterkejutan, senyum sinis, kesal, dan juga air mata. Saya yakin satu tahun di Paser bukanlah satu tahun yang mudah. Ada kalanya saya dan sepuluh orang lainnya merasa benar-benar rindu akan rumah, rindu akan kenyamanan tinggal di kota besar, rindu akan rutinitas kami yang dulu, bahkan di malam-malam yang sepi menuju tidur, akan terlintas di pikiran kami pertanyaan “Kenapa saya dulu mau mengikuti program ini?”.  Tetapi, saya pun yakin, dengan mengingat tiga hari pertama, yakni Rabu, Kamis, dan Jumat, kami bersebelas akan selalu ingat bahwa kami saling memiliki dan saling menguatkan satu sama lain. Tiga hari ini, akan mengikat saya, Zaki, Diah, Nyunyun, Nisa Ims, Nova, Jaim, Ridwan, Gilang, Mansyur, dan Patrya untuk hari ini, esok, setahun lagi, dan mungkin selamanya. Lambat laun aku pun menyanyikan salah satu lagu Project pop berjudul Ingatlah hari ini yang sering pengajar muda nyanyikan di MTC. Kamu sangat berarti, Istimewa di hati Selamanya rasa ini Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing Ingatlah hari ini Note: Tulisan ini dipersembahkan untuk Yundriati Erdani yang telah menunjukkan ke kami indahnya Kabupaten Paser.

Cerita Lainnya

Lihat Semua