Kitong Tara Bisa Liat Pak Guru Lagi...

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 22 Juli 2015

Anak-anak gunung memang pemalu.

Namun Tuhan mentakdirkan setahun ini, saya berjodoh dengan mereka. Bermain dan belajar bersama mereka. Makan minum, juga bersama mereka. Lalu, menjadi bagian dari keluarga mereka yang dipenuhi kebersamaan dan kehangatan. Pengalaman setahun ini, adalah pelajaran yang begitu bernilai dan berharga.

Anak-anak ini sebenarnya beruntung bertempat tinggal di daerah pegunungan. Mereka bisa menyaksikan langit terasa demikian dekatnya. Awan yang menggumpal begitu banyak. Jika tersibak, langit akan menjadi sedemikian cerahnya. Anak-anak ini hidup dengan pikiran yang segar.

Nak, ada alasannya kenapa Teteh Manis takdirkan kitorang tinggal di gunung. Kitorang dekat dengan langit. Kitorang dekat dengan Teteh Manis. Gampang sekali kitorang gantungkan cita-cita di langit sana. Kalau kitorang berusaha, pasti dapat. Kalau kitorang berdoa, pasti Teteh Manis jawab.

Yanto

“Pak Guru perpisahan tanggal berapa?” tanya Yanto. Anak ini ingin memastikan. Anak ini sebenarnya tahu. Cuma ia butuh alasan untuk mengungkapkan kalimat-kalimatnya.

“Tanggal 27 nak, hari sabtu.”

Dengan mata yang tak kuasa menatap langsung, Yanto menimpali, “kasian,,, sabtu bapak su pigi. Kitorang semua tidak bisa liat pa guru lagi.”

Nyessss…

Yanto benar. Seketika saya sadar. Acara perpisahan berarti sebentar lagi anak-anak tidak akan merasakan kehadiran saya secara fisik. Di lingkungan kampung dan di sekolah. Entah untuk waktu yang sampai berapa lama.

Kristian

Menjelang malam, Kristian, muridku kelas III, datang ke rumah.

Di kamar terdapat pelita yang sengaja kutaruh di pojokan kamar. Kristian datang. Anak ini, bagaimanapun bandelnya, ia anak yang cerdas.

Kristian meminta izin masuk ke kamar. Saya sementara menengguk air putih berbuka puasa. Ia kemudian duduk. Bersila. Tanpa kusadari, ia mengambil tangan saya dan mendekapkan ke telapak tangannya. Saya refleks mengikuti apa yang ia lakukan.

“Pak guru, beta minta maaf selama ini kalo ada yang salah. Karena jasa pak guru saya bisa naik kelas empat.” Dia menjabat tangan saya erat. Ia tertunduk dan terdiam. Lama kami terdiam dalam remang yang segera berganti gelap.

Seandainya ia bisa melihat raut wajah saya, bola mata saya memerah karena panas. Barangkali karena perkataannya yang spontan, tegas, tapi terbata-bata sebab ditekan rasa haru. Sebab besok adalah acara syukuran perpisahan dengan semua warga kampung.

Maria

Di tengah-tengah acara perpisahan bersama orang tua siswa di sekolah, entah bagaimana Maria, muridku kelas VI, tiba-tiba mendesak masuk ke ruangan yang hanya diisi para orang tua.

Saya masih sibuk berjabat tangan dan saling mengucapkan kata-kata perpisahan. Ketika tiba-tiba Maria mengulurkan kedua lengannya dan mendekapku dengan tubuh mungilnya. Setelah itu, ia pergi. Maria datang hanya untuk memeluk saya di sekolah.

Tak ada kata yang panjang lebar. Tak ada rajukan manjadari anak-anak. Yang ada hanya isyarat. Bahwa anak-anak ingin mengucapkan kata perpisahan:

“terima kasih pak guru”

Anak-anak, terima kasih juga untuk setahun ini.Pak Guru akan selalu ingat kamorang semua.

*Teteh Manis: Tuhan Yesus.


Cerita Lainnya

Lihat Semua