Maria, Merah Putih, dan Tong Sampah

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 9 September 2014

“dimanapun kamu ditempatkan, bawalah serta Indonesia, sampaikan pada mereka” | Weilin Han -Guruku-

Nak, sore itu mungkin Bapak yang salah. Ah, sudahlah. Bapak saja yang salah. Martir atas kesalahanmu. Sore itu...

Sore itu, setelah les, Maria, kusuruh dirimu menurunkan bendera yang tegak berdiri di halaman depan sekolah. Tepat di depan ruang kantor guru. Kita semua hampir lupa bahwa bendera masih berkibar dengan gagahnya. Bendera harus diturunkan secepatnya. Sebelum gelap memenuhi kampung kita.

Maria, kau segera menyongsong tiang yang baru saja berdiri itu. Belum tiga pekan. Kita semua tahu bahwa kayu penyangga bendera ini baru diupayakan lagi pendiriannya setelah roboh beberapa waktu lalu.

Sebelum kau menurunkannya, kau melihat bendera yang disinari mentari lembut sore itu menjadi demikian rupawannya. Tahukah kau nak, sebelum segera pulang naik ke kampung, bapak juga melihat hal yang sama. Meski bendera kita sudah mulai usang. Dan ada sedikit benang terurai akibat digunakan latihan kelas enam.

Bahkan kita sudah hampir melupakan tata upacara yang baik dan benar. Semua kembali ke awal. Berubah seperti pengalaman pertama. Naskah pengantar dari semua produk undang-undang negara kita, kaupun baca tertatih-tatih.

Bendera itu inspirasi bapak, nak. Inspirasi dan getarnya acapkali muncul setiap melihat kain itu berkibar ditimpa bias surya sore. Walaupun kau Maria, sering tersenyum mendengar bapak yang selalu gagal memainkan “Bagimu Negeri” dan “Tanah Air.” Sudah tercekat sebelum keluar dari pita suara.

***

Maria, kelasmu mendapat giliran. Setelah pekan lalu kelas enam bertugas piket upacara. Bapak sudah pesan bahwa besok kita mengadakan latihan. Teman-temanmu yang lain di kelas lima sudah siap. Sabtu pagi, waktu yang bapak senantiasa nantikan. Seusai senam, kerja bakti, atau lari-lari keliling kampung. Agar ada perayaan, tentang belajar, yang menyenangkan, yang menenangkan.

Tapi esoknya, sebuah aksiden yang melibatkanmu membuat bapak terhenyak. Latihan upacara belum bisa dimulai. Merah Putih itu tidak di tempatnya. Di Ruang Kantor Guru. Maupun dalam lemari, yang kadang terbuka lebar tanpa kunci.

Namun entah mengapa, tidak seorang pun dari kalian yang melihat bendera. Dicari kemana-mana juga tidak diketemukan. Tidak ada yang mengaku, nak. Kaupun tidak.

Terpaksa, kita latihan upacara tanpa bendera. Maria, hilang satu kesempatan untuk mengajarimu lagi bagaimana cara mempersiapkan bendera untuk dinaikkan. Dalam hati, bapak terus saja bertanya. Kemana gerangan Merah Putih itu?

Maria, anakku yang baik. Di tengah keadaan itu, kau berusaha sesantai mungkin.Walau kau menyadari sebuah kesalahan telah tercipta. Setelah menurunkan bendera kemarin sore, kau memasukkannya ke dalam tong sampah. Dari pengakuaan ringkasmu ke teman-teman, kau bilang, bendera itu sudah tua dan mulai sobek.

Bapak berpikir, kau mungkin membayangkan bila sudah rusak, harus segera dilenyapkan. Lalu secara otomatis pula besok akan hadir Bendera Merah Putih yang baru, yang cemerlang warnanya, yang utuh kainnya.

Bapak sama sekali tidak berniat mengadili dan menyalahkanmu hari itu. Walaupun di mata bapak, anakku, sikapmu mencerminkan laku yang tidak adil kepada simbol negara dan itu salah. Maria, sedikit lagi kau beranjak remaja, nak.

Apa yang terlintas dikepalamu sore itu nak? Mengapa tidak menyimpannya dahulu tapi lantas mencampakkannya ke tong sampah? Mengapa tidak meminta saran dari teman-teman akan diapakan bendera itu?

Maria anakku, mungkinkan kau terdesak oleh waktu yang semakin gelap sore itu? Tidak takutkah kamu, Maria, ketahuan? Lalu dicibir oleh teman-teman? Maria anakku, tahukah kau tahu yang namanya pagi akan datang, dan kebenaran pasti akan lebih terang dari sore itu?

Maafkan bapak, nak.  Terlalu jauh dalam pertanyaan imajiner ini.

Bapak menyayangkan benar kejadian itu. Sedikit banyak, Bapak mungkin selibat salah dalam aksiden ini. Membiarkanmu dan teman-teman di penghujung gelap, di sekolah. Yang mana gelap itu justru menuntunmu pada tindak yang baik bapak maupun kamu, sama sekali –dari lubuk hati terdalam- tidak membenarkannya: Merah Putih di tong sampah.

Nak, biarkan simbol-simbol dan perlambang-perlambang itu hadir dalam kehidupan kita. Kitalah yang akan bahu membahu memberikan makna kepada simbol dan perlambang itu. Dengan terus mengisi kekosongan yang terus ada setelah kata “merdeka” itu muncul. Barangkali, itulah alasan bapak hanya bisa memberi nasihat. Selama seminggu penuh itu, kepada dirimu, kepada teman-temanmu, mengenai pahlawan, mengenai negara ini. Agar kita semua kembali ingat, bukan lupa, apalagi acuh.

***

Maria anakku, bulan ini, Agustus, ketika simbol mendapatkan momennya. Indonesia kita berulang tahun, nak. Apa yang terjadi puluhan tahun yang lampau, segera kita ingat-ingat lagi. Bapak hanya bisa menceritakan apa yang bapak tahu. Dari sejarah perjuangan bangsa. Dari kesediaan kita semua menghilangkan identitas.

Nak, ingatakah dirimu ketika bapak pernah bertanya,“disebut apa daratan dari Aceh hingga Papua sebelum 17 Agustus 1945? Mengapa semua anak-anak muda di tahun 1928 meneriakkan sumpahnya dengan sebutan Indonesia? Apa yang mereka lepaskan sebenarnya? Mengapa kita tidak merdeka sendiri-sendiri saja?”

Maria Anakku, mereka melepaskan identitas mereka sebagai Sumatera, sebagai Jawa, dan sebagai-sebagai yang lain. Mereka memilih untuk berjuang secara bersama-sama, nak. Untuk nama yang satu itu: INDONESIA. Mereka bahkan telah memilih Merah Putih sebagai simbol, nak.

Nak, setelah kemerdekaan pun, kita masih berjuang.Menurunkansimbol penjajah dengan Merah Putih.Seluruh masyarakat yang telah disebut ‘warga Indonesia’ itu menyediakan satu-satunya nyawanya untuk mati di medan-medan perang dan lahan-lahan gerilya. Seperti Bung Tomo dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Hanya untuk menjuangkan Merah Putih dan sederet huruf yang kita baru saja memberikannya nama dan arti. Itu negara kita, nak.

Barangkali, makanya, perjuangan Merah Putih adalah perjuangan ‘menaikkan’, anakku. Mengereknya ke tiang tertinggi. Menaruhnya di tempat yang terhormat dan pantas. Sebab, tidak ada lagi perjuangan menaikkan -dalam arti sebenarnya- bendera. Tiang tertinggi sudah tercapai.

Yang terjadi hanya perulangan. Setiap kita upacara. Setiap Senin, setiap 17 saban bulan, setiap 17 Agustus, dan sejumlah lagi. Perulangan itu memerlukan makna ‘menaikkan’ bendera, anakku. Tidak sekedar dibiarkan terhempas angin gunung di kampung distrik kita. Ada yang lebih dari itu.

Bahwa, kau teruslah belajar. Dari Merah Putih. Dari mana saja. Kalau ada yang menyalahkanmu, bapak sudah menganggapnya sebagai kesalahan pribadi.

Anakku, semoga ini yang terakhir dari kejadian. Dari semua tempat dan jejak yang merasa bagian dari Indonesia. Bapak ingin kau menjadi apapun yang kau mau. Tapi, tolong, tulis keinginanmu di Merah Putih itu. Mengangkasalah bersamanya. Mengangkasalah seperti Merah Putih. Dengan tingginya tiang yang hanya kau sendiri yang mampu banyangkan. Setinggi impianmu menjangkau |

*Maria (tidak dengan nama asli)


Cerita Lainnya

Lihat Semua