Pappaseng ri Matoa: Sebuah Pesan Untuk "Menjadi Indonesia"

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 6 September 2014

Jangan mau jadi pengecut, hidup sekali harus berarti.

Ada yang berubah, Ada yang bertahan.

Karena zaman tak bisa dilawan.

Yang pasti,  kepercayaan

Harus diperjuangkan | Chairil Anwar

Semua yang bermula, tunggu masa saja berakhir. Termasuk camp Pelatihan Intensif Pengajar Muda Angkatan VIII. Semua kejadian silih berganti dalam tempo demikian cepatnya. Tahu-tahu sudah penghujung pekan ke tujuh. Semua kejadian seru, menarik, lucu bahkan haru, hampir tidak berbekas. Entah ingatan itu terselip di bagian otak yang mana, saya tidak tahu pasti. Tapi yang pasti, sejak awal, tujuannya kami tahu: ditempatkan di pojokan peta Indonesia.

Ibarat sebuah perjalanan, kami belum selesai. Ada persinggahan yang harus kami lalui sebelum benar-benar menuju ke sana. Dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, hal ini dinamakan “pappaseng ri matoa”. Arti literernya, pesan-pesan orang tua dan tokoh masyarakat. Bagi anak-anaknya yang ingin menempuh rantau, moral ini terus saja diulang.

Mengapa? Pertama, karena di dalamnya ada doa yang tidak putus-putus. Mendoakan keselamatan dan keberhasilan kami anak-anaknya. Itu berarti matoa (orang tua) sungguh rela melepaskan perjalanan kami, keberangkatan kami.  Alasan kedua, orang tua adalah unsur penting yang memberikan pengaruh besar bagi perasaan batin. Pesan mereka merupakan bekal makanan batin setiap saat bila kami lelah, tidak semangat, dan mengendur. Bila sudah seperti itu, perasaan tenang melambari hati dan perasaan.

Syukurlah bahwa Indonesia Mengajar juga menyiapkan kami melewati titik singgah ini dengan begitu baik.

***

Belum sempat kami tidur cukup di hari terakhir camp. Dini hari menjelang pukul empat, kami sudah harus bertolak dari Wisma Gayatri bilangan Cisarua Bogor menuju Istana Wakil Presiden di Jakarta pertama-tama. Padahal wajah-wajah itu masih belum segar benar. Sandaran bus menjadi tempat memejamkan mata dan mengistirahatkan badan.

Selama tiga hari di Jakarta, kami dijadwalkan dan diharuskan menjemput serta mendengarkan langsung pesan-pesan itu. Dan kami memulainya dari seorang bapak yang bersahaja. Beliau Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia. Sosok yang menurut saya pribadi banyak menyumbangkan pikirannya untuk bangsa karena perhatiannya tidak terlalu ramai dengan urusan politik partai. Hari itu beliau mengenakan kemeja safari putih empat saku dengan bawahan celana bahan licin rapi. Terbilang sederhana. Tanpa batik. Padahal kami sudah berbatik-batik ria.

Di sebuah ruangan yang cukup besar, saya mengambil tempat duduk di ujung kiri bagian tengah. Berada tepat di samping protokol acara hari itu. Dekatnya ada baki. Di atasnya, sebuah buku bersampul plastik rapi. Judulnya “Menjadi Indonesia –Surat dari dan untuk Pempimpin”.

Sebuah buku terbitan Tempo Inti Media yang dimotori Tempo Institute pimpinan Mardiyah Chamim. Untung saja buku itu bukan penghias ruangan semata. Andai saja benar, saya bahkan telah berniat meminta buku itu secara pribadi kepada Pak Boed. Buku kenangan itu diberikan secara simbolik kepada setiap Pengajar Muda.

Bisa jadi bukan kebiasaan Pak Boediono berpanjang kata dalam sambutan. Apa yang disampaikan beliau cepat saja selesai. Nasihatnya dibuat ringkas. Jangan-jangan disengaja. Saban keberangkatan, beliau memang selalu memberikan petuahnya kepada Pengajar Muda yang mau berangkat. Secara tersirat, Pak Boed ingin bilang, “bacalah buku itu, kau akan menemukan nasihat dan pesannya.” Sebab pesan itu sudah ia abadikan dalam sepucuk surat beserta tak kurang dari 120 surat-surat lainnya yang dikolase ke dalam sebuah publikasi yang layak baca: “Menjadi Indonesia.” Buku yang dibagikan kepada kami semua, Pengajar Muda kedelapan.

Mengapa kita perlu “Menjadi Indonesia?”

Dulu founding fathers bergulat dan bergumul mencari rumusan yang pas sebagai jalan hidup dan ideologi Indonesia. Dalam perjalanan panjangnya, pergulatan itu akhirnya melahirkan demokrasi. Di masa perjuangan kemerdekaan, kita pernah mencoba-coba Sosialisme-Islam ala Tjokroaminoto-Agoes Salim, Komunis ala Musso-Alimin, dan Nasionalisme Marhaenisme ala Sukarno. Beruntung dari pergulatan itu lahir demokrasi sebagai jalan tengah.

Demokrasi membutuhkan parstisipasi publik seluas-luasnya dan seramai-ramainya. Generasi baru pun terus saja bertumbuh seiring zaman yang terus berubah. Kisah-kisah positif perjalanan pembangunan bangsa tentu sudah banyak. “Menjadi Indonesia” barangkali seperti sebuah perbincangan antargenerasi tentang bagaimana mereka mengisahkan dan menawarkan peran membangun bangsa dan republik ini di masa yang telah lewat.

Bapak bangsa yang pernah jadi republiken dan interniran, tahu betul bagaimana Indonesia waktu itu masih sesuatu yang baru saja mulai “men-jadi,” penuh perjuangan. Katakanlah Sjahrir sebagai contoh. Dalam pengasingannya, ia mengamati masyarakat secara langsung. Enam tahun di berada di Banda Neira, ia menyibukkan dirinya dengan mengajar dan bermain dengan anak-anak Banda. Meski di benaknya, tidak pernah lepas bagaimana Indonesia Merdeka.

Suatu ketika pada 29 Mei 1936, Sjahrir di pengasingan Banda Neira, menulis surat kepada istrinya yang seorang Belanda, ia mengatakan, “hidup tanpa emosi jadi “terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah “penalaran abstrak” tanpa “pengalaman” (“ervaring”).

Semua bapak bangsa mengajar dan melibatkan dirinya dengan sejumlah pengalaman-pengalaman. Pengalaman itulah yang dibutuhkan oleh generasi selanjutnya. Adapun kisah dan pelajaran di dalamnya, hal itulah yang harus disampaikan. Membincangkan perbaikan bangsa dalam sebuah dialog antargenerasi maupun lintas generasi. Begitu seterusnya kepada setiap generasi yang lahir.

Perbincangan ini mesti ada karena keberlanjutan akan dengan segera diambil oleh generasi selanjutnya. Mereka berceritera, berpesan, agar kita semua bersedia menjadi Indonesia. Siapa lagi kalau bukan anak muda, generasi yang mau menempuh jalan sejarah, seperti kata Rocky Gerung. Kapan lagi…

Pesan tersiratnya kira-kira begini, “Hai anak muda, terjun ke masyarakat, libatkan dirimu dengan penalaran dan pengalaman

Apa rumusan “Menjadi Indonesia?”

Buku ini dimulai dengan kutipan surat Goenawan Mohamad tentang rumusannya: Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.

Dalam konteks Indonesia hari ini, “Menjadi Indonesia” yang disinggung tersebut, tidaklah mudah. Masih tersisa masalah dimensional yang semenjak reformasi belum teratasi hingga sekarang. Negara ini masih sibuk membangun dan menata lagi bata-bata peradaban sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, politik, hingga hukum. Akan tetapi telah banyak perbaikan di sana sini. Hal yang patut disyukuri adalah kemauan kita semua untuk me-reformasi (melakukan-perbaikan) diri sendiri, lalu melebar ke lingkungan yang lebih luas.

Kita butuh lebih banyak orang-orang dengan kesediaan yang tinggi ingin “men-jadi” dinamisator perbaikan-perbaikan Indonesia. Menyiapkan badan dan jiwanya agar selalu bersikukuh lewat sikap, keinginan, dorongan hati, dan impulsnya untuk mau melakukan itu semua. Apapun yang orang-orang ini lakukan demi perbaikan-perbaikan itu, pasti akan mendapatkan gairah yang besar karena ketulusannya.

