Tentang Dan Untuk Irhamni

Ana Uswatun Hasanah 3 November 2014

Tulisan ini adalah sepenggal surat saya untuk salah satu murid saya di Aceh Utara, salah satu kabupaten di provinsi Nongroe Aceh Darussalam, yang hingga saat inipun kenangan akan Tsunami dan GAM masih melekat baik pada orang dewasa maupun anak kecil, yang menjadi anak didik saya di SDN tempat saya mengabdi. Dengan alam yang luas membentang, satu desa di kecamatan Langkahan tempat saya ditempatkan inipun sebanding dengan luas satu kecamatan di pulau Jawa. Para murid saya sudah sangat terbiasa dengan kondisi alam dan keadaan mereka, dimana mereka harus berjalan dan mengayuh sepeda kecil mereka sejauh 4 kilometer untuk bersekolah. Dengan kondisi jalan yang dipenuhi bebatuan besar bercampur tanah agar jalanan itu tak berdebu saat terik mentari dan tak licin saat hujan datang. Disinilah saya, yang menjadi salah satu Pengajar Muda pada Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, telah diberi kesempatan untuk dapat mengenal lebih dekat dengan saudara sebangsanya sendiri, dengan anak-anak Tanah Rencong  yang mereka adalah calon pemimpin negeri kita juga kelak.

 

Irhamni, namamu adalah doa untuk semua

Kasihi saya, itulah arti dari sepenggal kata yang menjadi namamu nak. Kasihilah saya, arti pada namamu bukanlah semata-mata diperuntukkan agar orang memandangmu rendah dan berbelas kasihan karena kekuranganmu nak, tapi namamu telah menjadi sebuah doa yang terucap dalam bahasa Arab, yang menghiasi bahasa keseharian kami yang terkadang penuh dengan kata-kata kurang sedap didengar. Kasihi saya, menjadi doa bagi siapa saja yang mengucapkannya. Kasihi saya, semoga menjadi harapan yang baik bukan hanya untuk dirimu, namun untuk semua disekelilingmu.

 

Irhamni sayang, inilah yang ibu katakan kepada semua orang

Saat temannya yang lain mulai membuat gaduh dengan melontarkan berbagai macam alasan untuk sekedar mencuri waktu bermain disela-sela waktu belajar kami, dia dengan tenangnya mengerjakan tugas latihan yang saya berikan. Disaat saya berkeliling untuk membantu temannya yang lain menulis huruf, dia telah menyelesaikan latihannya dengan sempurna. Disaat saya sekali lagi mencoba membantu temannya menyelesaikan tugas mereka, dia bertanya apakah dia diperbolehkan membaca buku pelajaran lain sembari menunggu ponten atau nilai yang belum saya berikan.

Irhamni, yang dengan semangat berusaha mengerjakan sendiri pekerjaan kelas yang diberikan, tanpa sedikitpun berusaha mencontoh hanya sekedar untuk mendapatkan ponten atau nilai seratus. Tanpa banyak bicara dia sedikit berbeda dengan temannya kebanyakan, saat ada pertanyaan di benaknya, bukannya berteriak dari ujung kelas dan menarik-narik ujung baju, namun dia menghampiri saya dan bertanya dengan suaranya yang lembut.  

 

Irhami, betapa beruntungnya ibu bertemu kamu, ijinkan ibu bercerita tentangmu kepada semua orang nak

Dialah Irhamni, yang menghampiri saya dan menyodorkan buku latihan yang telah selesai dia kerjakan. Dari caranya berjalan, terlihat jelas dia menyembunyikan sesuatu. Menutupi bagian celananya yang robek dan penuh tambalan hasil jahitan tangan yang tak utuh lagi, yang mulai terbuka kembali, dengan benang-benang putih panjang yang kontras mewarnai kain celana sekolahnya yang berwarna merah, membuat sebagian betis dan pahanya yang kecoklatan terlihat. Dia mencoba berjalan sambil menutupi belahan di kedua kakinya, menuju tempat dimana saya duduk, berusaha sebaik mungkin menutupi kekurangan di celananya. Tak terasa saya menatapnya dengan iba, namun saya benar-benar malu saat dia membalas tatapan saya dengan senyuman yang apa adanya. Betapa malu saya karena telah begitu sering mengeluh tentang keadaan.

 

Irhamni, bak setetes air ditengah gumpalan minyak, yang keduanya sama-sama berharga

Semangatnya untuk belajar menarik perhatian saya, yang walalupun saya tidak dapat setiap waktu dapat mengajar di kelasnya. Kadang garis tangan tak dapat dibantah. Kadang kehendak yang lebih berkuasa tidak dapat dibendung. Terkadang keinginan yang lebih “dewasa” tidak dapat dihindari. Dapatkah kita sebut itu suatu kemalangan saat sesosok kecil yang seharusnya menikmati masa belajarnya di sekolah harus terhenti hanya untuk membantu kedua orang tuanya menyambung hidup. Kali ini bukan di lingkungan kehidupan perkotaaan metropolitan yang keras seperti Jakarta, yang kebanyakan anak kurang mampu dipaksa mengemis dan mengamen bahkan dijual. Namun ini adalah kehidupan di daerah, yang kaya akan hasil hutan, kebun dan gas bumi namun mereka diuji oleh kerasnya medan yang jauh berbukit tanpa jalanan yang beraspal licin.

Disinilah Irhamni, yang suatu pagi saat saya bersepeda motor menuju sekolah tak sengaja berpapasan dengannya yang sedang berpakaian ala kadarnya dan memegang parang, sejenis pisau berukuran besar untuk membelah kelapa atau menyembelih hewan kurban, “loan jak kebun bu”, “saya pergi ke kebun bu”, jawabnya singkat. Membantu kedua orang tuanya berkebun, membelah pinang dan sawit, menjemur kakao, memetik jeruk nipis, berburu kerang di sungai dan menjualnya. Beginilah keseharian masyarakat di desa tempat saya mengabdi sebagai Pengajar Muda angkatan ke VII. Dengan hasil kebun yang melimpah, yang terkadang hasil kebun itu dibiarkan begitu saja hingga membusuk dan dimakan monyet dan babi liar.

Irhami sayang, tentu kau akan mengerti pantun ini kemudian hari; berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian

Terkadang perlu kau berkerja keras untuk memperbaiki nasibmu nak. Namun tak perlulah kau berkecil hati dan mengutuk apa yang telah terjadi. Tuhan mengerti semua keluh kesalmu walau tidak kau ucapkan, Tuhan catat semua amal baikmu walaupun tidak semua orang bicarakan. Tuhan tahu yang terbaik untukmu, dan tidak semua orang mengerti kau nak. Maka, belajarlah lagi tentang apapun, bukan sekedar tentang matematika, bukan sekedar tentang berbaris namun tentang semua. Tentang semua nak, apapun yang kau suka pelajarilah, agar kau dapat berdiri pada kakimu sendiri nak, agar kelak kau dapat mengerti orang lain lebih dalam nak dan agar kau mengerti akan hakikat diri, kenapa kita ada dan diciptakan nak. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua