Sabtu ini Milik Gerfan

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 11 Desember 2014

Sabtu pagi ini begitu dingin. Hujan tidak henti-henti turun sejak menjelang pukul tujuh. Ke sekolah, anak-anak mengenakan jaket yang bisa menghangatkan tubuh kecil mereka. Mereka ada yang pakai daun pisang. Ada juga yang terabas hujan tanpa mengenakan pelindung apa-apa.

Di kelas, saya coba menghangatkan situasi dengan sedikit tertawa. Saya ingin tertawa. Saya ingin menertawai diri. Kata orang, dengan tertawa pun kita bisa belajar. 

Nah, seringnya, jika kami selesai mengadakan les sore, saya biasa memergoki anak-anak berkumpul untuk bercerita Mop. Mereka duduk melingkar. Anak laki-laki berkumpul sendiri. Anak perempuan pun demikian. Barangkali ada Mop yang hanya boleh didengarkan oleh masing-masing perkumpulan mereka.

Makanya, sabtu pagi ini, saya himpun mereka jadi satu: Mop anak-anak Kelas Tiga.  Kami duduk melingkar. Aturannya, masing-masing kami menceritakan satu Mop. Secara bergiliran.

Saya mulai menceritakan Mop, gawalnya, bagi mereka, itu tidak lucu. Mop nya seperti ini. Sebuah perbincangan antara Opa dan seorang cucunya:

Opa     : nak, kamu harus tahu. Dahulu, Opa termasuk orang yang paliiiiiing berani.

Cucu    : Maksdunya? coba Opa cerita lebih jelas.

Opa     : Suatu ketika. Opa dan teman-teman pergi bergerilya melawan tentara Belanda.

Cucu    : Terus?

Opa     : Di tengah perang gerilya, semua tentara Indonesia diperintahkan kumpul di  tanah lapang yang terdapat di pinggir hutan. Ada helikopter yang akan menjemput kembali ke markas...

Cucu    : Jadi Opa, bagaimana dengan tentara Belanda?

Opa     : Itulah masalahnya, cu. Semua teman-teman Opa naik ke helikopter. Tinggal Opa sendiri yang tinggal dalam perang gerilya yang berlangsung sengit itu.

Cucu    : Wihhhh,,,luar biasa. Opa keren. Opa memang berani. Prok...Prok...Prok...

Opa     : Bukan, Cu. Opa ditinggal helikopter. Opa lagi sial. Hehehe...

Banyak Mop yang saya rekam dari anak-anak. Tapi Sabtu ini, pencerita yang paling baik adalah Gerfan. Muridku satu ini, pikirannya sering ter-distract pada saat belajar di kelas. Ternyata, ia bisa memfokuskan kecerdasannya lewat penuturan yang runtut, jelas, dan kami semua mengerti.

Saya perhatikan, bola matanya ke atas. Ia sedang memikirkan lebih banyak lagi Mop yang ia ketahui. Tapi ia malu untuk menceritakannya. Barangakali, memikirkan teman-temannya yang lain yang belum mendapatkan giliran.

Tapi, Sabtu ini milik Gerfan. Inilah dua Mop dari Gerfan.

***

Seorang teteh datang di sebuah acara puncak perayaan Natal. Melihat aneka jenis makanan, minuman, dan kue-kue yang tersaji, rasa laparnya terbit. Ia begitu tidak tahan lagi untuk menyantap mencoba segala yang terpampang di hadapannya.

Tuan Rumah  : Teteh, minta tolongkah. Sebelum kitong ada makan, teteh pimpin doa dulu.  

Teteh : Oh, iya. Boleh. (Dalam cerita ini, si Teteh tidak tahu baca doa. Sambil gelagapan, ia mengiyakan permintaan tersebut)

Tuan Rumah  : Teteh, silahkan maju ke depan.

Teteh sebenarnya sudah tidak tahan lagi dengan lapar yang sedari tadi mengamuk di perutnya. Ia tidak bisa konsentrasi lagi. Ia berpikir lamaaaa sekali untuk mengingat-ingat, kalimat apa yang ia bisa gunakan sebagai doa.

Tuan Rumah : Teteh, adakah menunggu sesuatu. Atau barangkali teteh kurang sehat?

Melihat Tuan Rumah dan kerumunan tamu-tamu yang berada di cakupan bola matanya, si Teteh mulai gentar. Matanya diarahkan kesana kemari. Seperti mencari sesuatu. Dan akhirnya, ia menemukannya.

 Teteh : Mmmm,,,aaa,r,,,iii,,, kiii,,,taaa,,,ber,,,doa,,,

Teteh tidak sabar ingin mengakhiri doanya.

Teteh : Daging, sirup, kue, Amiiiiiinnnnnn...

***

Pada pagi yang cerah, seorang teteh mengajak cucunya memancing di laut. Si Teteh kelihatan agak tergesa-gesa. Mereka berdua melaut tanpa didahului sarapan pagi. Sarapan sebenarnya sudah disiapkan nenek di meja. Akhirnya, sarapan yang hanya berupa beberapa potong kue dan teh itu, dibawa serta.

Teteh : Cu, kitong tara makan dulu eee. Nanti kitong su di laut baru makan.

Cucu : aisshh,,, teteh ini tara benar ooo.

Teteh : Sudah, kamong sabar.

Si Cucu tidak rela sarapan paginya ditunda. Sepanjang perjanalan melaut, ia memasang wajah cemberut pada teteh.

Setelah sampai di laut, Teteh mengeluarkan joran pancingnya. Tak berapa lama, asykilah ia memancing sendirian. Lupa bahwa cucunya belum sarapan pagi.

Cucu berpikir, bagaimana supaya teteh-nya ini bisa ingat dengan kue yang disimpannya sedari pagi. Ia memiliki ide brilian. Akhirnya, ia mengambil sembunyi-sembunyi kue tersebut.

Lalu, ia menceburkan diri ke laut. Di dalam laut, ternyata, ia makan kue itu setengahnya. Si cucu kemudian muncul di permukaan. Dengan wajah yang gembira dan sumringah, mulailah ia bersandiwara.

Cucu : Teteeeeeh, liat ini dulu! Beta dapat kue ini di bawah laut. Ada pasar di dalam laut. Orang pu banyaaakkkk sekali yang datang mo.

Teteh tak menyadari, ia dikibuli cucunya sendiri.

Teteh : Iyokah? Cucu, Awas eee....., kamong mari, jaga pancing ini.

Setelah beberapa saat menyelam, teteh sadar, pasar bawah laut itu sebenarnya cuma karangan cucunya. Jelas, pastinya ia hanya melihat ikan-ikan dan batu karang di mana-mana.

***

Begitulah. Anak-anak tertawa sampai puas. Gerfan hanya tersenyum-senyum melihat temannya begitu asyik mendengar ceritanya Mop-nya. Di luar, masih hujan. Deras. Tapi ia puas.

Namun, kepuasaan Sabtu pagi ini, tidak akan saya biarkan dimiliki sepenuhnya oleh Gerfan. Semuanya mesti puas. Saya mengambil sedikit waktu mereka demi  mendengarkan sebuah cerita lagi. Pada anak-anak, sekian jumlah mop itu, saya akhiri dengan sebuah cerita dari negeri Iran. “Children of Heaven.”

Riuhnya hujan dan dinginnya tiupan angin yang berusaha menembus jendela kelas, turut mendukung siswa menjadi senyap seketika. Saatnya bagi saya untuk menyisipkan nilai-nilai dan hal-hal yang baik lewat berceritera. Pelajarannya adalah:

Pertama, “Nak, pandai bersyukur dengan apa yang ada, yang kamu miliki”

Kedua, “Nak, kalau kau memaksimalkan usaha dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, pasti Tuhan akan mengganjarnya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Saya ingat, waktu SD, guru saya mencontohkan hal yang sama. Ia mendongengkan kisah menyentuh tersebut. Yang suara dan pesannya, bergema terus di pikiran saya, hingga sekarang. Akhirnya, karena Gerfanlah, anak-anak melepas tawa. Karena Gerfan pula, anak-anak menyimpan haru. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua