Ronald Bahba, Yang Pergi, Tapi Selalu Hidup

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 5 Agustus 2015

Terakhir saya bertatap muka dengannya di kelas, sekitar bulan Maret. Ia, Ronald Bahba, anak kelas enam yang paling tidak banyak tingkahnya secara fisik. Seakan memahami kondisi tubuhnya yang sedari kecil sudah ringkih.

Tak lama kemudian, pertengahan Maret, ia dirawat di puskesmas distrik karena diserang malaria. Biasanya, jika terkena malaria, anak-anak di kampung hanya beristirahat di rumah. Obat di peroleh dari puskesmas atau bisa juga ramuan-ramuan tradisional yang terbukti manjur.

Tapi karena pengaruh ketahanan fisik, Ronald tidak bisa tinggal saja di rumah. Kondisinya mengharuskan ia harus dirawat hingga sembuh di puskesmas. Puskesmas distrik kami memang memiliki fasilitas cukup memadai untuk keperluan gawat darurat dan rawat inap.

Dua pekan berlalu, ia sembuh dari malaria. Kami semua bergembira karena Ronald sudah kembali. Akan tetapi, ketika saya menjenguknya, badannya begitu menyusut dan pucat. Beberapa hari kemudian, ia kembali drop. Untuk kali ini, Ronald dilarikan ke rumah sakit di kota. Sebab secara kasat mata, kondisi fisiknya semakin jauh melemah dan bobotnya yang turun secara drastis.

Kami semua sangat kaget ketika pada akhirnya setelah mendapatkan perawatan, dokter yang merawatnya mengatakan bahwa Ronald menderita gangguan fungsi salah satu organ dalam tubuhnya. Saya sengaja mengajak berdiskusi empat mata dengan dokternya.Setelah perbincangan kami, beliau memberikan rujukan ke salah satu rumah sakit khusus di Jakarta.Dokter spesialis yang tepat dan peralatan medis yang sesuai memang masih belum banyak tersedia di rumah sakit kota.

Pada akhirnya, sanak keluarga Ronald memutuskan membawa Ronald ke rumah sakit di Jakarta setelah ia melangsungkanUjian Nasional SD dilangsungkan pada Mei mendatang.Keluarga mengharapkan ia bisa memegang ijazah SD. Maklum, ia anak satu-satunya dari ibu yang meninggal sesaat setelah melahirkannya. Meski saya sempat kecewa kepada diri sendiri karena tidak bisa dengan segera meyakinkan pihak keluarga Ronald.

Sembari menunggu semuanya, kami menemani Ronald dan keluarga untuk kontrol dan berobat di rumah sakit. Selama itu, ia menjalani rawat jalan di kampung. Kesehatannya mulai membaik. Mantri selalu datang untuk menjenguk. Obat secara rutin juga lancar dari rumah sakit kota.

Badannya sudah mulai kembali normal dan ia sudah mulai bisa jalan-jalan keliling kampung sekedar menghirup udara segar pegunungan. Atau menyaksikan saya bermain sepak bola di depan rumahnya bersama anak-anak muda kampung. Hati saya sangat tersentuh ketika saban sore Ronald selalu melihat kami bermain bola dengan tatapan yang senang.

Setelah Ujian Nasional, kesehatannya mulai terganggu lagi. Ia terserang batuk yang sangat mengganggu dadanya. Saya ingat, selepas main bola, saya jenguk ia di rumahnya.Ronald mengeluh dadanya sakit serasa mau runtuh. Apalagi jika terbatuk.Membuat satu siklus tarikan nafas saja sudah cukup berat baginya.

“iya pa guru, beta kasian liat Ronald ini. Sediki lagi, abis kontrol terakhir rumah sakit, kitong rencana berobat ke luar (Jakarta).”Kata tantenya Ronald seakan mengerti kegundahan hati saya.

Tuhan Mengambilnya

Sakitnya Ronald bertahan hingga syukuran perpisahan saya dengan orang-orang kampung. Meskipun rumahnya dan rumahku hanya sejarak sepelemparan batu, ia tak bisa hadir bersama dengan teman-temannya.Saya kembali ke Jakarta, dan saya bertambah sedih karena tidak sempat menemuinya lagi.

“pa guru, kitong pu anak-anak lulus semua, termasuk Ronald. Tapi Ronald juga sudah dipanggil Yang Maha Kuasa”kata ibu guru Agama lewat pesan singkat.

Saya teringat, ia, Ronald Bahba, bertekad membagi seluruh rasa cinta dan sayangnya dengan memaksa selalu berada bersama teman-temannya dari semenjak ia sakit hingga hari terakhir Ujian Nasional. Ronald barangkali tahu waktunya sudah dekat. Tapi ia sendiri sudah bulat untuk itu.

Menurut cerita, menjelang memasuki malam, Ronald merasakan firasat ajalnya yang dekat. Setengah berteriak, ia memanggil tantenya untuk mendekat, “tante, tolong panggilkan Ibu Souhuwat, guru-guru, dan beta pu teman-teman.”Ibu Souhuwat adalah guru agama di sekolah.

Malamnya, ia memanggil teman-temannya, dan juga guru-gurunya untuk datang ke rumah. Ia berpesan ke satu persatu orang yang dikenalnya. Lalu ibu guru agama memimpin nyanyi sekolah minggu atas permintaan Ronald.

Seperti sebuah pelajaran yang sangat berharga dari Morrie Schwartz, “sekali kita belajar tentang kematian, maka kita menjadi belajar bagaimana cara menghadapi hidup.”

Beberapa jam setelah itu, di waktu subuh, Ronald menghembuskan nafas yang ia tarik untuk terakhir kali. Ia sudah meninggalkan pesan untuk teman-temannya dan guru-gurunya. Tugasnya sudah selesai sebagai hamba Tuhan.Ia, Ronald Bahba, pergi dengan tenang menuju Tuhannya, di waktu subuh, Hari Rabu 1 Juli 2015.

Tuhan lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Tuhan-lah yang menggariskan jalan hidup setiap makhluk-Nya. Kematian telah mengambilnya dari teman-temannya, guru-gurunya, dan keluarganya. Kami tak menduga, ia akan pergi secepat itu.

Tapi kematian:selalu membuahkan pelajaran bagi kita, yang hidup. Karena setiap kematian selalu meninggalkan pesan-pesannya sendiri. Barangkali karena perjalanan hidup adalah perjalanan menjelang kematian. Terima kasih Ronald Bahba...Bahagialah Ronald Bahba...


Cerita Lainnya

Lihat Semua