Setia di Jalan Sunyi
Muthia Indriani Rangkuti 30 November 2025
“Ada guru dari Jawa, beragama Islam, tapi memimpin sekolah Bala Keselamatan di pegunungan Pipikoro.”. Kalimat itu membuat kami tertegun. Di tengah keragaman dan keterbatasan, sosok itu seperti menjembatani banyak hal, iman, panggilan hati, dan pengabdian tanpa batas. Mendengar hal tersebut, kami berusaha mencari kontak beliau dan ingin mengunjungi serta berkegiatan di sekolahnya. Namun, kami mendapat kabar bahwa beliau sedang berada di Palu untuk mengurus administrasi sekolah. Beliau menyambut hangat keinginan kami untuk bertemu. “Ayo bu guru saya tunggu di rumah”, tanpa berlama-lama kami langsung menemui beliau. Di hadapan kami, seorang guru dari Jawa, beragama Islam, yang dengan sepenuh jiwa memimpin sekolah Bala Keselamatan, sebuah simbol nyata bahwa kasih dan pengabdian melampaui sekat keyakinan. Dengan tutur yang tenang, beliau bercerita tentang tahun-tahun panjang di Pipikoro.
***
Beliau adalah Pak Sudarman, seorang guru muda penuh semangat yang menapaki perjalanan pengabdian di pelosok Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi. Dengan motor Vespa tuanya sebagai satu-satunya kendaraan andalan, ia menempuh jalan terjal dan berbatu, menyusuri jalan curam yang berdampingan dengan jurang. Beliau seorang guru yang tidak gentar oleh jarak maupun bahaya.
Perjalanan menuju sekolah tidak pernah mudah. Beberapa kali, roda vespanya tergelincir di jalan berlumpur, ia hampir terjatuh ke jurang karena jalan yang licin selepas hujan. Namun semangatnya untuk hadir di depan murid-murid kecil di sekolah pedalaman itu selalu menguatkannya untuk terus melaju.
Dalam perjalanan menuju sekolah, Vespa yang ia kendarai terpeleset di tikungan tajam hingga membuatnya jatuh ke jurang. Tubuhnya tersangkut di batang pohon yang tumbuh di tebing curam itu. “Alhamdulillah,” ujarnya lirih saat menyadari dirinya selamat tanpa luka berarti.
Bukan hanya sekali bahaya datang menghampiri. Dalam perjalanannya menuju Desa Peana, roda belakang motornya kembali terpeleset. Refleks, setir berbelok tajam ke arah gunung hingga kepala motor terlepas dari dudukannya. Tubuhnya tak mengalami cedera sedikit pun. Ia menepuk dadanya lega, lalu dengan sabar menyambungkan kembali bagian motor yang patah, sekadar menempel agar bisa terus digunakan hingga tiba di tujuan dan kembali pulang.
Kisah seperti itu bukan hanya sekali. Setir motor bengkok, mesin terbakar di tengah jalan, dan tak ada satu pun bengkel yang sanggup naik ke pegunungan untuk menolong. Namun Pak Sudarman tak pernah berhenti. Dengan bekal keterampilan otomotif yang ia pelajari sendiri, ia memperbaiki motornya dengan tangannya sendiri. Silih berganti motor tua menemani masa baktinya. Dan di setiap perjalanan berat itu, semangatnya tak pernah padam. Empat tahun lamanya ia mengabdi di Desa Porelea II, mengajar dengan hati, menyalakan harapan di mata anak-anak. Murid-murid mencintainya, dan rekan-rekan seprofesi menaruh hormat padanya, bukan karena jabatan, melainkan karena ketulusannya.
Setelah empat tahun mengajar, kabar baik datang: ia dipercaya memimpin sekolah sebagai Kepala Sekolah. Jabatan itu bukan hadiah, melainkan hasil dari ketekunan dan dedikasi yang nyata. Kini, ia tak hanya mengajar di kelas, tapi juga menuntun seluruh sekolah menuju perubahan. Dengan pengalaman dan keteguhan yang telah teruji oleh waktu, Pak Sudarman menjadi bukti bahwa pengabdian sejati tidak mengenal pamrih, ia hidup karena cinta dengan profesinya.
Kisah Pak Sudarman menjadi inspirasi bagi banyak orang, menunjukkan bahwa dengan semangat, dedikasi, dan ketekunan, seseorang dapat mencapai kesuksesan. Setelah mendapatkan promosi menjadi kepala sekolah, Pak Sudarman dimutasi ke Sekolah Bala Keselamatan di Desa Koja. Sebuah sekolah yang berdiri berkat usaha baku bantu setiap warga yang menukar 1 kg kopi untuk mendapatkan lahan sekolah. Dari kopi barter menjadi lahan, dari lahan berdiri ruang kelas.
Pak Sudarman menyadari bahwa ada banyak perjuangan yang harus diselesaikan untuk memajukan pendidikan di desa tersebut. Terutama keinginan Pak Sudarman untuk meningkatkan kualitas guru serta masyarakat di sana. Beliau mulai dengan mengadakan pelatihan untuk guru-guru di sekolah, agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengajar, mengadakan pertemuan dengan masyarakat sekitar untuk membahas tentang pentingnya pendidikan dan bagaimana mereka dapat mendukung anak-anak mereka dalam menuntut ilmu.
Awalnya, beliau menghadapi beberapa tantangan, seperti kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan dan kurangnya sumber daya yang tersedia. Namun, beliau tidak menyerah dan terus berjuang untuk memotivasi masyarakat dan meningkatkan kesadaran mereka tentang pendidikan.
Berkat kerja keras dan dedikasinya, beliau mulai melihat perubahan positif di masyarakat. Masyarakat Desa Koja mulai termotivasi untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka. Mereka mulai menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan memajukan desa mereka.
Hasilnya, banyak anak-anak Desa Koja yang berhasil melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang menjadi bidan, apoteker, guru, dan bahkan ada yang bergabung dengan TNI. Masyarakat desa Koja mulai berubah tentang pola pikir mereka tentang pendidikan, dan mereka mulai menyadari bahwa pendidikan adalah investasi yang berharga untuk masa depan mereka.
Setelah sekian lama mengabdi di Desa Koja, Kecamatan Pipikoro, Pak Sudarman mulai merasakan kedekatan yang tulus antara dirinya dengan masyarakat setempat. Hari-harinya diisi dengan senyum anak-anak sekolah, sapaan hangat warga, dan kerja sama dengan para guru yang perlahan menjelma menjadi keluarga.
Kepemimpinannya yang tenang dan bijaksana membuat banyak orang merasa nyaman. Di setiap rapat sekolah maupun pertemuan desa, selalu ada suara yang berkata,
“Pak, jangan pindah ya. Tetap di sini sampai pensiun.”
Ucapan itu terdengar sederhana, namun mengandung makna yang dalam. Bagi Pak Sudarman, permintaan itu adalah bentuk penghargaan tertinggi atas perjuangan yang telah ia lalui di tanah perantauan. Ia merasa diterima sepenuhnya, bukan hanya sebagai pendidik, tapi juga sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Pipikoro.
Meski begitu, di balik senyum hangatnya, ia menyadari satu hal: keputusan untuk tetap atau berpindah bukanlah sesuatu yang berada sepenuhnya di tangannya. Dalam sistem pendidikan, penugasan sering kali bergantung pada kebijakan yang lebih luas. Namun satu hal yang pasti, di mana pun ia ditempatkan, semangatnya akan tetap sama, mengajar dengan cinta, mengabdi dengan hati, dan terus menyalakan cahaya pendidikan di tempat-tempat yang membutuhkan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda