Ada yang Belum (Sempat) Kuajarkan

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 5 Januari 2015

Ayam-ayam baru saja rampung meributkan kokoknya di samping rumah. Waktu menunjukkan masih pukul 5 pagi. Kami sudah harus bersiap-siap. Sabtu, 18 Oktober 2014, rombongan siswa-siswi SD YPK Pikpik bertandang ke distrik sebelah di pesisir, Distrik Kokas. Mencoba menjajal kemampuan dalam adu tangkas Porseni SD. Rombongan berjumlah dua belas orang, tiga orang guru dan sembilan murid.

Kami berangkat pukul 7 pagi. Sebab pukul 9 lomba akan segera dimulai tepat pada waktu itu. Kami harus sampai sebelum pukul sembilan. Itu karena kami mengejar pendaftaran lomba. Atas kebijaksanaan panitia sebelumnya, kami yang berasal dari distrik pegunungan, diperbolehkan mendaftar saat berlangsungnya kegiatan. Kami merencanakan tinggal hingga Senin pagi.

Tepat sebelum pukul sembilan, kami tiba. Lomba dimundurkan ke pukul dua siang. Syukurlah, anak-anak dan guru-guru bisa beristirahat sejenak. Atas kebaikan hati Bapak Pendeta di Kantor GKI Klasis Kokas, kami diizinkan menginap di rumahnya yang berdekatan dengan tempat dilangsungkannya lomba.  

Syukurlah, beliau sebelumnya memang pernah bertugas di kampung kami. Setidak-tidaknya, beliau mengenal anak-anak ini dengan cukup baik.

Agenda hari ini hanya Lomba Cerdas Cermat. Sabtu siang, lomba dimulai. Anak-anak kami bagi dalam dua tim. Hendri, Ina, dan Sutring berada di Tim I. Lalu Maria, Kordias, dan Nando di Tim II.

Lomba pun dimulai. Sistemnya poin terbanyak. Siapa peraih tertinggi, itulah yang akan keluar sebagai juara.

Ketika giliran soal-soal di bacakan oleh pembawa acara, kami agak terkejut dengan reaksi anak-anak. Sungguh kami tidak menyangka sebelumnya. Mereka menjawab soal dengan bisik-bisik. Ragu-ragu.  

Mereka begitu takutnya mengeluarkan suara. Padahal jawabannya benar. Berulang kali hal tersebut terjadi. Pembawa acara meminta mereka untuk rileks sebentar. Kami tidak tahu mengapa.  Sutring dan Nando bilang, “pa guru, kitong kayak tidak bisa jawab karena takut-takutkah.”

 “nak, kamorang sama dengan mereka, kasi angkat suara besar-besar.”

“kamorang semua harus yakin, coba eee...”

Kami berikan sedikit suntikan semangat untuk mereka. Setelahnya, mulai sedikit ada perubahan. Hendri dan Ina mulai bersuara di Tim I, Kordias dan Maria juga sama di Tim II. Mereka dari kelas enam. Meski begitu, perasaan gugup itu masih belum pergi.

Semua soal penyisihan sudah dibacakan. Peluang masih sangat besar untuk menjadi yang terdepan. Selisih poin tidak begitu besar. Selanjutnya, Babak Rebutan 30 soal dimulai. Semua penonton dan pendukung ikut tegang.

Sekali lagi, anak-anak merasa malu menjawab bila tidak yakin itu benar. Soal habis diambil oleh tim-tim sekolah lain. Gelagat yang sama di Babak Penyisihan berulang. Pembaca soal sampai mesti menyemangati mereka berulang-ulang. Sama saja, anak-anak tak bergeming.

***

Lama kami berpikir, mengapa anak-anak memberikan reaksi seperti itu. Saat itulah, kami sadar, bahwa di tengah persiapan beberapa hari kemarin, ada yang luput dari mata kasat kami. Bukan materi yang banyak. Bukan pula soal-soal latihan Porseni SD tahun kemarin. Kami lupa memberikan simulasi dan perlakukan agar mereka tampil penuh percaya diri.

Malam nyaris menjelang. Akhirnya, hingga Babak Akhir dituntaskan, Tim I harus puas berada di posisi Juara Harapan I, sementara Tim II tersingkir sebelum berakhir. Kami pulang. Wajah anak-anak kelihatan kuyu dan tidak semangat.  

Seorang panitia yang juga guru memberikan apresiasinya atas usaha anak-anak dalam lomba. Sebelum pamitan pulang, beliau memberikan kata-kata semangat ke anak-anak. Beliau menyalami dan menepuk pundak mereka.

 “sudah nak eee, kamong pu hasil su mantap.”

“Kitong tara usah pikir-pikir lagi. Kitong sama-sama istirahat, baru belajar lai untuk lomba besok.”

Kami coba mengurangi beban yang masih tersisa di kepala anak-anak. Sebab besok lomba terus berlanjut. Perhelatan Lomba Baca Sumpah Pemuda dan Lomba Baca Puisi.

Esoknya, anak-anak terlihat lebih rileks dari kemarin. Mereka membawa puisi untuk dideklamasikan. Sungguh, bukan perkara mudah untuk membuat anak-anak yang terbiasa dengan pegunungan, bersuara lantang di wilayah pesisir ini. Suara keras dan nyaring dari peserta-peserta lain, sekali lagi, mampu membuat mereka gentar.

Puisi yang anak-anak baca adalah puisi karya sendiri. Semestinya mereka bisa lebih percaya diri dengan hal itu. Namun, hal sebaliknya justru terjadi. Hal itu justru menyumbang kecemasan lebih.  

Anak-anak sekolah lain membaca karya guru mereka, atau karya sastrawan besar seperti Taufiq Ismail dan Chairil Anwar.

Di hari kedua ini pun, ketika diumumkan, kami gagal beroleh juara. Anak-anak, sekali lagi, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

“Nak, bapak tara mau pusing kitong angkat juarakah tarada,”

“yang bapak mau, kitong semua –saya menyebut nama mereka satu persatu- bisa tampil ke muka percaya diri”

Barangkali, itulah yang belum banyak kami ajarkan ke mereka. Rasa percaya diri dan semangat.

Kami lupa... dan kami pun luput...

Saya tidak ingin kekecawaan anak-anak terus berlanjut. Anak-anak saya ajak menikmati udara sore di Pelabuhan Kokas. Saya juga mencoba melucu dan menyanyi di depan anak-anak. Menyaksikan bapak gurunya bertingkah aneh, anak-anak tertawa.

Esoknya, kami kembali sekolah seperti biasa. Paulus dan Nova, muridku di kelas III yang mengikuti lomba, menjadi yang terdepan dalam praktek baca puisi di kelas.

Saya bersyukur sekali. Mereka berdua antusias. Mereka bisa semangat. Dan, mereka mampu menyemangati teman-temannya yang lain. Meski tidak beroleh apa-apa, kami punya 9 murid yang menjadi ‘Duta Semangat’ bagi kami, dan bagi semuanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua