info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Selalu ada cara untuk melaksanakan Upacara

Muhammad Ihsan Nugraha 21 Maret 2015

Musim penghujan nampaknya sudah mulai menunjukkan dirinya. Itu berarti desa kami siap-siap kebanjiran air, bahkan kebanjiran ikan. Berbeda dengan Jakarta, saat aku bekerja dulu sebelum menjadi Pengajar Muda, banjir adalah hal yang paling dihindari dan dijadikan musuh karena akan mengganggu hampir semua sektor kehidupan. Jalanan banjir tidak bisa dilalui, rumah terendam, listrik dipadamkan, pekerjaan terbengkalai, makan, tidur dan kebutuhan lain semua terganggu.

Kini, banjir di desa tempatku mengajar memberiku sudut pandang lain dalam memaknai kondisi seperti ini. Hujan yang sudah mulai rutin setiap malam, terus menyirami suburnya tanah Kalimantan sehingga ketinggiannya meningkat. Beberapa bulan lalu, Indonesia Mengajar menugaskanku menjadi Pengajar Muda sekolah yang berada di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Aku dan murid-muridku di SDN 12 Semalah sekarang harus belajar di atas air yang tingginya hampir 2 meter dari tanah yang beberapa minggu lalu masih dipenuhi hijaunya rerumputan. Sekitar 15 centimeter lagi, air akan benar-benar mengaliri sekolah kami. Beruntunglah bangunan sekolah sudah dibuat tinggi agar tetap dapat digunakan ketika banjir. Di Desa Semalah, semua rumah terbuat dari kayu yang bawahnya di beri tiang-tiang besar untuk menopang lantai rumah dengan ketinggian 2-4 meter dari atas tanah. Itulah resiko yang harus dihadapi untuk bertahan hidup di kawasan Danau Sentarum.

Murid-muridku dan semua warga bersuka cita ketika banjir tiba. Mereka semakin mudah mendapatkan ikan untuk lauk makan dan untuk dijual. Mayoritas pekerjaan warga di desaku adalah nelayan, walaupun ada juga yang bekerja sampingan sebagai pencari kayu bangunan, petani karet, dan petani madu. Ikan hasil tangkapan warga semakin banyak memenuhi jalan panggung untuk memanaskan ikan yang sudah direndam air asin. Desaku juga menjadi penghasil ikan asin yang cukup terkenal. Banyak orang-orang dari kecamatan atau desa lain yang mengambil ikan asin dari sini. Tidak dipungkiri jika akan berdampak pada jalanan kayu desa yang dijadikan tempat menjemur. Suhu panas di Kalimantan Barat bisa mencapai 30-36 derajat pada siang hari yang akan mempercepat pengeringan ikan asin. Tidak hanya itu, pada musim ini, petani madu akan semakin disibukan untuk memanen madu dari sarang lebah yang melekat pada tikung (dahan tiruan dari kayu) yang mereka sudah pasang pada musim kemarau. Madu Danau Sentarum sudah memperoleh sertifikat madu terbaik di Indonesia, yang kini dikelola oleh Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS). Harga yang sebelumnya hanya 10-30 ribu, setelah mendapat sertifikat tersebut meningkat menjadi 80-150 ribu per kilogram.

Kondisi belajar mengajar di sekolah tidaklah berbeda ketika musim kemarau. Hanya saja sekarang sudah tidak ada daratan yang bisa digunakan untuk pelajaran olahraga dan upacara bendera. Pelajaran olahraga pun kini sulit dilakukan dengan kondisi tersebut, terkadang murid-murid memilih olahraga sambil berenang dan bermain lempar bola. Aku senang melihat kelakuan mereka yang tertawa lepas ketika bermain air. Air sudah menjadi sahabat mereka sejak kecil sehingga untuk anak yang berusia 5 tahun sudah bisa berenang dengan baik. Orang tuanya sudah mengajarkannya sejak dini sambil memandikannya di air sungai dekat rumah.

Pagi ini, menjadi Senin yang berbeda dengan sebelumnya. Aku bersama guru-guru mengumpulkan murid-murid di lorong kelas. Ketua kelas diminta membariskan teman-temannya dan membuat 2 baris setiap kelasnya. Pak Man, salah satu guru di sekolahku, memilih Akbar (kelas V) untuk menjadi pemimpin upacara, Mega (Kelas VI) menjadi pemimpin lagu, Ranggi dan Fitri (Kelas VI) menjadi pembentang bendera. Keterbatasan kondisi lapangan upacara yang sudah penuh terisi air sungai, tidak menyurutkan semangat nasionalisme sekolah kami.

Setelah semua siap, Ranggi dan Fitri membentangkan bendera Merah Putih di jalan panggung di luar sekolah. Kemudian dengan suara lantangnya Akbar berteriak, “Kepada bendera Merah Putih, hormat gerak!”. Semua pun mengambil posisi hormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama yang dipimpin oleh Mega. Guru-guru menyebar diantara murid-murid untuk membimbing mereka menghormati bendera kebesaran Republik Indonesia. Saat lagu selesai dinyanyikan, Akbar kembali memberi komando, “Tegak gerak!” dan semua kembali ke posisi siap. Sederhana memang, namun bagiku inilah cara untuk tetap mempertahankan jiwa nasionalisme dan mengajarkan pada murid-murid untuk selalu cinta pada tanah Indonesia. Upacara selesai dan ditutup dengan amanat dari salah satu guru. Selanjutnya ketua kelas memimpin teman-temannya untuk masuk ke kelas masing-masing untuk menerima pelajaran dari guru. 

 

Selalu ada cara untuk menjaga nasionalisme di perbatasan Indonesia Malaysia.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua