Jedik : Tuna Wicara dengan Berbagai Kelebihan

MuhammadFirdaus Ismail 3 Januari 2016

Jedik namanya. Aku pertama melihatnya sekitar sebulan yang lalu. Saat itu, ia membantuku menyembelih sapi saat ada kegiatan pesta tu’u pendidikan salah satu warga di dusun tempat tinggalku selama setahun ini. Dusun Sanama, Desa Oelasin, Kecamatan Rote Barat Daya. Ya, tugas sampinganku selama setahun menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar adalah sebagai tukang jagal. Bukan karena aku ahli dalam hal jagal menjagal, sembelih menyembelih atau potong memotong hewan. Tapi lebih karena aku satu-satunya muslim di Desa ini. Sebagai bentuk toleransi beragama, aku selalu diminta oleh masyarakat desa yang berada di pinggir pantai ini untuk menyembelih hewan tiap kali ada kegiatan. Mulai dari sembelih ayam, kambing hingga sapi. Oh iya, tentang tuu pendidikan sendiri, ini merupakan budaya di Rote dimana mereka (pemilik acara) mengumpulkan tetangga, sanak saudara, dan kerabat untuk ikut iuran membantu biaya pendidikan anaknya, biasanya untuk yang mereka mau masuk bangku perkuliahan.

Kembali ke Jedik, saat itu dia membantuku menangkap dan memegang sapi saat mau ku sembelih. Lincah dan gesit orangnya, tak banyak bicara, dan kekuatannya luar biasa. Aku tak mendengar satu kata pun dari dirinya, meskipun saat itu hampir dua puluh menit aku bersamanya.

Beberapa hari kemudian, Jedik singgah di rumah. Saat itu, aku bersama bapak sedang makan siang. Bapak dan mama kemudian mengenalkannya padaku. “Namanya Jedik Pak, dia baru pulang dari Kalimantan,” kata bapak padaku. Jedik terlihat hanya tersenyum sipu.” Dia tidak bisa bicara pak, dia bisu.”  tambah Mama. “Ohh,, salam kenal Jedik, be pung nama Edo, mari ikut makan Jedik.” Kataku pada Jedik sambil menjabat erat tangannya. Dia pun tersenyum lebar dan mengeluarkan suara seperti layaknya teman-teman tuna wicara. Dengan bahasa isyarat yang aku kurang begitu paham saat itu, dia seakan ingin bercerita tentang dirinya. “Dia tidak pernah sekolah, tetapi kalau kerja apa-apa pintar dan cekatan pak.” Kata mama. “Dia itu kalau kerja son pernah mengenal capek pak.” Tambah bapak. Sejak saat itu, aku mulai dekat dengannya. Dan ternyata dia masih keluarga dengan keluargaku di sini.

Kami sering bermain, bercanda dan ngobrol bersama. Pemuda yang saat ini sudah berumur 24 tahun ini juga sangat ramah padaku. Dia sering bercerita banyak padaku. Tentunya dengan bahasa isyarat. Meskipun aku tak sepenuhnya mengerti apa yang dia ceritakan, tapi aku selalu antusias mendengar cerita-ceritanya.

Suatu ketika, aku melihatnya bermain hand phone (hp). Aku pun kemudian bertanya, “bisa main hp?” sambil dengan gerakan tanganku sebagai bahasa isyarat. Jedik pun mengangguk-ngangguk. Cukup lincah dia menekan tombol layar sentuh di hp nya. Padahal dia belum bisa membaca. Lantas aku memberikan hp ku yang sebelumnya sengaja aku atur ke dalam bahasa inggris. “Jedik, coba cari dimana tempat penyimpanan gambar?” pintaku pada Jedik. Dengan lancar dia langsung menunjukkan kepadaku dengan tepat. “Coba cari di mana tempat penyimpanan kontak,” tambahku. Dia pun dengan lancar menemukannya. Kemudian aku biarkan dia memainkan hp ku. Beberapa saat kemudian, Dia menunjukkan salah satu kontak kepadaku, sambil tangannya dalam sikap hormat, layaknya anak-anak sekolah sedang hormat  bendera tiap hari senin. Aku terkaget saat melihat kontak hp yang dia tunjukkan kepadaku. Di situ tersimpan nama “Junus Fanggi” yang tak lain adalah Kepala Desa Oelasin. Dan sikap hormat tadi, sebagai isyarat Jedik bahwa itu tulisan nama Kepala Desa. “Jedik bisa baca?” tanyaku. Dia menggelengkan kepalanya. “Kok bisa tahu ini kontak bapak kepala desa?” tambahku. Dia tertawa lebar sambil memelukku.

“Jedik, coba tulis Jedik pung nama, bisa ko sonde?” tanyaku. Dia menarikku ke luar rumah, mencari batu dan menuliskannya di tanah. Dia menulisnya dengan sangat tepat. “Coba tuliskan namaku?” pintaku. Dia menggelengkan kepala. Aku mencontohkannya dulu menulis namaku hanya dengan gerakan tangan di udara. Dia mengangguk-angguk lantas menuliskannya di tanah dengan tepat. “Coba tulis ini, ‘Daniel Fanggi.” Aku menulisnya lagi hanya dengan gerakan tangan di udara. Dia pun menuliskannya dengan tepat. Kemudian aku memintanya menuliskan beberapa nama keluarga yang lain, hanya sekali aku menulisnya di udara. Dia langsung bisa menirunya. Makin terheran-heran aku padanya. Daya ingat dan kecerdasan visualnya Luar Biasaaaa.

Beberapa hari kemudian, aku memintanya menuliskan lagi apa yang pernah aku contohkan. Dan lagi-lagi dia membuatku terheran-heran, dia bisa mengingat semuanya dengan baik dan benar. “Jedik, mau be ajarkan membaca?’ tanyaku. Dia menggelengkan kepala. Dia belum mau rupanya. “Jedik bisa berhitung ko sonde?” Dia menggelengkan kepala.  “Belum bisa berhitung dia pak, belum ada yang kasih ajar. Tapi kalau disuruh ukur waktu pasang keramik atau buat bangunan, hitungannya selalu tepat.” Kata bapa. “Hasil kerjanya juga lebih bagus dan rapi pak, dibanding tukang bangunan yang lain di sini.” Tambah bapa. Jedik pun tertawa dan tersenyum riang. “Coba jedik tuliskan angka ini.” aku mengajarinya menulis angka satu hingga sepuluh sambil melafalkannya. Jedik pun langsung ingat dan bisa menuliskan angka satu hingga sepuluh, walau sempat lupa-lupa sedikit. Sambil dengan cedalnya ia melafalkan angka tersebut. Meskipun terdengar tidak jelas.

Jedik pernah menunjukkan rumah dan jalan-jalan hasil karya kerjanya. Mulai bangun tembok rumah, pasang keramik,  cat rumah hingga buat jalan ia pernah lakukan. Dan hasilnya rapi dan bagus. Oh iya, Jedik juga punya bakat dalam hal potret memotret. Dia sangat suka memotret dengan hp kameranya. Meskipun kamera hp nya hanya 1.5 Mega Pixel. Ternyata hasil gambarnya menurutku lumayan dan luar biasa. Lagi dan lagi, aku dibuat terkesima dengan kemampuannya. Tak tahu lagi apa kelebihan lain Jedik yang nanti dia tunjukkan padaku. Namun sejauh ini, aku sudah sangat terkagum dengannya.

Di tengah keterbatasannya yang tak bisa bicara, dan belum sama sekali mengenyam bangku sekolah meskipun di TK atau SD. Serta belum pernah ada seorang pun yang mengajarinya baca tulis dan berhitung. Tuhan menunjukkan kemampuan dan kelebihan luar biasa yang dimilikinya. Memang, Tuhan tak mungkin menciptakan mahkluknya sia-sia. Setiap manusia itu unik dan spesial. Begitu juga dengan Jedik.

Jedik, senang sekali aku bisa mengenalmu. Be siap kasih ajar Jedik membaca  dan berhitung.


Cerita Lainnya

Lihat Semua