Kelvin dan Pesawat Pikpik

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 26 Maret 2015

Setiap kemunculan hari Sabtu, hati saya terselip rasa riang. Sabtu, adalah hari di mana anak-anak berhak untuk bergembira dan meluapkan kegembiraannya. Di kelas dan di sekolah. Sebab hari Sabtu menjadi ajang anak-anak menumpahkan pikiran-pikiran bebas dan kreatifnya.

Pagi ini pelajaran SBK (Seni Budaya dan Keterampilan). Keterampilan yang ingin dituntaskan adalah membuat produk dari bahan kertas. Saya membawa karton warna-warni, spidol, lem, gunting, benang wol, stik es, gelas plastik bekas air mineral, dan lain-lain. Saya berharap persediaan akan cukup untuk 14 orang muridku Kelas III. Yang selanjutnya akan berkreasi dengan gayanya masing-masing.

Pertanyaannya kemudian,

Apa yang kamu mau buat ketika besar nanti?

Apa yang akan kamu buat dengan alat dan bahan itu?

Dua pertanyaan ini, kuajukan sebelum memulai. Harapannya, agar jawaban yang ada dalam benak mereka, dapat menuntun anak-anak berpikir sejenak sebelum memulai memilih dan memilah alat serta bahan yang diperlukan.

Tapi, seorang muridku, Kelvin, telah berimaji tentang sebuah Pesawat Pikpik. Pikpik adalah nama kampung kami. Daerah pegunungan di Fakfak. Sekitar 800 hingga 100 meter di atas permukaan laut.

“pa’ guru, kemarin ada pesawat lewat.” katanya.

“ah, masa. iyoka?” saya menjawab ragu.

Sejenak, saya tidak percaya. Tapi anak-anak semua melihatnya. Anak-anak jelas tidak berbohong sama sekali. Artinya, saya harus percaya.

Di langit kampung, beberapa kali heli terbang melintas. Namun saya sendiri belum pernah melihatnya. Mungkin yang dilihat anak-anak adalah pesawat milik Angkatan Udara, tim BASARNAS, atau semacamnya. Atau mungkin saja, heli tersebut milik perusahaan migas yang beroperasi di Tanah Fakfak. Saya bilang seperti itu ke anak-anak.

Yang terakhir saya sebutkan adalah sebuah kekuatan ekonomi yang memang ‘berpunya’. Perusahaan migas tersebut sangat memungkinkan mempunyai barang mewah seperti itu. Bahkan, mobil sport bermerek model bak terbuka setiap saat melintas dengan angkuh di jalan kampung. Sepanjang hari. Dengan kecepatan lajunya, anak-anak akan menyingkir dari jalan ketika raungan mobil ini dari jauh terdengar.

“oh iya pa’ guru. Memang ada heli. Pohon-pohon itu macam mau tarubu saja gara-gara de pu angin.” kata seorang guru ketika saya mencoba mengonfirmasi.    

Saya juga tak tahu apa pentingnya ia membayangkan sebuah pesawat.

Pesawat Pikpik. Mengapa harus pesawat? Barangkali karena moda ini yang bisa menembus darat, laut, dan udara sekaligus.

Ia, Kelvin, yang masih belum hafal perkalian tiga, punya bayangan seperti apa masa depan kampungnya akan ditatakelola. Ia membayangkan. Lalu ia menggambar. Lantas memberikan warna dalam setiap dimensinya.

Ia membayangkan sebuah pesawat. Yang melintasi langit kampungnya setiap hari. Tapi bukan pesawat perusahaan. Pesawat Pikpik. Milik sendiri.

“pa’ guru, beta mo antar orang-orang kampung yang mo pi Manokwari.”

Bagi orang-orang di kampung-kampung di distrik, tidak terkecuali Pikpik, Manokwari adalah pusat. Ia sebuah Kota Provinsi. Ia merupakan sentral. Ia sebuah impian akan hidup yang lebih baik. Ataupun tempat kuliah yang lebih baik. Universitas Negeri Papua, misalnya.

Mungkin juga tempat berkehidupan ekonomi yang lebih menjamin. Segala kebutuhan ada di sana. Yang bila transportasi lancar, dan dipasok ke sini, harganya menjadi lebih terjangkau.

Juga agar hasil bumi yang dipasok ke sana, tidak jatuh harganya sebelum sampai ke sana. Dibeli dengan harga yang pantas. Karena transportasi tidak lagi jadi soal pelik.

“Tapi nak, de pu bahan bakar mahal sekali.” kata saya yang ingin coba mendengar tanggapannya.

Kelvin sejenak terdiam. Matanya mendongak ke atas. Mencoba berpikir. Lalu ia kembali melihat saya. Tersenyum. Barangkali Kelvin belum menemukan jawabannya. Ah, biarlah.

Mungkin itu yang dibayangkan seorang Kelvin, muridku. Tentang pesawatnya yang katanya gratis, tanpa bayar. Sebuah impian yang tentu saja tidak boleh dikubur.


Cerita Lainnya

Lihat Semua