Hari Ini Tak Semua Muridku ‘Turun’
Mutia Hapsari 28 November 2010
“Siti!”, “Hadir Bu.”
“Ismail,” “Hadir Bu.”
“Ahmad,” “Nggak turun Bu.”
Saya mengabsen siswa saya satu per satu. Dan dari 16 siswa kelas III SDN Tanah Grogot yang terdaftar, tiga orang siswa tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Istilah guru dan siswa di sini, “banyak yang nggak turun.” Kondisi ini masih jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang aku alami ketika mengajar siswa kelas IV, Kamis lalu, tepatnya tanggal 18 November. Dari 15 siswa, sekitar 8 orang tidak masuk tanpa keterangan. Alasan ketidakhadiran mereka pun sangat unik. Berdasarkan keterangan siswa yang masuk, beberapa siswa tak turun karena ziarah ke kuburan. Ada pula yang beralasan harus membantu orang tuanya di sawah atau di tambak. Ada pula yang tak masuk karena keluarga besarnya datang. Suatu peristiwa yang saya anggap kurang masuk akal.
Saya pun teringat kembali ketika duduk di bangku SD, di mana siswa diperbolehkan untuk tidak masuk sekolah jika alasannya adalah sakit. Bahkan, dua bulan lalu ketika praktik mengajar di SD Cikreteg 1, Ciawi pun peristiwa tidak masuk sekolah karena urusan keluarga juga sangat jarang terjadi.Di Tanah Grogot, siswa-siswa yang tak masuk juga jarang memberikan surat izin jika tidak masuk sekolah.
“Welcome to the reality!,” ujarku dalam hati. Inilah sebuah dunia yang akan aku hadapi satu tahun ke depan. Sebuah kelas dengan jumlah murid yang jarang sekali bisa lengkap. Aku pun mencoba menanyakan kondisi ini ke beberapa guru. Hasilnya, mereka membenarkan jika jumlah siswa jarang sekali bisa lengkap. Bahkan, guru mata pelajaran bahasa Inggris mengatakan jika ada salah seorang siswa di kelas 4 yang hampir setiap hari Jumat tidak pernah masuk. “Abdullah kalau hari Jumat jarang masuk, Mbak. Jadi dia nggak pernah ikut pelajaran bahasa Inggris,” kata guru tersebut.
Kondisi ini membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah keputusan murid-muridku untuk tidak masuk karena diminta oleh orang tua ataukah karena mereka memang malas pergi ke sekolah? Kalau malas, apa yang membuat mereka malas? Kalau orang tua yang meminta anaknya untuk tak masuk sekolah, lalu apa alasan mereka meminta hal tersebut? Kemudian bagaimana pula orang tua siswa memaknai konsep pendidikan dan bersekolah?
Layaknya melakukan brainstorming, pertanyaan di kepalaku pun semakin berkembang. Dari pertanyaan yang sifatnya mendasar menjadi pertanyaan solutif. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berempati dan maklum dengan kondisi ini? Apalagi ini di desa. Kesibukan orang tua di sini bisa berarti kesibukan anak pula. Ataukah anak-anak harus dimotivasi agar mereka bersemangat terus untuk sekolah?
Tetapi Jumat siang, di halaman depan sekolah, Pak Manap, salah seorang guru yang cukup senior bercerita panjang lebar tentang realita itu. Jika beberapa hari terakhir ini, jumlah murid yang absen hanya dua sampai tiga anak, maka, menurut Pak Manap jumlahnya akan bertambah banyak ketika masa panen tiba. Anak-anak tersebut akan diminta untuk membantu orang tuanya di sawah.
Sebagai salah satu guru yang sudah bertahun-tahun mengajar di Sungai Tuak, ia mengaku sudah mendatangi semua rumah orang tua murid. Dari kunjungan tersebut, ia menarik satu kesimpulan bahwa dukungan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat kurang. “Kalau ada acara maulid, pengajian, atau acara sekolah, kita sudah undang orang tua untuk datang. Tapi nyatanya juga nggak banyak yang datang,” katanya. Bahkan pada waktu pengambilan rapor, tidak semua orang tua datang untuk mengambil rapor anaknya. Jika sudah demikian, terpaksalah rapor diberikan kepada anak.
“Di sini persaingan nggak ketat. Mau dapat nilai berapa pun, anak juga nggak tertantang,” kata Pak Manap. Dan aku pun sudah mulai merasakan kurangnya aroma kompetisi di sekolah ini.
Lalu pikiranku tertuju pada salah seorang anak yang aku rasa cukup cerdas. Nisa namanya. Aku melihat anak ini memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik dibanding teman-temannya. Selain itu, dalam sebuah permainan di mana aku meminta anak-anak ini untuk menuliskan cita-citanya, ia memilih cita-cita yang sedikit berbeda dibanding anak-anak di kelas itu. Menjadi Dokter.
Menjadi dokter mungkin cita-cita yang klise bagi saya yang besar dalam didikan lingkungan perkotaan. Terlebih lagi di Jogja, kamu bisa menemukan dalam satu sekolah puluhan bahkan ratusan anak bercita-cita menjadi dokter. Tetapi di sebuah sekolah dasar di Sungai Tuak? Bisa jadi kurang dari sepuluh anak yang bercita-cita menjadi dokter.
Saya pun bertanya ke Pak Manap tentang latar belakang keluarga anak berwajah manis tersebut. “Kalau Nisa memang mendapat dukungan yang baik dari keluarganya, terutama kakaknya yang lulusan Tarbiyah,” katanya. Menurut Pak Manap, jika dalam keluarga paling tidak ada satu saja yang berhasil, tentunya hal tersebut akan membuat banyak perubahan dalam cara pandang keluarga terhadap pentingnya pendidikan. Untuk Hal ini saya sangat sepakat dengan Bapak, kataku dalam hati.
Lain halnya dengan Deean. Hampir setiap pagi, aku bisa melihat Deean bersiap-siap berangkat ke sekolah melalui balkon depan kamarku. Kebetulan dari balkon depan kamarku aku selalu bisa memandang rumahnya yang memang terletak tepat di sebelah rumah yang aku tinggali.
Pertama kali melihat Deean, maka kesan yang tertangkap dari wajahnya adalah sosok perempuan yang kuat, mandiri, dan sedikit tomboy. “Anak ini pintar,” ujarku dalam hati dengan penuh keyakinan. Aku pun tak sabar untuk melihat aksinya di kelas. Maka pada Kamis lalu, tibalah bagiku untuk mengajar kelas VI menggantikan guru yang saat itu harus ke luar kota.
Dan Deean di sekolah dengan Deean di rumah adalah dua sosok yang berbeda. Jika di lingkungan rumahnya aku melihat anak ini memancarkan cahaya kemandirian dengan menjaga adik-adiknya, maka cahaya itu tiba-tiba saja menjadi redup. Deean duduk di kursi paling belakang. Ia tak mampu mengerjakan soal mengenai matematika mengenai bangun datar yang aku berikan. Bukan hanya itu saja. Ketika aku meminta para murid-murid untuk menulis puisi ABCDE yang diajarkan Bu Wei, Nur merupakan siswa yang langsung menyerah sebelum mencoba. “Sulit Bu,” ujarnya.
Aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Kemana hilangnya cahaya kemandirian dan keberanian yang aku lihat di matanya pagi tadi ketika berangkat ke sekolah? Dan kejutan tentang diri anak berambut pendek ini tak berhenti di situ saja. Pada Jumat siang, ketika aku sedang menempelkan puisi hasil karya anak-anak kelas 6 di ruangan kelas mereka, salah seorang siswa laki-laki mendekatiku sambil menunjukkan kertas ujian yang sudah kucel karena ditekuk-tekuk. “Lihat nih Bu, si Deean dapat Nol,” katanya sambil tertawa. Aku hanya bisa terdiam dan tak memberi tanggapan apa pun terhadap kertas tersebut.
Entah mengapa, aku sangat penasaran dengan kondisi Deean. Siang hari, sembari membantu Mamak (Ibu asuhku) melipat pakaian, iseng-iseng aku bertanya tentang keseharian keluarga Deean. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos Mamakku bercerita bahwa Deean memang sering diminta ibunya untuk menjaga adik-adiknya. “Kadang mau berangkat sekolah nggak dikasih sama mamaknya. Disuruh jagain adiknya,” ujar Mamakku dengan logat Bugis yang khas.
Benarkah cerita mamakku? Aku tak ingin segera mengambil kesimpulan. Terlepas bagaimana latar belakang keluarga Deean, aku tak ingin terlalu mempermasalahkannya. Aku juga tidak ingin berambisi atau bersikap seperti dewa penolong yang seolah-olah bisa membuat Deean menjadi anak yang berani dan pintar.
Aku adalah guru. Dan yang ingin kulakukan adalah mengajar. Mengajar Nisa, mengajar Deean, dan mengajar ratusan murid SDN 15 lainnya. Aku percaya, seperti apapun latar belakang keluarga mereka, sejelek apapun nilai matematika mereka, murid-muridku akan tetap menjadi anak yang spesial. Mengapa? Karena merekalah yang akan mengajarkan tentang arti sesungguhnya dari ketabahan, kesabaran, dan juga keikhlasan.
Minggu, 28 November 2010
Ditulis sembari menunggu datangnya adzan Isya
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda