Nak, Indonesia-69-Tahun!

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 9 September 2014

Nak, kartu penduduk bapak, Indonesia. Orang tua bapak, juga Indonesia. Kalau dirunut hingga beberapa lapis generasi, semuanya masih Indonesia. Persis seperti dirimu.

Negara ini, bagaimanapun, tanah kelahiran kita. Itu tak bisa berubah. Meski, pilihan menjadi warga negara Indonesia sampai akhir adalah kehendak bebas dari orang perorang. Hak individu masing-masing.

Nak, tapi akankah kita menjadi warga negara Indonesia sampai mati? Akankah pula kita ingin mempertahankan kewarganegaraan itu? Hal ini tentu menyisakan waktu untuk terungkap. Waktu menyimpan misteri bagi tiap insan bernyawa. Setiap manusia punya jalan hidup berlainan. Juga dirimu.

Nak, kalau kita ingin mengajukan tanya ke orang-orang di hari-hari ini. “Apa arti sebuah kewarganegaraan bagi Anda?” Selembar kertas agak tebal dan eksklusif yang diberi cap, lalu kemudian benda itu kita namakan Paspor. Atau setumpuk identitas lainnya yang sama sekali tidak memberikan kebanggaan. Entahlah.

Nak, atau bisa jadi kita seperti laiknya para imigran-imigran gelapitu. Hak mereka untuk hidup lebih penting dibandingkan hasrat untuk menetap dalam sebuah negara. Apatah lagi bila negerinya dirundung kekacauan dan kemalangan yang tiada usai.

Seorang Prancis di abad 12 mengatakan masam, “orang yang mendapatkan negerinya menyenangkan adalah ia yang hanya pemula yang masih mentah. Orang yang mendapatkan setiap negeri merupakan negerinya, ia sudah jadi orang yang kuat.” Negeri, bagi mereka, hanya labuhan tempat lima kali lima meter yang aman dari gangguan dan teror. Ia butuh cap untuk bisa tinggal di negara X, Y, atau Z. Itu saja.

Nak, oleh karenanya, barangkali, bila sudah tidak betah dan kondisi menjadi semakin memburuk, juga kita, dan bahkan siapa saja, bisa angkat kaki dari status kewarganegaraan. Pindah negara. Mengikuti ikatan pernikahan, atau demi memudahkan urusan-urusan. Negara itu, mungkin jelas lebih makmur dan hampir tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi di sana.

***

Nak, meski begitu, inilah negara tempat kita dilahirkan. ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Kita menyebutnya NKRI. Plus dengan kewajiban menyebarkan nilai-nilai di dalamnya.

Terlebih POLRI danTNI sebagai institusi negara dengan kewenangan menjaga stabilitas keamanan dari dalam dan luar. “Demi menjaga keutuhan NKRI.” Nak, begitu yang sering kitadengarkan. Kadang diteriakkan dengan mempertontonkan urat syaraf yang menegang.

Indonesia kita, nak, unsur ‘Kesatuan’ dari NKRI-nya begitu sakral. Tidak boleh terpecah-pecah. Jangan sampai ada yang mau merdeka sendiri. Kalau perlu, semua tindakan teror yang berpotensi mengancam keseimbangannya, dicegah sejak dini.

‘Kesatuan’-nya dicirikan dengan pelbagai perlambang dan simbol. NKRI dipatok dengan keniscayaan,“NKRI harga mati.” Slogan nasionalisme yang agak mengikuti kehendak inferiorisme dan paranoisme.

Nak, itu mengingatkan kita dengan “Merdeka atau Mati.”Redaksionalnya dibuat mirip-mirip. Sebuah pekik perjuangan melawan kolonialisme di tahun-tahun lampau. nak, tapi kali ini, coba tebak, siapa yang berjuang? dan apa bentuk ‘Kesatuan’ yang diperjuangkan? Padahal negeri ini bukan melulu soal keamanan. Pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, energi, sumber daya manusia, dan semua turunannya.

Nak, bukan bapak tidak setuju tentang itu. Bapak sama inginnya dengan semua orang yang lain. Dengan keinginan yang begitu kuat. Ingin negara kita tetap utuh. Dari Sabang sampai Merauku, juga Sangihe tembus Rote. Namun dengan cita-cita dan tujuan yang mulia. Bila kita sudah membincangkan tujuan Indonesia yang mulia itu, bapak pasti setuju hal itu memang harga mati.Sebabnya karena itu amanat konstitusi. Kita ingin ‘kesatuan’ itu merupakan sesuatu yang adil dan proporsional. Menghargai setiap individu dan sosial masyarakat.

***

Nak, sayangnya pula, negara kita NKRI, yang dibalut dengan harga mati itu, tidak selalu mati-matian membela kita, rakyat banyak. Negara kita NKRI yang minta dipenuhi itu, sering alpa ketika dibutuhkan oleh negara. Negara kita NKRI yang beroleh pertumbuhan ekonomi setara negara maju itu, tidak tahu kemana penghujung angkanya.

Nak, tahukah kamu, adakah langkah yang jelas bagaimana ‘Kesatuan’ Indonesia dengan jelas ditata ke depannya? Bapak membayangkan, ‘Kesatuan’, karena kita bisa dengan mudah mengakses tempat-tempat di tanah Indonesia. Bapak membayangkan, ‘Kesatuan’, karena kita bisa mengenyam sistem dan kualitas pendidikan yang sama di mana-mana di Indonesia. Kemana ‘kesatuan’ itu?

***

Nak, namun, menjadi warga negara, adalah barangkali bahwa kita harusbelajar menjadi warga yang berkonstitusi. Kita semua ikut aturan yang sama bila berada dalam negara atau wilayah yang identik. Negara kita, memiliki tiga hal selain NKRI: Pancasila, UUD 1945, dan  Bhinneka Tunggal Ika.

Majelis perwakilan negara kita, senang memakai istilah ‘Empat Pilar’. Sosialisasi  NKRI-Bhinneka Tunggal Ika-Pancasila-UUD 1945 gencar dilakukan. Kepada siswa-siswa dan mahasiswa-mahasiswa, kakak-kakakmu itu.

Nak, tapi, sekali lagi, ini juga cerita tentang negeri kita yang memiliki persoalan paradoksal dengan ke-Empat Pilar itu. Barangkali, disinilah tampil kekuasaan. Kekuasaan yang diselewengkan. Kekuasaan yang disalahgunakan. Negara ini ditinggali dan diurus oleh pemimpin-pemimpin itu dengan rasa tanggung jawab yang tidak sepenuhnya.

Nak, negara kita, punya anggota legislatif yang sering tidak masuk ruang sidang. Di negara kita juga, ada pimpinan lembaga peradilan yang mencobamenghancurkan pondasi adil itu sendiri. Nak, Milan Kundera mungkin benar, bahwa sejauh kita hidup, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Nak, jika kelak kamu mewakili kita-kami-mereka yang Indonesia, mudah-mudahan kamu dapat berlaku adil.

***

Nak, begitulah. Negara kita mungkin punya banyak masalah. Tapi ketika identitas dipertanyakan, bapak masih akan menjawab yakin, “aku Indonesia.” Diantara orang-orang yang bukan Indonesia, itu menjadi penting. Mereka harus tahu, bahwa orang Indonesia –semuanya- masih memiliki rasa bangga akan negerinya. Diam-diam, malu-malu, atau terang-terangan.

Ikatan batin yang bertaut dengan memori masa kecil yang terserak, ingatan tentang orang-orang di dalamnya, dan apapun itu yang memaksa identitas kita tidak bisa diabaikan sama sekali. Katakanlah itu seperti nyanyi Ibu Sud, “tanah airku,,,,tanah airku,,,tidak kulupakan.” Lagu yang baru bapak bisa sedikit mengerti artinya,ketika bertemu denganmu dan teman-temanmu, di tanah Papua ini, di tanah Indonesia kita.

Nak, hari ini, 17 Agustus 2014, NKRI kita berulang tahun. Aku mengucap selamat untuk itu. Aku mendengar peringatan detik-detik menegangkan di Pegangsaan 56 itu lewat radio baterei di rumah kita. Kampung kita. Pada sibakan Pegunungan Fakfak, yang gelombangnya sering berlarian.

Nak, selamat menikmati napak tilas 69 tahun perjalanan kemerdekaan bangsa kita ini. Bapak belum lagi bisa melakukan apa-apa. Namun kita wajib belajar dari sejarah bangsa yang belum lama. Belum ada 100 tahun. Semoga akumulasi kesyukuran semua warga Indonesia, menjadi bongkahan energi yang terus menggandakan semangat untuk senantiasa berbuat.

Barangkali seperti beberapa petugas sosialisasi yang menjelaskan butir-butir “Empat Pilar” Indonesia dengan hati. Atau seperti Munif Chatib yang terus menjuangkan “Sekolahnya Manusia” untuk Indonesia yang lebih humanis. Dan laiknya semua manusia Indonesia lain yang berbuat dalam sunyi. Tanpa diketahui orang-orang. Juga tanpa publikasi. Nak, mungkin, memang, kita tak sepenuhnya butuh alasan untuk berbuat. Sebutlah itu tulus...


Cerita Lainnya

Lihat Semua