Dan yang lebih penting ialah menyiapkan mental secara positif bahwa usaha perbaikan itu tidak akan pernah sempurna. Umpama bangunan “Indonesia”, semua upaya pembangunannya tidak bisa diselesaikan satu tukang saja. Jerihnya akan dilanjutkan oleh tukang yang lain. Memoles dan memelihara bangunan dilakukan tukang selanjutnya, dan begitu seterusnya. Setiap hari.

Kita tinggal dalam bangunan yang sama bernama “Indonesia.” Setiap orang wajib melakukan penjagaan dan perawatan atas seluruh sisi bangunan. Makanya, tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian. Kata Goenawan lagi, maka “Menjadi Indonesia” juga berarti menjadi-Indonesia-bersama-orang-Indonesia-yang-lain. Bahwa upaya, sedalam dan seintensif apapun, sebuah upaya tetaplah tinggal sebuah upaya. Ia melibatkan orang lain yang juga selibat dalam proses “Menjadi Indonesia”.

Jangan-jangan, “Menjadi Indonesia” merupakan sebentuk kesadaran kolektif yang akan diinternalisasi secara perlahan-lahan, dengan teladan dan hikmah. Mengajak sebanyak mungkin orang lain untuk terlibat memajukan Indonesia. Pendidikan hanya satu sisi.

Sebelum kami mengajukan diri sebagai Pengajar Muda, ribuan orang justru sudah terlibat Gerakan Indonesia Mengajar. Kepada merekalah kami menaruh hormat yang setinggi-tingginya. Kami diberi kesempatan merasakan ribuan lapis proses yang telah dibangun dan dikerjakan sebelumnya. Termasuk para penulis surat ini, yang tidak lain tak bukan adalah matoa sekaligus bapak dan ibu ideologis kami dalam kerja “Menjadi Indonesia.” Sebagaimana surat-surat itu ada, direnungkan, ditulis, dan disampaikan kepada kami semua: ANAK MUDA INDONESIA.

Lantas, sampai kapan “Menjadi Indonesia?”

Ibu Saparinah Sadli, seorang pejuang dan aktivis perempuan hingga masa tuanya, menulis dalam suratnya, “Menjadi (Indonesia) adalah tantangan untuk tidak berhenti mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya dan menjadi manusia yang peduli pada kualitas tumbuh kembang bangsa yang tidak akan pernah selesai. Dengan bertumpu pada proses becoming, Menjadi Indonesia adalah kepedulian kita bersama, tua-muda, laki-perempuan, dalam mendukung proses perkembangan bangsa yang terus bergulir.”

Beliau yang merupakan ketua pertama Komnas Perempuan, menjawab, proses menjadi itu tercermin dalam keinginan diri untuk tetap menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan menyesuaikan pada berbagai kemunduran fisik, mental, dan sosial. Sikap beliau didasarkan pada rasa syukurnya yang telah diberi karunia umur yang panjang. Yang memberikan kami kesimpulan bahwa batas waktu “Menjadi Indonesia” adalah sebatas daya juang yang mampu didayagunakan hingga di penghujung usia.

Pesan sudah disampaikan, doa telah dilayangkan, dan restu resmi digapai. Perjuangan kami mungkin hanya berlangsung setahun. Sementara perjuangan mereka telah berpuluh-puluh tahun. Ada bukti perbaikan nyata dari perjuangkan. Buah integritas dan dedikasi yang tinggi pada perbaikan diri, masyarakat, bangsa dan negara.

Sebagaimana buku-buku lain di dunia, buku ini pun bukan buku yang sempurna. Karena buku yang sempurna adalah buku yang tidak pernah ditulis, kata orang bijak. Tapi pesan yang ditulis, akan tahan lama.

 Dan tugas kecil kami menggunakan pappaseng ri matoa “Menjadi Indonesia” ini sebagai hal yang tidak sempurna. Semoga menjadi doa dan restu bagi anak-anak muda Indonesia untuk melakukan upaya lebih menutupi ketidaksempurnaan itu.

Sumber bacaan.

1.    Sjahrir Peran Besar Bung Kecil. Seri Buku Tempo Bapak Bangsa. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Jakarta. 2010.

2.   Menjadi Indonesia. Surat dari dan untuk Pemimpin. Tempo Inti Media. Jakarta. 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua