info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Air Mata di Tahun Ajaran Baru

Mutia Hapsari 17 Juli 2011
Tanah Grogot – Martapura – Banjarmasin – Kandhangan – Balikpapan – Samarinda – Tenggarong – Balikpapan – Tanah Grogot. Sebuah perjalanan liburan terpanjang yang pernah saya lakukan selama hidup saya, berpindah-pindah ke tujuh tempat tujuan hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu. Saya menyadari bahwa perjalanan ini memakan tenaga, waktu, dan tentunya biaya yang tidak sedikit. Tetapi saya tak pernah menyesalinya karena saya yakin perjalanan ini akan memberi banyak pengalaman berharga. Selain itu, saya sangat berharap perjalanan ini mampu memberi saya waktu sejenak untuk mengatur ulang pikiran yang carut-marut sehingga bisa menghadapi tahun ajar baru dengan rencana yang lebih terorganisir. Maka di hari pertama tahun ajar baru, perasaaan saya serba campur aduk. Yang jelas saya sudah berjanji pada diri saya, tahun ajaran baru, harus jadi guru yang lebih baik, harus dikurangi marahnya dan lebih bisa konsisten dalam menjalani setiap kegiatan. Saya pun memiliki keyakinan bahwa dengan kesabaran dan kegigihan, maka semua kesulitan di sekolah akan bisa saya hadapi dengan baik. Ternyata berpikir tentang menjadi guru yang sabar dengan benar-benar menjalani hidup sebagai guru yang sabar adalah dua hal yang berbeda. Di hari pertama sekolah kesabaran saya telah diuji. Memang biasanya di hari perta, tidak ada pelajaran sama sekali. Jam mengajar pun digunakan untuk rapat seluruh guru. Maka ketika semua guru sedang rapat, seluruh siswa berkeliaran dan bermain-main tidak jelas. Dan sekitar pukul sembilan, terdengarlah sebuah tangisan yang sat kencang, yang menurutku suaranya tidak bisa. Maka keluarlah saya dan ibu Ainun guru kelas 1. Betapa kagetnya kami berdua melihat Fadli, salah seorang murid kelas 1, yang baju sergamnya yang putih sudah bersimbah darah. Dari kepala kirinya mengalir darah cukup deras. Ternyata berdasarkan cerita teman-temannya, Fadli bermain kejar-kejaran dan tanpa sengaja, kepala terantuk jendela. Saya dan ibu Ainun mulai mengambil peralatan dari kotak P3k untuk kemudian membersihkan luka Fadli. Ibu Ainun berpendapat bahwa sebaiknya Fadli dibawa ke Puskesmas mengingat lukanya yang cukup parah. Pak Rais, guru olahraga kemudian menawarkan diri untuk membawa Fadli ke Puskesmas. Ibu dari Fadli pun datang ke sekolah tak lama setelah mendengar kabar anaknya terluka. Melihat Fadli dibawa ke Puskesmas, saya dan guru-guru lain bisa merasa sedikit lega. Paling tidak Fadli akan  mendapt perawatan yang lebih baik. Tetapi sekitar jam 10, ponsel ibu Ainun berdering. Ternyata sms dari Pak Rais yang mengabarkan bahwa Puskesmas tidak sanggup menangani luka yang diderita Fadli sehingga harus dirujuk ke RSUD. Saya dan Ibu Ainun pun ikt cemas memikirkan bagaimana keadaan Fadli. Tapi kami berdua pun tidak bisa berbuat banyak. Alhamdulillah di hari kedua, pak Rais bercerita bahwa meskipun luka fadli harus dijahit, tapi kondisi Fadli tidak mengharuskannya untuk rawat inap. Bahkan ketika saya dan ibu Ainun dalam perjalanan pulang dari sekolah, kami berdua berpapasan dengan Fadli yang sedang mencegat Pak lik Pentol yang lewat di depan rumahnya. Dalam hati aku berpikir, “Anak bisa jajan, tanda sudah sehat’. Kalau di hari pertama, murid saya yang menangis, maka di hari kedua, sayalah yang hampir menangis. Tujuh bulan berada di sekolah pinggir sungai ini, ternyata bukanlah waktu yang cukup buat saya untuk bisa memahami  dan berempati terhadap kondisi guru dan murid-murid. Hampir setiap minggunya selalu ada kejutan-kejutan yang membuat saya tersenyum kecut, pesimis, bahkan pernah di tengah-tengah kegiatan mengajar, saya berlari ke kamar mandi hanya untuk menumpahkan semua air mata saya. Dan ironisnya di hari kedua tahun ajarn baru, tepat di pagi hari sebelum bel berbunyi, saya harus menahan kekecewaan. Kekecewaan karena apa yang saya inginkan, ternyata memang tak bisa diwujudkan. Suatu keinginan yang menurut saya penting dilakukan untuk menyelamatakan siswa-siswa kelas 6. Memang sudah menjadi nasib sekolah di pinggir sungai ini yang bangunannya terdiri dari dua bangunan. Satu bangunan baru di daerah hilir dan satu bangunan sekolah lama yang letaknya agak ke hulu. Jarak antara satu bangunan dengan bangunan lain sekitar 150 meter. Dekat memang, tetapi dua gedung sekolah yang terpisah tetap saja membuat pengorganisasian segala sesuatunya menjadi lebih sulit. Belum lagi guru mata pelajarn yang kadang kala harus bolak-balik dari sekolah satu ke sekolah lain hanya dalam satu hari. Saya sendiri lebih menyukai sekolah baru. Bukan hanya karena gedungnya lebih bagus, tetapi untuk belajar gedung baru ini jauh lebih kondusif, karena berdampingan dengan kelas 1 dan 2 yang anak-anaknya masih jauh lebih mudah diatur. Selain itu, kantor kepala sekolah juga ada di gedung ini, sehingga tindak-tanduk setiap guru yang mengajar di sekolah baru lebih disipiln dalam hal jam masuk dan jam pulang. Dalam rapat di hari Senin, kepala sekolah sudah menegaskan pentingnya kelas 6 berada di bangunan baru. Hal tersebut mengingat kelas 6 merupakan kelas yang berat sehingga perlu suasana yang kondusif. Dalam rapat tersebut, wali kelas 6 yang baru mengaku keberatan.  Ia mengaku lebih senang di bangunan lama karena pertimbangan kesehatan. Menurutnya untuk naik dari kapal ke jembatan sekolah baru jauh lebih sulit dibandingkan naik kapal dan turun di sekolah lama. Kesehatannya tidak memungkinkan. Padahal seandainya beliau lebih berusaha, hal tersebut bisa saja disiasati. Tapi di akhir rapat kepala sekolah tetap tegas dengan keputusannya bahwa kelas 6 di gedung baru. Saya pun merasa sangat bahagia dan benar-benar menghargai  ketegasan kepala sekolah. Dan di hari selasa pagi, saya pun dengan penuh senyum meminta murid-murid kelas 6 untuk memasuki salah satu ruang sekolah di gedung baru. Kebetulan, saya yang memegang jam matematika masuk di jam pertama. Tak berapa lama kemudian salah seorang murid berkata bahwa wali kelas 6 mengatakan kepadanya jika ruangan kelas 6 ada di gedung lama. Saya pun dengan tegas menjelaskan kepada murid tersebut bahwa menurut kepala sekolah kelas 6 ada di gedung baru. Di kantor guru pun, para gurumengatakan bahwa kelas 6 ada di gedung lama. Alasan mereka wali kelas 6 yang baru tidak sanggup mengajar di gedung baru karena masalah kesehatan. Saya masih bersikukuh terhadap keputusan rapat. Saya berharap saat itu kepala sekolah segera tiba di sekolah dan bisamenegaskan keputusannya. Tetapi karena tak sabar, saya pun menelpon ponsel kepala sekolah. Tak disangka yang mengangkat ponsel tersebut adalah istri kepala sekolah. Darinya saya tahu bahwa kepala sekolah sedang tidak ada di rumah karena pergi memancing. Mendengar itu, saya ingin marah. Saya sakit hati, tapi saya tahu saya tidak bisa. Saya pun menutup telepon dan mengemasi buku-buku saya dan dengan berat hati mengatakan kepada murid-murid kelas 6 bahwa ruang kelas mereka ada di sekolah lama. Saya pun berjalan ke sekolah lama. Selama perjalanan saya merasa hati saya benar-benar tercabik-cabik, saya merasa kalah dari suatu pertempuran yang saya yakin akan menang. Tapi saya tahu bahwa menjadi guru bukanlah soal menang atau kalah. Saya tiba-tiba teringat kata-kata Bu Wei ketika retraining bahwa untuk kebaikan murid terkadang kita memang harus tutup mata terhadap hal-hal yang mungkin tak mampu kita lawan. Dan saya tahu, sebagai seorang guru saya harus siap mengajar dalam kondisi apapun tidak bergantung pada kondisi ruang dan keberadaan kepala sekolah. Saya tahu ini tak akan mudah. Dan selama 1,5 jam mengajar kelas 6 di sekolah lama, perlahan tapi pasti saya bisa mulai melupakan sejenak insiden ruang kelas tersebut. Bahkan sebagian besar murid-murid kelas 6 bisa terus memperhatikan selama 1,5 jam saya mengajar di depan mereka. Saya tahu bahwa di hari-hari selanjutnya akan lebih berat, bahkan masih mungkin saya harus menerima kekecewaan lagi. tapi saya tahu bahwa kalau masa itu tiba saya akan lebih siap. 12 Juli 2011 Di Sebuah Rumah Kayu di pinggir sungai,

Cerita Lainnya

Lihat Semua