"Kau Tidak Memanggil Namaku"

Muthia Indriani Rangkuti 30 November 2025

Di balik sunyi dan terjalnya Dusun Topesino, Desa Mantikole, Kecamatan Dolo Barat, tersimpan kisah yang tidak hanya tentang pendidikan, tapi juga tentang cinta, pengorbanan, dan keteladanan. Tahun 2007, Topesino hanyalah kelas jauh dari SD Inpres Mantikole, tanpa gedung, tanpa papan tulis. Anak-anak belajar di saung beratap daun ilalang, berdinding seadanya, namun semangat mereka tak pernah lapuk. Di tengah keterbatasan itu hadir sosok guru perempuan berhati besar: Bu Indrawati.

Setiap hari, sebelum mentari sepenuhnya terbit, Bu Indrawati sudah berdiri dengan toa di tangan, memanggil satu per satu nama muridnya. Karena untuk bisa sampai ke sekolah tepat waktu, anak-anak harus berjalan kaki selama tiga jam menembus bukit dan lembah. Mereka baru bisa bersiap dan berjalan jika mendengar nama mereka dipanggil. Bagi mereka, panggilan itu bukan hanya aba-aba tapi tanda cinta.

Suatu hari, seorang anak bernama Stevin tidak hadir. Ketika ditanya, ia menjawab lirih:

“Inde ningaremu aku, Stevin...”

(Kau tidak memanggil namaku, Stevin...)

Kalimat itu membekas dalam hati Bu Indrawati hingga hari ini. Di Topesino, mendengar namanya disebut berarti anak itu diakui, dirindukan, dan penting. Itulah kekuatan panggilan yang tidak bisa digantikan teknologi apa pun. Tahun demi tahun berlalu. Sekolah itu tumbuh menjadi SD Negeri Topesimo pada tahun 2015, dan kini telah berusia 17 tahun dengan lebih dari 80 siswa. Semangatnya tidak pernah pudar, bahkan ketika keterbatasan masih membayangi. Tapi Bu Indrawati bukan hanya ingin berhenti di satu tempat.

Saat dua guru yaitu Mufti Syaifuddin dan Wempi, mulai aktif menjadi pengajar di Topesino dan mengambil peran besar dalam pendidikan, serta melihat sekolah tersebut bisa dibersamai oleh dua guru tersebut, Bu Indrawati meminta pindah ke lokasi yang lebih terpencil yaitu Dusun Wugaga untuk membantu sekolah di dusun tersebut.

Di sana, ia memulai dari nol lagi. Sekolah kembali dibangun dari daun ilalang dan bambu, dengan bantuan mahasiswa Universitas Tadulako melalui program Sekolah Vitate. Selama setahun lebih, anak-anak belajar di saung tanpa dinding. Hingga akhirnya, PUPR merespons perjuangan ini dan membangun sekolah permanen untuk anak-anak Wugaga.

Perjuangan Bu Indrawati telah menginspirasi banyak pihak. Namun bagi Bu Indrawati, penghargaan paling mulia adalah saat seorang anak kecil merasa tak dipanggil, dan karenanya tak datang ke sekolah. Karena dari sanalah ia belajar, bahwa pendidikan bukan hanya tentang mengajar, tetapi tentang mengingat, memanggil dan mengasihi satu per satu dengan hati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua