Kurikulum 2013: Ikhtiar untuk Pendidikan yang ‘Indonesia’

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 2 November 2014

Matahari di tiga kampung ini, rasanya tidak pernah terik. Sampai menjelang sore, yang ada hanya sejuk. Semakin sore, angin mulai bertiup. Berhembus, dan semakin dingin. Terlebih kalau hujan datang. Kabut mulai muncul secara pelan-pelan. Diproduksi dari jantung hutan-hutan.

Kampung Pikpik, Bahbadan, dan Kwamkwamur. Ketiga kampung ini masih dalam wilayah administratif  Distrik Kramongmongga. Letaknya dari ibukota kabupaten hanya sekitar dua jam dengan kendaraan bermotor. Akses pendidikan hanya sebuah sekolah dasar.

Orang-orang kampung selalu katakan, “kitorang ini satu jemaat, dan satu sekolah.” Sekolah, dalam banyak hal, adalah pemersatu masyarakat. Barangkali, hal tersebut yang membuat tiga kampung ini begitu rukun. Saling berdekatan satu sama lain. Berkarib satu dengan yang lain.

SD YPK PNIEL Pikpik. Nama sekolah ini. Sebelum bertugas, ada pesan yang senantiasa mendarat dalam ingatan. Bawalah beserta Indonesia, sampaikan pada anak-anak itu. Tapi, sampai sekarang, saya masih belum tahu pasti. Bagaimana sebentuk ‘Indonesia’ itu akan tersampaikan pada anak-anak? ‘Indonesia’ yang di satu sisi, sebagai pengetahuan. Di sisi lain, sebagai pengalaman kehidupan bertanah air bagi mereka.

Jika mengacu ke landasan Kurikulum 2013 yang sementara diimplementasikan, kita berharap berharap bisa memberikan sedikit pengetahuan itu. Dengan paradigma pembelajaran yang aktif, bermakna, dan mengetengahkan proses berbasis pengalaman siswa, sisi pengalaman kehidupan bertanah air, akan mereka dapatkan juga.

Bahan ajar Kurikulum 2013, dibuat dalam bentuk tematik-integratif. Seseorang yang belajar, apapun jenjangnya, hendaknya tidak boleh lepas dari pembelajaran yang memiliki makna. Artinya pula, ia memiliki keterkaitan dengan lingkungan hidup sehari-hari sang pembelajar.

Dalam pertemuan Kepala Sekolah se-Kabupaten Fakfak, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Ali Hindom, menjelaskan, “suka atau tidak suka, Kurikulum 2013 ini harus kita jalankan tahun ini juga.”

Ada perintah untuk belajar. Kepada guru-guru, Pengawas, dan Kepala Sekolah. Untuk terus mengembangkan diri. Terus menempa diri menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Melalui portal ‘Rumah Belajar’ yang telah disediakan khusus.

Sebenarnya, dengan pemusatan arus balik informasi melalui internet, sudah semakin mempermudah pemerintah untuk melakukan tindakan yang tepat bagi sekolah. Melalui umpan balik dari sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri. Tekonologi komunikasi menjangkau luas dan jauh. Seluas-luasnya, dan sejauh-jauhnya. Untuk Indonesia.

Generasi Guru 2.0

Dalam pengimplementasiaan Kurikulum 2013, pemerintah meluncurkan portal ‘Rumah Belajar’, dimana tersimpan dua belas ribu lebih bahan-bahan dan sumber belajar kreatif. Lewat ruang-ruang maya itulah, kualitas pendidikan didaulat dan diharap-harap bisa menjadi lebih baik.

Platform dan perwajahan kurikulum telah dialihkan dari dunia cetak ke dunia siber. Pemerintah banyak melakukan upaya sosialisasi tentang kurikulum dalam kaitannya menyiapkan pengetahuan dan pemahaman guru-guru.

Hari-hari ini, guru-guru harus bersalin menjadi guru-guru generasi baru. Generasi 2.0. Skill penggunaan media belajar laptop atau komputer tidak lagi cukup. Mereka harus terhubung dengan internet untuk meng-update media-media dan sumber-sumber belajar yang lain.

Oleh karenanya, kegiatan pelatihan  bahan ajar kurikulum baru yang dikemas dalam satu dua hari, tentulah tidak cukup. Pengakuan guru-guru yang mengeluhkan kurikulum baru ini, bukan sedikit. Apalagi dengan minimalnya akses menuju dan memperoleh pengetahuan baru itu. Paling banyak terjadi, problem yang timbul diakibatkan oleh masalah kondisi geografi wilayah yang rumit, kondisi jaringan telekomunikasi yang payah, dan upaya pemerintah yang kurang cermat mengatasi kombinasi kedua hal di atas.

Guru-guru, terlebih di kampung, harus mengejar ketinggalan dengan melompat. Ketua Gugus Sekolah, Oktovianus Heremba, memberikan harapannya pada PIK (Pusat Intenet Kecamatan) di ibukota distrik. Ia membayangkan bisa menggunakan fasilitas itu demi peningkatan keterampilan para guru. “Sebelum semuanya berjalan lancar, kegiatan gugus sekolah, kita fokuskan ke sana.” Terangnya kemudian. Sebagai ketua, beliau tidak bisa tenang sebelum semua sekolah di distrik dapat menjalankan kurikulum baru ini dengan baik.

Beliau berharap agar dapat memaksimalkan PIK untuk guru-guru. Agar guru-guru di distrik dapat dilatih menggunakan komputer dan sekaligus menggunakan internet untuk keperluan penerapan kurikulum. Jadi, pemanfaatannya dapat menghasilkan dua keuntungan sekaligus.

Guru-guru, orang tua, mahasiswa, dan masyarakat umum juga dapat mengevaluasi sejauh mana implementasi kurikulum ini dilangsungkan. Lewat forum mailing list, hal-hal yang menjadi pertanyaan dapat segera ditemukan jalan keluarnya. 

Kurikulum 2013 menandakan era sekolah yang lebih humanis dari sebelumnya, guru yang lebih melek informasi dari biasanya, dan orang tua yang senantiasa membimbing anak-anaknya dengan kegiatan pembelajaran di rumah yang tertuang dalam Buku Siswa.

Sungguh, sebuah kemajuan yang sangat berarti bagi dunia pendidikan Indonesia. Setiap guru dan siswa memiliki pegangan pembelajaran. Guru yang digugu dan ditiru, mengembangkan aktivitas pembelajaran yang bermakna dengan kemestian menggunakan pendekatan scientific. Pendekatan berbasis penemuan ini memungkinkan siswa menciptakan daya nalar, bakat, serta kreativitasnya sendiri dalam setiap proses belajar mengajar di kelas. 

Generasi Siswa yang ‘Indonesia’.

SD YPK PNIEL Pikpik. Tapi, barangkali memang belum waktunya. Portal Rumah Belajar menyediakan puluhan ribu media belajar untuk mensukseskan kurikulum. Guru-guru bahkan masih belum bisa mengakses bahan-bahan pembelajaran. Sementara apa yang dibutuhkan guru, siswa, dan Kepala Sekolah tersedia di sana. Hanya dengan menginput NUPTK (untuk Guru dan Kepala Sekolah) atau NISN (untuk Siswa), bahan-bahan belajar itu sudah bisa di-download secara gratis.

Distrik hanya bisa ditembus dengan handphone yang memanfaatkan tenaga surya. Ini menunjukkan kenyataan, bahwa sekali lagi, pendidikan yang maju itu hanya bisa diakses oleh mereka yang layanan telekomunikasinya bagus. Problem ini diperparah dengan distribusi buku bahan ajar –Buku Guru dan Buku Siswa- kurikulum yang belum diterima dari Dinas Pendidikan setempat.

Bagi kita, mungkin, inilah proses ‘maju’ yang tidak berbarengan. Tidak serentak. Maju yang tidak serempak bergerak. Pendidikan, platform-nya berubah. Offline ke Online. Tapi kita menerimanya setengah-setengah. Jembatan penghubung perubahan itu tidak kita miliki tools-nya. Kita hanya ingin, ‘Negara Kesatuan’ RI yang selalu dibawa kemana-mana itu, benar-benar merupakan ‘Kesatuan.’ Yang nyata, yang jelas.

SD YPK PNIEL Pikpik. Yang kita terima, hanya radiogram yang sampai di kampung-kampung. Atau sesekali, kita mampir di Kantor RRI Fakfak untuk menjadi Penyiar  Cilik dalam programa khusus. Menyapa teman-teman sekolah dasar lain yang berada di kampung-kampung distrik sebelah. Menyampaikan ‘Surat Sahabat’ dengan media tulisan.

Barangkali, untuk sementara, hanya aktivitas literasi itulah yang bisa kita gapai. Aktivitas literasi paling kuno, tetapi mampu menggetarkan peradaban: membaca dan menulis. Saat portal ‘Rumah Belajar’ itu sudah dibuka selebar-lebarnya, perpustakaan kita justru baru rampung. Kita memenuhi ruangannya dengan riuh membaca buku. Buku bantuan pemerintah yang sebagian informasinya perlu dimutakhirkan.

Pendidikan yang humanis, yang berarti juga, pendidikan untuk semua. Kita butuh informasi. Informasi bagi semua. Sebab, pendidikan yang ‘maju’ itu, bukan hanya bisa menyentuh yang Jawa, yang Sumatera, atau yang Sulawesi saja. Tapi juga yang Papua. Petak  tanah air yang juga bagian dari Indonesia itu. Karena anak-anak bisa beroleh akses ke internet. Melihat ‘Rumah Belajar’. Melihat Indonesia. Menyaksikan buminya.

Kita punya kesempatan untuk mengenal Indonesia lebih dekat. Sangat dekat. Di ujung jari, kesempatan itu terbuka. Tapi barangkali, kita memang harus terus bahu membahu membangun pendidikan Indonesia.

Mungkin jaringan komunikasi masih payah. Mungkin menara-menara pemancar masih kurang. Tapi, anak-anak Fakfak, atau anak-anak manapun di petak tanah Indonesia ini, pasti punya keinginan untuk melihat negerinya. Dari dekat. Sebab, jarak bukan lagi masalah untuk belajar segala hal di luar sana.


Cerita Lainnya

Lihat Semua