Rahmawati Sukmajuddin

AnggiPresti Adina 5 Agustus 2015

Aku kasih nama anakku Rahmawati biar nanti besarnya jadi seperti Ibu Rahmawati Soekarno Putri, Bu

Begitu penjelasan Ibunda dari Rahmawati ketika menjelaskan arti nama Rahmawati Sukmajuddin pada kunjungan keduaku ke kediaman mereka. Keluarga Rahma (sapaan akrab Rahmawati Sukmajuddin) penuh kehangatan setiap menyambut kedatanganku. Dari kunjungan tersebut juga aku tahu bahwa Rahma yang kala itu masih duduk di kelas satu SD sudah mahir mengurus adiknya yang masih bayi dan membuatkan minuman hangat untuk bapaknya yang baru saja pulang kerja.

 Rahma memiliki dua kakak dan dua adik. Dari cerita Ibunya, keluarga Rahma merupakan keluarga nomaden yang sering berpindah-pindah tergantung kerjaan yang didapatkan oleh kepala keluarga, yaitu Bapak. Kabupaten Paser adalah daerah kesekian yang akhirnya mereka  tetapkan untuk tinggal, setelah bapaknya Rahma mendapat panggilan kerja untuk ikut membangun salah satu gedung SMK di Paser. Ibunya juga masih harus berjualan kesana-kemari untuk membantu perekonomian keluarga. Yang unik, untuk masalah kesehatan, Rahma dan seluruh saudaranya tak pernah dibawa sekalipun ke mantri, walau hanya sekedar imunisasi, karena tradisi yang dijalankan Ibunya beranggapan bahwa kasihan anak jika harus disuntik terus-menerus.

Meski begitu, Rahma (menurutku), sosok anak yang pantang menyerah. Dulu, awal aku mengajar matematika di kelas 1 SD justru rasanya aku yang hampir menyerah melihat Rahma bahkan baru bisa berhitung dengan kelima jarinya padahal saat itu sudah semester dua. Tapi nyatanya, Rahma adalah siswa yang protes paling lantang jika aku berhalangan mengadakan jam pelajaran tambahan. Karena faktanya Rahma adalah siswa yang paling awal datang (bahkan sebelum waktunya) dan selalu mengambil posisi duduk paling depan dengan sikapnya yang paling rapi dan manis.

Ibu kapankah kita les lagi? Ibu jalan terus je’

Selalu kalimat itu yang dilontarkan hampir setiap hari kepadaku selepas Rahma menyambut tanganku di depan sekolah kala baru saja motor dinas yang sudah mulai batuk-batuk itu kuparkir rapi. Aku kadang sampai bingung menghadapi pertanyaan Rahma, karena jawabannya selalu sama, Rahma juga mungkin bosan mendengarnya. Akhirnya, beberapa kali aku sempatkan mampir ke rumah Rahma, karena setelah sekali saja waktu itu aku kerumahnya, Rahma juga selalu merengek kepadaku agar aku bisa sering-sering kerumahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Rahma juga tak seberapa peduli dengan ledekan teman-temannya kalau Rahma belum lancar membaca dan menghitung. Aku selalu lihat yang dicarinya setiap hari hanyalah guru-gurunya. Ia mencarinya untuk tujuan agar ia bisa belajar membaca dan menghitung lebih banyak dari teman-teman sekelasnya.

Aku banyak melihat perkembangan positif di diri Rahma. Membaca walau terbata-bata, menghitung walau kadang bingung, dan menulis walau sambil meringis dilakoninya hingga tibalah hari terakhir aku mengajar kelas1 SD, aku mendapati Rahma begitu akur dan dapat diterima dengan baik oleh teman-temannya kala harus mewarnai sebuah gambar secara berkelompok. Betah sekali berlama-lama melihatnya.

Sampai terakhir kali aku menjadi guru karbitan di kelas Rahma, aku tak pernah menyangka kalau (bisa jadi)  itu terakhir kali aku bertemu Rahma di kelas. Usai kenaikan kelas, Rahma dan keluarganya berpindah ke Sulawesi (aku tidak tahu persisnya dimana, karena tetangganya kanan-kiri tidak begitu mengetahui).

Rahma, semoga kita dapat dipertemukan di lain kesempatan. Semoga di kesempatan kita bertemu nanti, kamu tidak lupa dengan Ibu. Ibu doakan Rahma sukses selalu ya, dimanapun dan kapanpun, Nak. Ibu rindu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua