Melan dan Surat Tentang Tuhan

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 26 Maret 2015

Anak-anakku beroleh surat semangat. Alamatnya dari rekan-rekan di Lembaga Penelitian Mahasiswa  Penalaran UNM Makassar. Setiap anak mendapatkan satu sampai tiga surat sekaligus. Saya tak sempat membaca satu persatu surat-surat itu.

Sebab selain karena anak-anak melarang saya membacanya, merekalah pemilik sah surat-surat itu. Nama tertujunya jelas di amplop. Jelas pula bahwa saya tak berhak apa-apa kecuali diizinkan.

Dengan begitu, maka surat ini menjadi demikian intim. Surat ini mempersaudarakan. Surat yang mempersaudarakan dua anak manusia berlainan tempat, suku, dan usia. Menjadi seorang kakak dan adik.

Saya yakin tujuan itu jelas sudah kesampaian. Mengapa? Saya beruntung.

Saya diberi kesempatan melihat dan membaca surat yang diterima Melan. Muridku kelas enam. Sebuah tulisan pendek selembar. Kepada si adik, Melan, agar selalu mengingat Tuhan. Poin-poinnya adalah tentang Tuhan dan kuasa-Nya.

“Kakak tidak menyangka bisa diberi kesempatan menulis surat buat Melan. Itulah Tuhan, yang membuat segalanya menjadi mungkin. Kelak, bisa saja Tuhan juga mempertemukan kita.”

Tuhan membuat segalanya menjadi mungkin. Itu benar. Melan juga percaya itu. Melan menerima dan membaca surat tersebut, juga dengan rasa yang mula-mula tidak percaya. Belum lagi yang menulis surat sudah mengganggap dirinya sebagai kakak Melan. Tapi Melan percaya akan Tuhan. Makanya ia percaya.

Melan pun percaya, bahwa jika memang takdir Tuhan menetapkan, ia, suatu saat saat akan bertemu dengan si kakak. Si kakak yang sama percayanya dengan Yang Maha Kuasa, terlebih sangat mengharapkan pertemuan dengan Melan.

“Kakak sangat berharap Melan selalu ke gereja, rajin berdoa dan berperilaku yang mencerminkan bahwa Melan anak Tuhan.”

Tertujunya surat ini, barangkali boleh siapa saja. Boleh dengan nama Melan, Maria, Paulus, dan semacamnya. Karena surat ini tentang Tuhan. Hanya saja, Tuhan menakdirkan Melan yang menerima surat ini.

Melan tidak pernah absen ke gereja. Selepas sekolah minggu, ia segera berbegas menuju gereja untuk Ibadah Umum. Bukan langsung meluncur bebas bermain di lapangan. Melan butuh berdoa sebenarnya. Itulah yang dilakukan Melan.

Dengan berdoa, ia berharap Tuhan akan mengabulkan harapan-harapannya. Akan masa depannya. Akan keluarganya. Juga akan nasibnya setelah ini, dapat melanjutkan SMP atau tidak. Untuk itulah ia ke gereja. Berdoa bersama orang-orang yang juga berdoa.  

“Jadilah orang dan anak yang membanggakan orang-orang di sekitarmu, keluarga, orang tua, dan paling penting membanggakan hati Tuhan.”

Melan bukannya tanpa cela. Sekali waktu, saya menghukumnya berdiri hormat selama setengah jam di depan tiang bendera karena terlambat mengikuti upacara. Ia urung untuk bersungut-sungut. Meski pada dasarnya, anak ini temperamen. Namun kali ini, ia melaksanakan hukumannya dengan sukarela.

Ia tahu konsekuensi jika terlambat. Dan, barangkali saya patut merasa lega. Ia pilih menjalani konsekuensi daripada tidak masuk sekolah sama sekali. Mudah-mudahan hal itu didasarkan pada keyakinannya akan Tuhan. Bahwa di hadapan Tuhan, manusia yang paling baik adalah manusia yang selalu memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Melan sudah memberikan kabar pada ayahnya.  Bahwa ia menerima surat. Ia punya kakak angkat di Makassar, perempuan. Lengkaplah, ia punya seorang kakak laki-laki. Tugasnyalah untuk membuat mereka bangga. Dan itu masih menjadi PR besar untuk Melan.

“Teruslah berjuang, jangan pernah menyerah untuk belajar. Kalau Melan berpikir untuk menyerah, ingatlah keluarga dan Tuhan yang akan selalu menguatkan Melan.”

Ibunya sudah meninggal sejak Melan masih kecil. Sehingga, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga bila di rumah. Begitu setiap hari. Makanya, ia sesekali terlambat ke sekolah. Beberapa kali terlambat mengikuti les pengayaan.

Tapi ia selalu datang. Dengan senyum khasnya, sambil mengaku bersalah. Alasan bekerja di rumah itu jarang ia singgung sebagai dalih keterlambatannya. Justru teman-temannya yang datang membelanya.

“pa guru, Melan tadi masih kerja. Masih memasak mencuci untuk de pu bapak sama kakak.” begitu yang anak-anak sering katakan.

Saya sangat mengerti itu. Melan memang harus berjuang. Berjuang untuk disiplin dan sekaligus pantang menyerah kalah. Kata si kakak, “ingatlah keluarga dan Tuhan.”

Mudah-mudahan bisa memperkaya batin Melan. Surat ini, kubacakan di depan semua teman-temannya. Sebab, kita semua membutuhkan Tuhan.

Begitulah. Dalam surat ini, Tuhan menjadi ‘pokok’ -pembicaraan-, sedangkan Melan hanyalah ‘tokoh’ –tambahan- yang setiap saat bisa berganti nama. Yang paling penting adalah ‘pokok’ ketimbang ‘tokoh’ (Goenawan Mohamad).  

Mengapa mesti Tuhan yang menjadi ‘pokok’ surat? Bukan ‘tokoh’ Melan yang menjadi tujuan ditulisnya surat ini? Dalam kata lain, mengapa si kakak merasa begitu penting untuk mengingatkan Melan supaya semakin dekat dengan Tuhan?

Mungkin, bahwa dengan sebab kehendak Tuhan-lah mereka sekarang bersaudara. Dengan itu, si kakak mengharapkan Melan menjadikan Tuhan sebagai sebaik-baik pelindung dan penguat dalam menjalani kehidupan.

Sedikitnya, surat ini mengajarkan Melan tentang kebesaran Tuhan, yang dengannya Melan dapat mengusir jauh-jauh rasa kesendirian dan kesunyiannya tanpa seorang Ibu.

Bung, inspirasi bisa datang dari mana saja. Meski sederhana, kali ini, saya merasa terhibur dengan surat ini. Pengirimnya: seorang mahasiswa tahun pertama.


Cerita Lainnya

Lihat Semua