Pa' Guru pi Pasar
Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 11 Desember 2014Yang saya senangi dari tiap-tiap perjalanan adalah, aroma-aroma petualangan. Tempat-tempat baru, nama-nama asing, bahasa lokal yang unik, dan terpenting: mengenyahkan ketakutan tatkala ia mulai muncul.
Selama penugasan, inilah pertama kali saya ke pasar. Namanya Pasar Mambuni-buni. Terletak di Kampung Mambuni-buni Distrik Kokas. Pasar ini merupakan satu-satunya tempat kegiatan tukar-menukar yang terdekat. Kampungku sendiri terletak di Distrik Kramongmongga.
Jadinya, harus menyeberang ke distrik sebelah. Ya, tidak ada satu pasar pun di distrik. “tiga atau empat tahun yang lalu masih ada.” kata seorang pengunjung pasar. Namanya ‘Pasar Pendek.’ Tapi karena letaknya yang jauh. Harus jalan kaki turun gunung sejauh dua kilo lebih, makanya pasar itu tutup. Katanya, orang-orang waktu itu masih menggunakan sistem barter. Dan hal itu diaminkan oleh masyarakat kampung. Dalam hati, saya berniat akan jalan-jalan ke bekas pasar itu.
Orang-orang beralih ke pasar yang terdekat dan bisa dijangkau. Walaupun itu bukan di kampung sendiri. Hanya karena aksesnya yang mudah dan terhitung cepat, orang-orang kampung ramai berjualan atau sekedar membeli ikan segar.
Pasar Mambuni-buni sebenarnya seperti pasar dadakan. “saya baru petik sayur”, “semalam saya dapat ikan”, “pinang saya begitu banyak”, dan banyak lagi. Begitulah. Mereka yang merasa ‘berpunya’, bertemu dan saling bertukar di tempat ini.
Letaknya pun mengambil badan jalan sekitar 10 – 15 meter. Praktis, ketika pasar ini mulai riuh, orang-orang tidak bisa melewati jalan yang sebenarnya merupakan jalan umum. Pasar ini beroperasi hanya sekali seminggu. Ya, hari Sabtu. Hari yang begitu istimewa bagi masyarakat distrik.
***
Demi mengejar waktu, saya bangun pukul lima pagi. Rencananya, dengan motor. Saya berangkat bersama Roni, seorang guru honorer anak asli kampung. Bulan Juni kemarin, ia diwisuda. Saya sudah menjanjikan akan membangunkannya tepat pukul enam pagi.
Langit pagi ini begitu gelap. Angin gunung bertiup semilir. Kadang-kadang kencang. Tak lupa saya siapkan membawa mantel hujan. Rumah kami berbeda kampung. Di jalan menuju Rumah Roni, saya berpapasan dengan Sem, muridku di Kelas II.
“pa guru pi mana?”dia heran. Barangkali Sem ingin tahu.
Hari ini masih terhitung waktu sekolah. Meski Jumat kemarin perhelatan ulangan semester telah usai. Sem melihatnya sebagai sesuatu yang aneh.
“pi pasar, nak.”Saya jawab jujur.
“hah!” Ia bertambah heran. Ia menunda dua tiga langkahnya untuk berpikir sejenak.
“ko sendiri pi mana?” saya tanya. Saya tidak mau membiarkan prasangkanya berlanjut.
“pi di kios, pa guru.” jawabnya ringkas.
Saya tinggalkan Sem di belakang. Saya harus pergi pasar. Saya ingin sekali melihat pasar ini.
***
Dari kampung kami yang letaknya di puncakan, kita bisa naik motor atau taksi (angkutan umum). Jalannya berkelok-kelok menuruni bukit-bukit. Tidak lama. Sekitar setengah jam sudah sampai. Kita akan sampai di sebuah sungai yang airnya mengalir tenang. Pasarnya ada di pinggir sungai.
Pemandangan yang tersaji dalam perjalanan, saya pikir adalah sesuatu yang luar biasa. Kami melewati kapokpaha (pohon kapuk) dan bawang pureng (lahan bawang). Gugusan pulau-pulau kecil di Distrik Kokas terpampang dengan jelas. Sangat memanjakan mata. “Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh di bumi....” Boleh dikata, seperti dalam lagu Edo Kondologit itu. Jika tidak percaya, sila datang kemari.
Orang-orang dari Distrik Kokas yang menjajakan dagangannya, menambatkan perahunya di pinggir sungai. Sungai ini terhubung langsung dengan laut yang tembus ke Kokas. Menarik memerhatikan pasar ini meski barang sebentar. Inilah tempat bertemunya orang gunung dan orang laut. Orang gunung pulang membawa ikan. Orang laut membawa pulang sayur serta buah.
Pedagang pasar dari Distrik Kokas jualan pakaian, kebutuhan pokok sehari-hari, sampai kue-kue. Namun Yang utama adalah hasil laut. Kepiting, ikan, dan kerang-kerangan.
Tapi ombak di laut sedang bekerja giat. Sehingga pedagang-pedagang dari Distrik Kokas tidak seberapa yang muncul di pasar. Akibatnya, ikan segar tidak saya temui. Hanya kerang-kerangan yang tidak seberapa banyak. Musim barat sedang berlangsung. Hujan di dua malam turun tak henti. Kabut tersaput cukup tebal di atas bukit-bukit yang mengelilingi pasar.
Orang-orang dari kampungku sendiri, Kampung Pikpik, berjualan di pasar ini. Ada keladi, bayam, kangkung, bawang, pinang, sirih, tembakau negeri, dan macam-macam. Saya nyaris jadi pusat perhatian. Kenapa? Pasar ini tidak cukup besar untuk menyembunyikan orang. Dan ini perdana mereka menyaksikan saya di pasar. Hari Sabtu adalah hari sekolah. Jadi dengan alasan apapun, saya mestinya tetap ke sekolah.
Inilah juga alasan mengapa hari Sabtu, sekolah kami sepi. Baik siswa maupun guru. Nanti sekitar pukul sembilan pagi, orang-orang baru berdatangan dari pasar. Bisa dibilang, kebutuhan mereka akan protein, tercukupi dalam pasar sekali sepekan ini.
“ini beta pertama kali ke sini.” begitu saya bilang ke orang-orang kampung yang terheran-heran. Setelah itu, saya hanya bisa tertawa, karena kepergok. Setelah itu saya menyibukkan diri mengambil gambar, dan cerita dengan beberapa orang kampung.
***
Di sinilah saya bertemu Robet, muridku kelas enam. Katanya, ia datang membeli beberapa butir kue. Bahkan Jeperson, adik angkatku sekaligus muridku di kelas lima, jualan cabe rawit dan sayur bayam untuk beli ikan. Sederhana saja. Tapi itulah memang sebenarnya kebutuhan. Bukan ketamakan.
Tidak jarang juga, orang-orang kampung ke pasar –biasanya anak-anak muda- hanya untuk datang mengobrol dengan anak-anak muda lainnya. Nongkrong di Sabtu pagi. Kita bisa melihat kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang lain di pasar ini.
Akhirnya, pasar, menjadi tempat bagi saya -dan kita juga- untuk menyaksikan kebudayaan. Menyaksikan masyarakat berpesta dan ikut berkarnaval. Saling merayakan hidup. Tidak ada tempat bagi strata dan identitas sosial.
Yang cenderung ada hanya penjual dan pembeli. Yang butuh dan membutuhkan. Bukan mengeruk dan menimbun. Sebab, tempat ini jauh dari Mall dan sentra konsumerisme yang lux. Yang sosial masih dipertahankan. Barangkali, alasannya, karena kita perlu.
Setelah pasar tutup –biasanya jam sembilan- orang Kokas pergi dengan katinting (perahu kecil bermotor), atau perahu dayung. Sementara orang gunung, pulang kembali dengan motor atau taksi carterannya. Di tengah perjalanan pulang, kabut sudah jadi hujan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda