info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Buku Warna-Warni

Mutia Hapsari 28 Juli 2011
Buku Warna-Warni Selalu ada cara yang lebih baik untuk segala hal. Temukanlah! (Thomas Edison) “Bukunya ketinggalan Bu!.” “Bukunya hilang, Bu!.” “Bu, saya lupa nggak ngerjakan PR.” Ocehan-ocehan itu sudah menjadi makanan saya mulai dari hari Senin sampai Sabtu. Setiap kali saya mengajar, setiap kali itu pula ada minimal satu orang yang tidak membawa buku tulis atau bukunya hilang dan yang paling sering selalu ada anak yang tidak mengerjakan PR. Saya sudah memberikan hukuman kepada anak-anak yang tidak membawa buku ini. Hukuman yang paling sering saya berikan tentunya hukuman untuk mengerjakan soal tambahan. Tetapi, setiap hari masih saja ada anak yang mengulangi kesalahannya. Saya pun sempat berpikir untuk tidak lagi memberikan pekerjaan rumah. Karena ada sanksi toh masih tetap ada saja anak yang tidak mengerjakan PR atau sudah mengerjakan PR tetapi bukunya tertinggal di rumah. Sampai akhirnya retraining di bulan Maret memberikan saya pencerahan. Di situ Patrya, PM yang bertugas di Labuangkalo, berbagi resepnya tentang bagaimana membuat anak tidak dengan mudahnya mengganti-ganti buku dengan alasan buku hilang atau buku ketinggalan. Resepnya saat itu adalah dengan meminta setiap anak menyampuli bukunya dan ada tanda tangan guru di setiap buku. Apabila ada anak yang bukunya ketinggalan, maka Patrya akan meminta muridnya untuk pulang dan mengambil bukunya ke rumah. Maka seusai retraining, bersemangatlah saya menerapkan cara yang hampir mirip, yakni dengan membubuhkan tanda tangan saya padasetiap buku. Saya mengatakan bagi yang rumahnya dekat, maka kalau bukunya ketinggalan harus pulang untuk mengambilnya. Bagi yang rumahnya jauh, maka akan mendapat sanksi harus belajar membaca ketika waktu istirahat. Pada waktu pertama kali diterapkan, kondisi sudah mulai membaik. Jumlah siswa yang bukunya ketinggalan sudah mulai berkurang. Tetapi, tetap saja ada satu sampai dua anak yang selalu punya alasan tidak membawa buku atau bukunya hilang dan entah alasan apalagi. Rata-rata anak-anak yang lupa membawa bukunya adalah anak yang tempat tinggalnya jauh atau disebrang sungai. Jadi tidak mungkin bagi mereka untuk pulang dan mengambil buku. Sampai suatu ketika, ada salah seorang anak yang rumahnya hanya sekitar 100 meter dari sekolah dan bukunya tertinggal di rumah. Rizal namanya. Perawakan Rizal memang kecil. Wajahnya pun masih imut seperti wajah anak TK. Anaknya juga cenderung pendiam dan kalau melihat tubuhnya yang kecil, maka tak heran jika ada beberapa anak kelas tinggi yang kadang ingin menjahilinya. Rizal sebenarnya adaah anak yang penurut. Tetapi sekali lagi, sanksi tetaplah sanksi. Rizal tidak membawa buku, maka ia harus pulang untuk mengambil bukunya. Ketika saya menjelaskan sanksi tersebut di hadapannya, Rizal hanya diam. Dan tak lama kemudian meneteslah air mata dari matanya. Rizal menangis dan saya pun mulai panik. Dan kalau Rizal sudah menangis, maka ia punya kecenderungan tidak akan peduli dengan apapun perkataan teman apalgi gurunya. Dia hanya akan duduk diam di mejanya dan menangis. Dan sejak saat itu, saya tidak petrnah lagi memberlakukan sanksi untuk pulang ke rumah dan mengambil buku. Sanksinya umumnya hanya belajar membaca di waktu istirahat baik bagi siswa yang rumahnya dekat maupun rumahnya jauh. Semakin hari entah mengapa saya tidak melihat banyak perubahan dengan aturan pemberian tanda tangan di buku tulis. Hampir di setiap kelas, masih ada satu atau dua anak yang selalu lupa membawa buku atau memberikan alasan bukunya hilang dan entah apa lagi. saya sempat certita ke Zaki, PM di Rantau panjang tentang kebiasaan anak yang masih sering lupa membawa buku. Zaki pun mengatakan, “Kasih aja tanda tangan,” ujarnya. Menurutnya cara itu relatif berguna di sekolahnya. Saya jawab dengan simpel, “Udah, Zak. Tetap aja nggak ngaruh,” ujarku. Maka di tahun ajaran baru, saya mulai berpikir untuk tidak lagi menerapkan cara yang sama. Iseng-iseng saya membeli kertas minyak berwarna-warni yang biasanya digunakan sebagai bahan membuat layang-layang. Satu gulung kertas dengan harga Rp 1.000,- sudah cukup untuk menyampul 8 buku tulis. Untuk kelas 4, saya pilihkan warna merah, kelas 5 warna kuning, dan kelas 6 warna hijau. Sengaja saya tidak memilih warna sampul coklat karena warnanya yang saya anggap kurang menarik dan sudah biasa digunakan sebagi sampul buku tulis. Sebenarnya, awal mula saya memberikan sampul warna-warni ini hanya bertujuan untuk memudahkan saya ketika harus mengoreksi pekerjaan siswa yang biasanya akan menumpuk di meja saya ketika jam pelajaran telah usai. Jika bukunya warna merah, maka akan dengan mudah saya mengenali bahwa buku tersebut adalah milik kelas 4 dan kalau warnanya hijau saya akan langsung tahu bahwa buku tersebut milik kelas 6.  Selain itu, buku yang warnanya seragam, akan jauh lebih sedap dipandang mata jika dibandingkan hanya melihat warna kulit buku yang berbeda-beda gambarnya. Dengan bersemangat saya menenteng berlembar-lembar kertas minyak ke kelas. Begitu tiba di kelas, murid-murid saya langsung berkomentar. “Itu kan kertas layangan. Kita mau buat layangankah bu?.” Saya hanya tersenyum dan menjawab, “Nanti akan ibu jelaskan kertas ini untuk apa.” Maka di minggu pertama masuk kelas, saya sengaja tidak memberikan pelajaran. Saya mengajak setiap siswa untuk menyampul bukunya. Dan sesuai dengan dugaan saya, hampir sebagian besar siswa saya, baik itu di kelas 4, 5, maupun 6 tidak tahu cara menyampul buku dengan benar. Saya pun membimbing mereka menyampul buku. Beberapa anak langsung berteriak, “Susah bu”, “Tidak bisa bu”, dan bahkan di kelas 5 salah seorang anak perempuan menangis karena merasa kesulitan. Untunglah masih ada segelintir anak yang cepat belajar dan sekali diberikan arahan langsung bisa menyampul buku dengan rapi. Anak-anak ini saya tugaskan untuk membantu teman-temannya yang masih kebingungan. Maka jadilah aktivitas menyampul buku ini memakan waktu hampir 45 menit. Terlepas dari segela kesulitan yang ada, anak-anak terlihat senang ketika buku mereka sudah tersampul dengan rapi. Bahkan beberapa anak berniat untuk membeli kertas yang serupa untuk kemudian menyampuli buku tulisnya yang lain dengankertas minyak. Buku tersebut hanya diberi sampul. Saya memutuskan untuk tidak lagi membubuhkn tanda tangan di buku tersebut, karena warna sampul tersebut sudah cukup memberikan tanda bahwa buku tersebut adalah buku tulis untuk pelajaran matematika, yang harus dibawa setiap ada pelajaran matematika. Saya pun sebagai guru jauh lebih mudah untuk mengingatkan siswa setiap kali pelajaran usai dengan mengatakan, “Jangan lupa besok kalau ada pelajaran matematika, buku kuning dibawa.” Saya tahu mungkin sedikit norak rasanya membanggakan hal yang sepele seperti urusan menyampul buku. Tetapi merupakan sebuah rekor bahwa selama tiga minggu mengajar di tiga kelas yang berbeda, saya baru menemukan di satu kelas saja dan itupun hanya di satu pertemuan saja dan  hanya satu anak yang lupa membawa bukunya. Sementara di dua kelas lainnya, selama tiga minggu semua anak tertib untuk membawa buku tulisnya setiap kali pelajaran matematika berlangsung. Saya berharap cara ini akan terus memberikan dampak positif Dan mungkin, memang selalu ada cara yang lebih baik. Hanya saja terkadang kita belum menemukannya. Dan jika kita tidak melakukan apa-apa, mungkin kita tidak akan pernah menemukannya.....

Cerita Lainnya

Lihat Semua