Tentang Sebuah Tanya

AndriRahmad Wijaya 22 Juli 2015

Izinkan kami datang mengganggu kebahagiaanmu.

Izinkan kami mencampuri kebebasanmu

Restui kami suguhkan kasih di atas sembahmu

 

Lirik lagu dari seorang kakak yang kukenal dari cerita di suatu atap pasar itu akhir-akhir ini menggema di pikiranku. Satu pertanyaan yang dulu sering mengemuka dari diskusi di jalanan kota sekarang muncul dari balik kerlip kunang-kunang dan gemintang di langit desa ini. Pertanyaan yang kini harus kutemukan sendiri jawabnya. Tiada lagi gemuruh ide beserta uap dari kopi panas yang masih mengepul. Di desa ini, kubangun kembali makna kehadiranku di antara riak jangkrik beserta kicau burung pagi hari.

Seingatku, belum pernah sekalipun aku memasuki Nanga Lungu dengan memakai rompi sakti itu. Rompi dengan kata “Indonesia” tertera di punggungnya. Namun, saat pertama kulihat bagaimana mereka memandangiku terlihat jelas harapan, cemas, dan antusiasme berebut menjadi satu. Dalam pandangan mata-mata itu muncul kembali pertanyaan itu. “Apa yang ingin aku lakukan di sini?”

Aku datang sebagai seorang baru, seorang asing, seorang alien dengan nama penuh harapan. Pengajar Muda X, Pelari Terakhir, Anak Bungsu dan masih banyak lagi sebutan untukku. Dengan semua embel-embel itu, bagaimanakah aku akan berperan? Sebagai hakimkah? Dengan sok kuasa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sebagai penyebar moralitaskah? Tapi moralitas apa dan moralitas yang bagaimana yang harus aku sebarkan? Sementara kakiku sendiri belum mantap berpijak kini. Jadi “Apa yang ingin aku lakukan di sini?”

Beberapa malam lalu, tak sengaja handphoneku tersentuh. Seolah dituntun takdir lagu “Melukis Langit Bagai Imaji” terputar. Aku tersentak dan kembali teringat akan satu jawaban yang lama pernah diutarakan oleh seorang tua dan dibahasakan dengan indah oleh seorang kakak. “Keberadaanmu paling utama adalah sebagai kamu. Bukan sebagai semua embel-embel itu. Peranmu bukan penentu baik dan buruk, karena kamu masih manusia. Keberadaanmu ada  sebagai pembuka tabir-tabir kesempatan bagi mereka. Saat nanti mereka memilih dari semua kesempatan itu, berserahlah. Karena peranmu hanya menunjukkan kesempatan. Saat mereka tak mengambil, setidaknya kamu telah mengajarkan mereka untuk memilih. Itu, cukup”

Sebagaimana lirik lagu di awal tulisan ini. Ini perihal aku yang mengganggu kebahagiaanmu dengan segala kebiasaan di sini. Ini perihal aku yang mencampuri kebebasanmu untuk bertindak. Izinkan dan restui kami dalam perjalanan setahun ke depan, untuk membuatmu mengetahui apa yang sebelumnya gelap untukmu. 

Sebuah refleksi dari sebuah senja di tangga rumah dinas di desa. Sebuah tulisan kerinduan akan dingin dan hawa kopi. Sebagai pijar bara semangat setahun ke depan. Karena di depan, ada berbagai kesempatan yang masih menunggu untuk ditemukan dan ditampilkan kepada para pemilih cilik ini. Cerita masih banyak, wahai Pengajar Muda X. Selamat berproses dan meneguhkan kaki-kakimu.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua